*****
"Luna."
Bayu mengejar langkah kaki seorang gadis bertubuh mungil itu lalu menarik tangannya pelan, namun sang empu tetap terusik. Luna menghempas kencang tangan Bayu membuatnya Meringis.
"Galak banget sih, neng."
"Gue benci sama Lo," tukas Luna menunjuk wajah Bayu marah. "Gue masih muda, kenapa harus di jodohin?! Apalagi ini sama Lo, cowok Freak."
Bayu mengelus dadanya, mencoba tak sakit hati dengan ucapan pedas Luna. Gadis itu memang sangat Julid.
"Luna, denger ya. Lo pikir gue juga mau di jodohin, ha? Masa muda gue yang berharga harus di habiskan dengan ngurusin cewek galak kaya Lo? Hey, Gue juga ogah kali."
Muka Luna memerah dan dadanya kembang-kempis. Jika seperti di film kartun, mungkin telinganya sudah berasap.
"Bangsat!" umpat Luna.
"Astaghfirullah haladzim. Istighfar, Neng. Yuk gue bantu," kata Bayu dengan wajah serius yang terlihat nyinyir di mata Luna.
Luna hendak kembali berjalan namun sebuah motor melewatinya dengan begitu cepat membuat Refleks Bayu segera menarik gadis itu lagi.
Bayu memeluk Luna. Sementara gadis itu masih terdiam syok.
"Hati-hati bawa motornya, kampret! Cewek gue hampir ketabrak!" teriak Bayu mengomel tanpa sadar membuat yang mendengar seketika terkejut.
Berbeda dengan Luna yang merasa berdebar hebat. Apalagi hidungnya mencium harum maskulin nan lembut milik Bayu. Seperti aroma minyak telon.
"Kok diem aja, Na? Udah nyaman ya?" bisik Bayu dengan jahil karena gadis itu tidak bergerak dalam pelukannya.
Seketika Luna langsung memblokir mentah-mentah rasa nyaman yang sudah timbul itu.
***
"Uang yang kekumpul udah berapa?" tanya Aksa pada Devan selaku bendahara geng Mereka.
Devan mengecek buku kasnya sejenak lalu menatap Aksa.
"Lumayan. Cukuplah buat hari ini."
Mata Aksa terlihat memicing. "Yakin? Lo gak nambahin lagi?"
Devan Berdehem pelan.
"Nggak."
Aksa mengangguk. Tersenyum sangat tipis. "Gue suka kepedulian dan kebaikan Lo, Van. Tapi tetap aja gue gak setuju karena ini tanggungjawab jawab kita semua."
"Iyaaa."
Rangga menggeleng pelan melihat interaksi kedua orang itu.
"Oy, para kulkas! Ini minum kopi dulu biar jernih pikirannya." Rangga melempar dua kaleng kopi kemasan yang di tangkap Dengan sigap oleh Devan.
Mereka akan kembali turun ke jalan-jalan hari ini. Seperti biasa, mereka akan membagikan makanan dan peralatan berguna untuk mereka, terutama anak jalanan.
Meskipun citra mereka sudah buruk karena sering membegal, namun rutinitas itu tidak pernah berhenti. Sejak ketua pertama Aksa masih memimpin.
Yah, bukankah perbuatan buruk harus diimbangi dengan kebaikan?
Setelah selesai beristirahat, mereka kembali melanjutkan kegiatan mereka. Mengemasi barang-barang yang masih layak pakai untuk dibagikan.
"Bayu mana?" tanya Aksa di sela kegiatannya.
"Lagi bucin kali," balas Rangga. Ia mencatat setiap barang yang di kemas sambil menonton drama Korea di ponselnya.
Rangga bukanya pecinta drakor, ia hanya sedang mencari cara untuk membujuk pacar kpopers nya agar memaafkannya.
"Bayu punya pacar?" tanya Aksa lagi sedikit kaget. Pasalnya Ia tidak ada saat Bayu bercerita kemarin.
"Bukan pacarnya, tapi jodohnya."
Aksa menatap Rangga penuh tanya membuat sang empu menoleh lalu menghela nafas. Baru saja ia ingin menjawab namun Devan sudah menyeletuk lebih dulu.
"Bayu dijodohin."
"Serius?"
"Iyaa, uring-uringan anaknya."
"Dijodohin Ama siapa? Lo kenal?" tanya Aksa pada Devan. Ia tau jika Rangga sedang tak bisa diganggu, makanya Aksa bertanya pada Devan.
"Luna. Sabuk hitam karate kemarin."
Aksa mengangguk, sedikit mendengus geli. Membayangkan bagaimana lucunya rumah tangga mereka nanti.
"Semoga Luna pilihan yang tepat," harap Aksa tersenyum tipis.
"Kita udah gak pernah aksi lagi, Sa. Apa kita bisa terus begini?" ucap salah satu anggota mengutarakan keluhannya.
Ucapannya membuat Aksa dan ketua temannya menoleh. Mereka tak menatap Aksa karena tau apa yang sedang direncanakan oleh ketuanya itu.
"Gue mau kita berhenti lakuin itu."
"Sa, Lo serius?"
"Ketua, serius?" protesan itu hampir terlontar oleh semua orang yang ada di sana, kecuali Devan dan Rangga tentunya.
"Lo melenceng dari citra kita, Sa. kalo gitu."
Aksa menghela nafas. Ia sudah menduga akan ada drama ini nantinya.
"Emang kalian senang?"
"Maksud Lo, Sa?" tanya Riga, salah satu anggota, mewakili yang lain.
"Gue tanya, apa kalian senang nyiksa dan buat orang lain menderita?"
Mereka sejenak terdiam.
"Tapi orang yang kita siksa juga bersalah, Sa." Toni angkat bicara, mengutarakan pendapatnya.
"Lagian ini udah tradisi dari tetua kita."
Aksa menghela nafas. Sejenak memijat pelipisnya.
"Maka dari itu gue mencoba ngubah tradisi itu, gue mau kita ada penghasilan sendiri, apalagi buat nyumbang."
"Ngawur Lo, Sa."
"Siapa yang gak suka sama keputusan gue bisa angkat kaki dari sini," ucap Aksa terdengar tegas dan datar.
1 orang berdiri, di ikuti banyak orang lain membuat Aksa tersenyum kecut.
"Ternyata kalian gak menghargai keputusan gue sebagai ketua. Okelah, Gue gak akan maksa."
Riga, salah satu Anggota yang berdiri itu maju mendekat pada Aksa.
"Gue bukanya gak menghargai Lo, Sa. Justru gue sangat menghargai Lo, tapi gue juga menghargai tetua kita dulu."
"Dia cuma dendam sama penjahat, gak seharusnya kita jadi penjahatnya juga, kan?" balas Aksa menatap Riga dingin.
Aksa menghela nafas saat Devan Berdehem mengingatkan. Mau bagaimanapun, keputusan ini terlalu mendadak membuat Mereka bingung bersikap. Jadi Aksa harus memaklumi mereka.
"Gue tunggu kalian untuk rapat besok, kalo gak hadir, kalian bisa keluar dari Geng ini."
Setelah ucapan itu terlontar, ruangan hening seketika.
***
"Ini ada sedikit dari Kakak-kakak lagi, semangat dan sehat selalu ya dek."
Rangga mengusap kepala bocah berumur 5 tahun yang wajahnya terlihat berbinar saat Ia memberi nasi kotak.
"Ada buku lagi gak, kak? Lio mau belajar."
Rangga tersenyum mengangguk. "Ada dong ganteng, tapi Lio janji nurut sama Kak Mawar ya?"
Bocah itu menatap kakaknya yang sedang ikut tersenyum dan Ia pun mengangguk.
"Pinter."
Aksa menatap mereka dengan perasaan menghangat. Hatinya selalu damai setelah Ia berbagi seperti ini. Apalagi jika dari hasil kerja keras mereka sendiri.
Hidup ini tidak melulu tentang memuaskan nafsu dan keinginan, namun juga tentang konsep bersyukur.
Kebahagiaan ada karena kita bersyukur.
Jika kita lebih bersyukur lagi, tentu kebahagiaan itu akan terasa dekat dan selalu mengiringi.
***
Aksa hendak membuka pintu ruang rawat inap itu namun sebuah suara menghentikan gerakannya.
"Kamu cepet sembuh ya, Ra. Biar bisa main ke pondok lagi."
Suara kekehan manis seorang gadis yang sangat Aksa hafal mengiringi ucapan itu.
"Iya, makasih Kak Ali."
Aksa merasakan sesuatu di dalam dadanya panas. Seharusnya, senyum dan tawa itu hanya ditujukan untuknya, bukan orang lain. Namun Aksa sadar jika dirinya tak mempunyai hak.
Memberanikan diri, Aksa membuka sedikit pintu itu dan seketika Melihat pemandangan yang cukup membuat kata cemburu pas menggambarkan suasana hatinya.
Zahra di sana sedang tersenyum begitu manis sedangkan si lelaki dengan baju kokoh itu mengusap kepala berbalut jilbabnya.
Seharusnya Aksa mencoba bersikap biasa.
Tapi jika di bandingkan dengan penampilannya, Aksa rasa Cowok itu lebih cocok dengan Zahra.
*****