"Jika kamu mencintai seseorang, maka kamu juga harus sanggup merasakan sakit hati."
Definisi pulang yang tidak pernah Dia dapat.
***
Senyum dibibir tipis nan pucat itu terbit membuat parasnya makin cantik, meskipun tak menghilangkan kesan pucat, namun cukup membuat orang-orang disekitarnya tertular energi positif.
"Aku gak sabar mau pulang, Ma."
"Zahra gak betah ya disini?" tanya Umma mengusap kepala putrinya lembut penuh kasih sayang.
Zahra tersenyum kecil. "Betah, Umma. Cuma Zahra lagi kangen rumah."
"Tumben, biasanya juga gak betah kamu," ucap Azizah mencibir adiknya.
"Betah gak betah, Zahra harus betah, kak."
Azizah seketika terdiam. Ia tidak bermaksud menyinggung. Lagipula, hatinya tiba-tiba ikut sakit mendengar Zahra berbicara seperti itu.
"Sayang, makan dulu yuk," ucap Arya tiba-tiba saat membuka pintu rawat inap itu membuat fokus ketiga perempuan itu teralihkan.
"Oh iya, kak. Kamu makan dulu, kasian baba nanti laper," balas Umma tersenyum simpul.
Azizah menatap suaminya dengan tatapan penuh arti membuat Arya mengangkat sebelah alis.
"Makan dulu kak, kasian ponakan aku," ucap Zahra dengan senyumnya.
Arya mengusap kepala Azizah lalu mengajaknya keluar lewat tatapan mata.
"Maaf, Ra. Kakak--"
"Gapapa," sela Zahra cepat. Ia tidak mau kakaknya merasa bersalah atas sesuatu yang tidak salah.
"Umi sama Zahra udah makan?" tanya Arya dengan suara lembut. Itulah sifat Arya yang membuat satu keluarga langsung jatuh cinta. Arya itu lembut, perhatian dan juga tegas.
"Udah, tinggal istri kamu aja, Ar."
Arya mengangguk lalu menggenggam tangan istri cantiknya itu.
"Ayo sayang."
***
Aksa menatap layar ponsel yang sedari tadi berdering. Nomor kontak yang selalu membuat moodnya anjlok terpampang disana. Aksa tidak berniat menyimpan nomor itu, dan mungkin tidak akan pernah.
"Angkat aja, Sa. Siapa tau penting." Rangga yang sedari tadi sedang bermain PS menyeletuk karena sedikit terganggu.
"Males," cuek Aksa langsung menyetel mode pesawat.
"Sampai kapan Lo terus menghindar gini?" tanya Devan yang tiba-tiba datang dengan beberapa kaleng minuman dingin.
Aksa menatap Devan datar lalu menghela nafas.
"Gue gak menghindar, cuma muak."
Devan terdiam. Ia melempar dua botol itu untuk Aksa dan Rangga yang langsung ditangkap dengan sigap oleh mereka. Devan meneguk minuman itu sampai jakunnya naik turun. Jika ada cewek pasti sudah terpesona.
"Seenggaknya Lo bilang apa keputusan lo, Sa," saran Rangga ikut menasihati.
"Gue gatau."
Rangga menggeleng pelan."Gak ada orang tua yang benci sama anaknya, Sa. Coba Lo percaya kata itu."
"Mana bisa?" Aksa terkekeh. Suara beratnya terdengar miris di telinga Devan dan Rangga yang sudah tau apa masalah hidupnya.
"Tapi Lo sayang sama dia, kan?"
"Nyokap?"
Rangga Berdehem sejenak."Bokap."
Aksa membasahi bibirnya lalu memainkan kaleng minuman yang tadi di beri oleh Devan.
Ingatannya melayang ke masa lalu, tepatnya saat ia masih kecil, dimana papanya tak pernah ada disaat Ia sangat membutuhkan kasih sayangnya.
Aksa sendirian. Aksa kesepian.
Hingga Tantenya yang baik hati sering menjenguknya, namun sekarang juga sudah pindah negara.
Aksa sering merenungi Dimana letak kesalahannya sehingga membuat Sang Papa begitu menghindarinya.
Aksa kecil saat itu belum mengerti arti kata benci.
"Gak ada kenangan yang buat gue ingat dia sayang sama gue, Ngga. Apa hal itu bisa buat gue sayang sama dia?"
Rangga dan Devan terdiam.
***
"Cat, Kuas, Pallet udah. Apalagi ya?" gumam Luna sambil mengetuk jarinya di dagu.
"Lama banget sih!" gerutu orang di belakang Luna dengan wajah masam.
Ya bagaimana tidak? Hari liburnya harus sedikit terganggu karena perintah Mami tercintanya untuk mengantar si calon tunangan untuk membeli perlengkapan melukis.
Mending belinya langsung ambil, ini pilih-pilih dulu, bahkan sempat menelpon teman satu ekskulnya.
"Sabar dong! Lagian Gue gak nyuruh Lo nganter," balas Luna sama-sama sewot. Ia sih lebih baik beli sendiri asal damai dibanding belanja dengan Bayu.
Cowok itu bawel dan tidak bisa diam. Luna kan jadi malu.
Untung saja Bayu tampan dan keren, jika tidak sudah Ia lempar ke palung Mariana.
Bayu menghela nafas, sabar Bay. Ia berjalan di belakang Luna sambil menatap kantung belanjanya yang lain.
Skincare.
"Eh kayaknya kuasnya bukan yang itu, deh," ucap Luna pelan. Ia hendak cepat-cepat ke tempat Kuas tadi namun karena tak melihat jalan, Ia hampir menabrak seorang ibu-ibu.
Iya hampir, karena Bayu menariknya cepat.
"Kebiasaan," omel Bayu. Ia tersenyum tipis.
Luna menatap Bayu, mukanya memerah karena salah tingkah. Sialan, apakah Ia sudah terjerat pesona cowok mostwanted itu?
Gadis itu mencebikkan bibirnya sebal.
"Ibu-ibunya aja yang gak liat-liat kalo jalan," bela Luna.
"Ibu-ibu gak bisa disalahin."
Detik berikutnya Luna mematung karena Bayu mengacak rambutnya dengan Ekspresi gemas.
***
"Kok gak masuk kedalem?"
Aksa membalikan tubuhnya, wajah tegas dan tatapan tajamnya melunak sejak mendengar suara gadis itu, ditambah menatap wajah cantiknya yang selalu ceria.
"Disini aja, bukan muhrim."
Zahra tersenyum.
"Tadi gue ke rumah sakit tapi Lo gak ada."
"Aku kan disini."
Aksa tersenyum. Senyuman manis yang jarang sekali diperlihatkan, hanya untuk Zahra seorang.
"Ra, kalo gue jadiin Lo tempat pulang, apa lo mau?"
"Hah?"
"Gue mau Lo jadi tempat Dimana gue berhenti dan beristirahat."
Zahra awalnya terdiam, namun tak lama mengangguk sambil tersenyum.
"Boleh."
Aksa makin melebarkan senyumnya.
"Oh, iya. Ini buat Lo," ucap Aksa teringat sesuatu, Ia mengeluarkan sebuah gelang hitam dari balik saku jaketnya.
"Gelang?"
Aksa mengangguk. Sementara Zahra menatap sebuah gelang hitam dengan bandul bintang yang menghiasi.
Cantik.
"Kita samaan?" tanya Zahra lebih jelas.
"Enggak."
"Terus?"
Aksa menggaruk belakang telinganya.
"Ya itu gelang aja, buat Lo."
Zahra beroh ria.
"Gue boleh gak peluk Lo?" tanya Aksa dengan suara berat dan lembut.
Zahra menggigit bibir bawahnya.
"Enggak."
"Kalo usap kepala Lo?"
"Enggak juga."
Wajah Aksa berubah kecewa. Ia mengangguk mengerti, Pasti Zahra tidak nyaman.
Tapi sedetik kemudian tubuhnya mematung saat Zahra mendekat ke arahnya, berjinjit lalu mengusap-usap rambutnya lembut.
"It's okay, Aksa. Kamu udah hebat, kamu kuat."
Zahra tersenyum manis, begitu cantik sampai Aksa Tidak bisa berkata-kata lagi.
"Darimana Lo tau kalo gue butuh Kata-kata itu?" tanya Aksa pelan. Tatapannya meredup, tidak setajam biasanya.
"Aku tau kamu. Kan aku tempat kamu pulang."
Aksa seketika semakin jatuh cinta. Setiap detik, setiap waktu, hanya gadis itu yang selalu menyita seluruh perhatiannya.
Karena Definisi pulang untuk Aksa bukanlah sebuah rumah. Apa artinya rumah jika isinya adalah hal Toxic?
Aksa butuh tempat yang pas untuknya berbagi keluh kesah, untuknya istirahat dalam kesibukan masalah, untuknya kembali pada sesuatu yang menjadi titik nyamannya.
Karena Definisi pulang adalah Zahra.
Dan itu cukup untuk Aksa.
Asal tuhan mau berbaik hati padanya sedikit lagi, Aksa ingin mengabulkan setiap permintaan Zahra dan membuatnya bahagia hingga Zahra lupa sakitnya cuci darah, sakitnya saat penyakitnya kambuh, sakitnya tidak bisa makan seperti orang normal.
Bahagia. Itu adalah kata yang ingin Aksa wujudkan untuk si gadis yang dicintainya.
*****