*****
"Kita hanya kita yang tak pernah satu."
"Oy, muka di tekuk aja Lo," sapa Rangga menepuk bahu Bayu yang terlihat tak semangat pagi ini. Di belakang Rangga ada Devan yang berjalan dengan gaya cool nya.
"Kenapa?" tanya Devan merasa ikut penasaran karena tidak biasanya Bayu Begitu.
Bayu menatap mereka berdua dengan wajah memelas yang mana membuat kedua sahabat dari kecilnya itu makin risih.
"Gue mau di jodohin."
Satu detik.
Dua detik.
Hening.
Tawa Rangga meledak begitu saja tanpa di filter membuat Bayu melotot.
"Gue lagi sedih, bangsat. Hibur kek!"
"Jaga bahasa Lo," tegur Devan sambil menggeleng pelan.
"Ya lagian kek tai."
Rangga masih dengan tawa nistanya lalu Ia berhenti saat melihat wajah Bayu yang serius.
"Ini beneran?" tanya Rangga ikut serius karena Bayu dalam mode serius.
"Ya Lo pikir?"
"Sama siapa?" tanya Devan tanpa basa-basi.
"Apanya?"
"Di jodohin."
Bayu menghela nafas. Sedang dalam mode begini saja Devan masih tetap irit bicara.
"Anak Karate yang menang lomba kemarin."
"Anjay! Si Luna?"
Bayu Berdehem malas, sementara Rangga kembali menertawakannya.
"Kok bisa sih? Bukannya kalian musuh?"
Bukan apa-apa. Bayu dan Luna memang di kenal sebagai musuh abadi jika bertemu, baik di manapun ataupun di kelas sekalipun. Yap, Mereka sekelas.
"Musuh bisa jadi cinta," kata Devan yang di angguki setuju oleh Rangga.
"Tau, ah! Ketawa aja terus Ampe gigi Lo pada kering!" dumel Bayu lalu melengos pergi begitu saja.
"Lah, ngambek?"
Devan mengendikkan bahu acuh. Ia memilih menyusul Bayu sebelum cowok itu melakukan hal yang tidak-tidak.
Maklum saja, Bayu ini rada-rada nekat.
***
"Kamu kasihan sama aku, Aksa?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir mungil berwarna pucat seorang gadis yang sedang menatap seorang cowok tampan dengan mata sendunya.
Ini kali pertama bagi Aksa melihat Zahra yang rapuh. Biasanya Gadis itu yang paling bersemangat.
Aksa menghela nafas. Ia mengusap kepala Zahra perlahan dan menggeleng dengan senyum tulus.
"Gue sayang sama Lo."
Mata coklat indah berkaca-kaca itu akhirnya meruntuhkan pertahanannya membuat beberapa bulir bening menetes di pipinya.
"Zahra juga."
Tatapan Aksa makin melembut, seakan Ia menatap poros dunianya. Ia beralih mengelus pipi putih Zahra.
"Kalo gitu cepet sembuh biar bisa main sama gue lagi."
Tatapan Zahra makin Sendu dan itu membuat Aksa seketika mengumpat dalam hati.
"Aku gak akan bisa sembuh." Zahra menggeleng dengan tatapan kosong membuat Aksa langsung memeluknya.
"Sst, gak boleh bilang gitu."
"Tapi itu kenyataannya," lirih Zahra mempererat pelukan mereka. Zahra ingin merasakan rasa bahagia sedikit saja, demi Allah. Dan Aksa lah jawabannya.
"Lo punya Tuhan, Dia yang lebih tau gimana takdir Lo."
"Tuhan aku Allah, Aksa."
Aksa menelan ludahnya susah payah, Ia teringat dengan perbedaan mereka.
"Iya, Ra."
"Apa kamu akan selalu dukung aku dan sayang sama aku?"
Aksa perlahan melepas pelukannya meski tak rela. Ia memegang kedua bahu Zahra dan menatap matanya dalam.
"Kalo gue lakuin itu, apa Lo juga bisa sembuh?"
Zahra menggeleng pelan.
"Sulit."
"Gak apa-apa," ucap Aksa kembali menarik Zahra ke dalam dadanya membuat gadis itu bisa mendengar denyut jantung Aksa yang terlampau cepat.
Dari sini Zahra bisa benar-benar yakin dengan perasaan Aksa. Juga yakin dengan hatinya sendiri.
"Gue akan selalu sayang sama Lo."
Zahra memejamkan matanya sejenak sambil menghirup aroma khas Aksa yang menenangkan.
"Kalo gitu aku juga."
***
Aksa membuka pintu markas dengan kasar membuat yang ada di dalam terlonjak kaget.
"Assalamualaikum dulu, Bro."
Aksa menatap tajam Rangga.
"Gue Kristen."
"Oh iya lupa."
"Abis darimana, Sa?" tanya Devan. Selalu saja Ia bertanya hal itu seakan Devan adalah ibu Aksa.
"Zahra."
"Dia menghilang lagi?" tanya Bayu yang wajahnya sedikit lebih normal. Maksudnya kembali slengean, tidak seperti tadi.
"Dia sakit."
"Sakit apa?" tanya ketiga cowok itu berbarengan.
"Kata Papanya Gagal ginjal."
Ketiga cowok berparas tampan itu terkejut mendengar Fakta tersebut. Bahkan Devan yang jarang berekspresi pun ikut melebarkan matanya.
"Kok bisa?"
Aksa tersenyum miris. Kata-kata Abba Zahra masih sangat membekas di otak dan hatinya membuat Ia ikut merasakan sakit tak kasat mata.
"Udah dari kecil."
Devan adalah orang pertama yang menetralkan wajahnya lebih dulu. Ia bangkit lalu menepuk bahu Aksa pelan.
"Dia hebat," puji Devan tulus.
"Keinginan yang buat dia begitu," balas Aksa sambil memutar kunci motornya. Wajah Aksa terlihat sendu membuat ketiga sahabatnya ikut prihatin.
"Begini muka Lo pas sama Zahra?" tanya Rangga berdecak membuat Aksa menaikan satu alisnya.
Rangga menghela nafas menyadari Aksa tak paham.
"Sa, orang sakit itu butuh dukungan, bukan tatapan kasihan."
"Gue gak kasihan sama Zahra," elak Aksa cepat. Ia mencintai Zahra dan kesedihannya tentu saja berdasar atas rasa sayang dan takut kehilangan.
"Iya gue tau, tapi kalo Lo ikut sedih, terus yang hibur Zahra siapa?"
"Bener, Sa," sambung Bayu yang sedari tadi diam. Ternyata bukan hanya dia yang mempunyai masalah cukup serius.
"Lo harus hibur Zahra, biar dia makin semangat sembuh."
Aksa menatap Mereka bertiga lalu perlahan mengangguk dengan senyum tipis.
Benar, ia harus semangat demi Zahra.
Walaupun sulit, tapi Aksa yakin semua ada jalan keluarnya.
***
"Ada Aksa di luar."
Wajah muram Zahra berbinar seketika.
"Suruh masuk, Kak."
Azizah yang bertugas menjaga Adiknya selagi Orang tuanya ada keperluan itu tersenyum melihat semangat dalam wajah Zahra.
"Tapi kamu makan ya."
Zahra menatap bubur tanpa rasa yang ada di nakas dengan meneguk ludah pelan.
"Biar cepat sehat, kamu gak mau kan di rawat terus?"
Zahra menghela nafas panjang membuat Azizah mengusap kepala berbalut Hijab itu.
Zahra mendongak dan tersenyum meski Zizah tau senyum paksa yang di lihat.
"Iya, kak."
"Yaudah, kalo gitu Kakak keluar dulu. Selamat pacaran."
Zahra terkekeh kecil. Ia tak sadar Aksa sudah ada di sampingnya, menatap wajah gadis itu dari samping. Biarpun Sakit dan pucat, Zahra tetap tidak kehilangan pesonanya.
"Aksa?" ucap Zahra melihat cowok tampan dengan Kaus hitam di balut jaket hitam pula yang sedang menatapnya intens.
"Sore peri cantik," sapa Aksa mengulas senyum membuat Pipi Zahra merona seketika.
"A-apasih Aksa."
Aksa terkekeh. Ia mengambil duduk di kursi yang tadi di duduki Azizah.
"Udah baikan?"
Zahra mengangguk sambil menatap Aksa malu membuat laki-laki itu gemas.
"Makan?"
"Suapin boleh?"
Aksa menaikan alisnya, detik berikutnya mengangguk.
"Oke. Tapi harus habis."
"Iya-iya."
Aksa tersenyum lalu mulai menyuapi Zahra dengan telaten. Sifat hangatnya keluar begitu saja saat dengan Zahra. Setelah selesai, Ia menyelimuti Zahra hingga sebatas Dada.
"Tidur."
"Iya."
"Aksa."
Aksa yang ingin beranjak itu menoleh.
"Terimakasih dan maaf."
Aksa terdiam beberapa detik. Ia mencerna kata maaf itu dan seketika mengerti.
Aksa mengangguk.
Aksa memajukan wajahnya di depan Zahra lalu mengusap pipinya.
"Lo juga."
"A-apa?"
"Cepet sembuh, gue sayang sama Lo."
*****