Chereads / AKSARA (Aksa Dan Zahra) / Chapter 29 - 29. Gus Ali

Chapter 29 - 29. Gus Ali

"Tapi menurutku tuhan, Itu baik."

*****

Zahra membuka kotak bekal yang ada di atas nakas dengan perlahan dan melihat Sticky notes yang di tempel di atasnya.

'makan yang banyak cantik.'

Kedua sudut Bibir mungil itu perlahan tertarik membentuk senyuman indah.

Namun senyuman itu pudar dalam beberapa detik.

"Tapi aku gak bisa habisin ini semua," lirihnya dengan sendu. Zahra menghela nafas panjang. Ia menutup kotak bekal itu lalu menunduk.

Pintu ruang rawat itu di ketuk membuat Zahra seketika mengerjapkan matanya.

"Umma udah selesai mandi?" gumam Zahra mengingat tadi Ummanya Pamit keluar untuk bersih-bersih. Tapi Ummanya tak mungkin mengetuk dulu, kan?

Zahra menjawab salam dari luar lalu mempersilahkan masuk meski dengan raut masih bingung.

Beberapa saat kemudian kebingungannya tergantikan dengan senyum kecil.

"Hallo, sayang. Gimana keadaan kamu?" tanya seorang wanita paruh baya yang datang Dengan putranya.

"Syafa killah, Zahra."

Zahra menoleh pada seorang laki-laki tampan berwajah blasteran yang barusan berbicara dan tersenyum.

"Syukron, Gus."

"Panggil Ali aja."

Zahra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tapi kan Gus lebih tua dari Zahra."

"Kalo gitu panggil Kak aja."

Wanita paruh baya itu mengusap kepala Zahra yang di tutup jilbab membuat sang empu menoleh Bingung.

"Ali khawatir sama kamu."

Zahra melototkan matanya lalu tertekeh.

"Umi bisa aja."

"Umi!" Ali mengerucutkan bibirnya dan itu terlihat sangat manis membuat Zahra menggeleng masih dengan kekehannya.

"Gimana ya reaksi orang-orang di pesantren kalo liat Gusnya yang kayak gini?" komen Zahra.

Ali beralih menatap Zahra sejenak dan tersenyum simpul.

"Saya cuma begini kalo sama kamu dan Umi."

Tawa Zahra berganti menjadi wajah melongo.

"Hah?"

Flashback On

"Zahra!"

Seorang gadis cantik dengan bando bunga yang menghias kepalanya itu menoleh ke sumber suara.

Wajahnya Berubah terkejut saat melihat gelang cantik yang di bawa oleh si pemanggil.

"Ali, ini buat aku?"

"Enggak, buat kucing aku."

Raut wajah Zahra kecil menjadi cemberut sempurna.

"Kucing kamu Mulu, sahabatan aja sama dia, gausah ajak aku main!"

Gadis kecil itu berbalik badan dan berlari membuat Ali menatapnya Bingung.

"Dia kok marah sih?"

Ali segera mengejar Zahra karena tau gadis itu bisa saja lelah karena berlarian.

"Zahra, tunggu!"

"Gak mau."

Ali lebih cepat berlari lalu menggapai tangan Zahra dan sedikit menariknya membuat mereka berhenti.

"Aku belum selesai bicara."

"Mau ngomong apa lagi?"

Ali menghela nafas. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya lalu meminta tangan Zahra.

"Zahra, kalo udah besar, nikah sama aku ya?"

Zahra mengerjap polos sambil menatap sebuah liontin dengan bandul bulan di tangannya.

"Cantik banget," lirih Zahra, Ia tidak begitu mendengar ucapan Ali.

"Kamu suka?" tanya Ali karena melihat Zahra yang seakan terpana dengan benda itu. Hati kecilnya menghangat.

"Iya."

"Nanti nikah sama aku ya."

Zahra beralih menatap Ali. Alisnya terangkat karena bingung.

"Nikah itu apa, Ali?"

Ali menggaruk kepala karena bingung. Ia juga tidak begitu mengerti.

"Nikah itu bisa tinggal bareng," jawab Ali asal.

"Beneran?"

"Iya."

"Berarti kaya Zahra sama Kak Zizah? Nanti Ali juga bisa serumah sama Zahra?"

Ali mengangguk dengan percaya diri.

"Iya, Zahra."

"Tapi nanti Ali lebih mentingin si Kitty." Zahra cemberut mengingat betapa Sayangnya Ali dengan peliharaannya.

"Nggaklah."

"Beneran?"

"Iya."

"Yeay! Berarti kita bisa main terus dong?"

"Iya, Zahra."

Ali dan Zahra sama-sama tertawa. Bocah berumur 5 dan 8 tahun itu masih begitu naif. Mereka menganggap segalanya akan menjadi mudah saat bersama dan dewasa. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.

Takdir Yang kuasa begitu sulit di tebak.

Flashback off

***

"Future Wife Lo tuh," goda Rangga sambil menyenggol lengan Bayu saat mereka melihat seorang gadis cantik yang melewati mereka.

"Bodo amat," acuh Bayu.

"Gak boleh gitu sama calon istri," ucap Devan bijak.

Bayu mendelik pada kedua sahabatnya itu.

"Lo ganteng dan cool, Van. Jadi mending diem."

"Kampret, menurut lo Gue jelek?" protes Rangga karena Bayu yang pernah berbicara seperti itu.

"Diem Lo wibu."

"Heh!"

Bayu mengendikkan bahu acuh. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi membuat Ia mengeceknya dan seketika berdecak sebal.

"Hah!" Bayu berbalik badan dan berlari.

"Mau kemana dia?" tanya Rangga.

"Gatau."

"Aksa kok belum Dateng ya?" Rangga menatap jam tangan hitamnya lalu menatap Devan.

"Gatau."

"Ah, Lo mah. Gak ada jawaban lain apa?"

Devan menatap Rangga datar.

"G."

"Anjing."

Perseteruan mereka terhenti karena mendengar bisik-bisik dan pekikan samar siswi di dekat mereka. Itu sudah menjadi pertanda jika Aksa telah sampai.

Dan benar saja. Aksa dengan wajah datar nan kusut, seragam urakan di balut jaket kulit hitam itu berjalan santai dengan tangan di masukan ke saku celana.

"Tas Lo mana, bujang?" tanya Rangga tak mendapati benda itu di pundak Aksa.

"Ketinggalan," jawab Aksa cuek.

"Buset dah ya."

"Hari ini mapel ekonomi, Lo gak bawa buku besar juga?" tanya Devan dengan tatapan menyelidik.

"Ga."

Rangga menghela nafas berat.

"Kuy kantin lah, keknya dari kita gak ada yang niat belajar."

"Hm," jawab Aksa dan Devan kompak membuat Rangga tersenyum kecut.

"Bisa beku gue lama-lama." Batin Rangga.

***

"Aksa, mana tugas kamu?" tanya Bu Ajeng selaku guru ekonomi yang terkenal Killer dan tak pernah absen sehari saja untuk tidak memberi tugas.

"Lupa bawa."

Bu Ajeng mengelus dada sabar.

"Kalo saya tanya itu liat orangnya, jangan tiduran seperti orang kurang gizi begitu!"

Aksa mengangkat kepalanya dan menatap Bu Ajeng Datar.

"Maaf Bu."

Seisi kelas termasuk Bu Ajeng sangat terkejut. Mereka menolak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibir seorang Aksa yang terkenal bergengsi tinggi dan garang.

"Saya Tidak salah dengar kan?" tanya Bu Ajeng di angguki diam-diam oleh yang lain.

Aksa menghela nafas.

"Saya salah. Maafkan saya Bu."

Aksa berdiri dari duduknya.

"Hukumnya masih sama, kan? Hapalin 50 Nama akun dalam bahasa Inggris?"

"Eh, iya," jawab Bu Ajeng masih dengan wajah bingung.

"Oke."

Aksa keluar dari kelas dengan membawa buku Devan membuat teman datarnya itu menggeleng pelan.

Aksa dengan segala kebadungannya. Tapi dalam hati Devan bersyukur karena Aksa mulai berubah sedikit demi sedikit.

Semuanya tentu karena seseorang. Seseorang yang sangat berarti untuk Aksa, dan Devan harus ikut menjaganya.

Sedangkan di sisi lain.

Aksa membuka ponsel untuk browsing tentang seputar penyakit gagal ginjal. Ia ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu yang ada di tubuh mungil Zahra.

Matanya berhenti menjelajah saat melihat sebuah tulisan yang menyita perhatiannya.

"Orang yang mempunyai riwayat penyakit ini di ketahui tidak bisa menyerap sari makanan seperti orang normal. Hal ini di karenakan oleh fungsi ginjal yang tidak bisa bekerja seperti biasa. Maka dari itu penderita tidak di perbolehkan makan seperti orang biasa."

Aksa seketika menyadari sesuatu.

"Shit."

*****