*****
"Sayang, tolong belikan tepung terigu ya."
Seorang gadis cantik dengan Hijab berwarna navy itu segera beranjak berdiri dari acara rebahan santainya.
Ia berjalan ke arah dapur lalu melihat Ummanya yang sedang berkutat di meja dapur.
"Umma buat kue?"
"Iya, sayang. Makanya kamu beliin tepung terigu dulu, oke?"
Gadis cantik yang tak lain adalah Zahra itu mengangguk.
"Uangnya Umma?"
"Di dompet Umma yang ada di kamar, Ra."
"Oke."
Zahra berjalan ke kamar Ummanya sambil bersenandung ria. Namun saat telah sampai di pertengahan jalan, Ia meringis menahan sakit pada bagian bawah perut sebelah kirinya.
Wajahnya pucat pasi, Ringisan tak henti keluar dari bibir mungilnya.
"Sakit Banget ya Allah." Zahra berkaca-kaca menahan sakit yang luar biasa di salah satu bagian perutnya itu.
Saking sakitnya, Ia tak bisa untuk berteriak memanggil sang Umma.
Zahra berpegangan pada sisi tembok dengan tangan memegang perut.
"Ra, kok lama banget sayang?"
"Ra?!"
Umma segera menghampiri putrinya yang terlihat lemas dan kesakitan itu.
"Sakit, Umma," rintih Zahra menangis membuat Umma segera memeluk putri kesayangannya itu.
"Gapapa sayang, ada Umma, tahan ya, kalo sakit cubit aja tangan Umma."
Zahra menggeleng masih dengan tangisan tanpa suaranya membuat Umma ikut sakit melihat kondisi Putrinya.
"Umma Telfon Abba dulu ya sayang."
Umma menekan tombol satu di panggilan lalu segera menempelkan ponsel itu ke telinga. Dalam hati berharap jika Abba segera menjawab telponnya karena ini darurat.
"Hallo, Abba? Zahra kambuh lagi."
"Zahra? Kamu dengar Umma, nak?" panggil Umma mengelus keringat di kening Zahra.
"Sakit, Umma. Zahra gak kuat." Tepat saat mengatakan itu, Zahra kehilangan kesadarannya.
"Astaghfirullah, Nak." Umma menangis sambil memeluk Zahra yang sudah tak sadarkan diri.
"Kuatkan anak Hamba ya Allah."
***
Aksa berhenti berjalan. Ia dan teman-temannya sedang berjalan menuju parkiran namun terpaksa berhenti karena Aksa yang tiba-tiba diam.
"Lo kenapa?" tanya Devan bingung melihat ketuanya itu bersikap aneh.
Aksa menggeleng, Ia menyentuh dada sebelah kirinya dengan wajah sedikit meringis. Sesuatu seperti menghantam dadanya dan menyebabkan kesakitan.
Tapi tanpa sebab hatinya meneriakkan nama Seorang gadis yang suka sekali menganggu pikirannya.
"Lo kenapa?" Kini giliran Bayu yang bertanya.
"Zahra lagi apa ya?"
Helaan nafas lelah sontak terdengar ramai memenuhi lorong dari tiga orang cowok yang menjabat sebagai sahabat Aksa.
"Lari ah ada bucin," cibir Rangga sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangan.
"Lagi nafas, Sa," ucap Bayu sambil menepuk pelan punggung Lebar Aksa.
Aksa kini menghela nafas. Perasaannya mendadak tak enak.
"Gue pulang duluan," ucap Aksa langsung berlari meninggalkan mereka bertiga yang seketika terdiam, bingung dengan sikap Aksa.
"Dia kenapa, sih?" tanya Rangga yang di balas gelengan kepala oleh kedua sahabatnya.
***
"Angkat, Ra," gumam Aksa sambil mengendarai satu motornya dengan satu tangan.
Aksa menghela nafas.
Resiko yang Ia dapat jauh lebih besar, namun Jika Tidak begini hatinya yang akan tidak tenang.
"Lo kemana sih, Ra?"
Aksa takut Zahra kembali menghilang dan Ia akan bingung dan gelisah sepanjang hari. Aksa sungguh tidak mau itu terjadi karena Ia benar-benar khawatir.
Motor besar Aksa telah terparkir asal Di dekat rumah Zahra lalu Ia turun dari motor dengan berlari pula.
"Den Aksa, ya?" tanya seorang satpam yang berjaga di pos saat melihat seorang pemuda yang sedang memegangi pagar dengan nafas Terengah-engah.
"Zahra ada?" tanya Aksa tanpa basa-basi.
Satpam itu sejenak terdiam. Namun tak lama Ia terlihat ragu.
"Anu, Den. Neng Zahra lagi.."
"Dimana dia, Pak?"
"Ada, Den."
"Di dalem, kan?"
"Anu, Den.."
"Kalo jawab yang jelas, pak. Saya lagi gak bisa nunggu."
Satpam itu seketika tersentak mendengar bentakan Aksa.
Raut wajah sopan milik Aksa pun sudah berganti dengan tatapan tajam dan Aura dingin yang tentu membuat Satpam itu takut. Sebetulnya Aksa juga Tidak ingin begini, namun keadaan memaksanya.
"Tapi Aden janji jangan kasih tau siapa-siapa ya."
Aksa mengerutkan kening tak paham. Namun Ia lekas mengangguk Agar cepat selesai dan Ia Tenang.
"Itu, Den. Neng Zahra ada di rumah sakit."
***
Zahra ada di rumah sakit.
Kata-kata itu terlintas dalam benak Aksa seiring langkah kakinya berpacu cepat
Sebenar apa yang terjadi dengan gadis itu? Mengapa bisa sampai masuk rumah sakit?
Aksa tidak berharap jika Zahra mau menceritakan segala hal yang dilaluinya. Namun, Ia juga tak mau Zahra menjadi menutup diri sekalipun masalah yang di hadapi Gadis itu cukup serius.
"Sus, pasien atas nama Zahra Ayara ada?"
"Zahra pasiennya Dokter Tari?" tanya suster itu sambil mengecek daftar pasien di komputer.
"Dokter Tari?"
"Iya, Mas. Dokter spesialis penyakit dalam."
Deg!
Aksa mematung. Tubuhnya seakan beku hanya karena kata-kata.
Penyakit dalam?
"Masnya ini siapa, ya?"
Bagaimana bisa Zahra mempunyai dokter Seperti itu? Apakah Zahra sakit? Mengapa Gadis itu tidak pernah menunjukkan gelagat sakitnya?
Pikiran itu membuat Aksa terdiam seperti orang ling-lung.
Sementara teman salah satu suster yang tadi sedang mengangkat telepon dan mendengar obrolan itu segera menegur.
"Mel, kamu bocorin identitas pasien ini?"
"Kenapa, Yu?"
"Pasien atas nama Zahra harus di rahasiakan riwayatnya!"
"Astaga, Yu. Gue lupa sumpah."
"Mampus Lo."
Suster yang tadi menatap Aksa horor. Sialan! Gara-gara terpesona oleh anak muda ini, Ia jadi Tidak fokus.
"Tidak apa-apa, Sus."
Suara berat itu membuat kedua suster tersebut terperanjat, begitu juga dengan Dengan Aksa yang seketika sadar dari dunia khayalnya.
"Aksa memang berhak tau."
"Om." Aksa hendak Menyalimi Laki-laki itu namun Sang Empu malah memeluknya jantan.
"Kamu anak baik, Aksa."
Tanpa sadar mata Aksa berkaca-kaca. Ini kali pertama Ini dia di buat bingung dan lemah. Apalagi dengan kata-kata itu.
Aksa memang tidak butuh kata-kata untuk menenangkan apa yang di rasakan hatinya. Namun, ucapan bermakna tadi Jarang sekali Aksa dengar selain oleh Zahra dan beberapa orang yang benar-benar mengenalnya.
Ucapan yang membuat Aksa yakin jika sedikit dalam dirinya masih bisa di terima di banding oleh perkataan Papa kandungnya sendiri.
Memang begitu kan? Anak-anak akan tumbuh menjadi apa yang sering di ucapkan orang tuanya. Sekalipun hal itu berbanding terbalik dengan sifat aslinya, namun hati dia merasa tidak percaya diri.
Setelah beberapa detik, Laki-laki paruh baya itu melepaskan pelukannya dan menatap Aksa dengan senyum kecil.
"Zahra sakit apa?"
"Saya akan menceritakan, tapi tidak Disini."
Aksa mengangguk meski masih dengan kepala kosong.
***
"Kamu udah tau?" tanya Zahra pada remaja tampan yang duduk di samping brankarnya.
"Iya."
"Aksa marah?" tanya Zahra sambil menautkan tangannya di depan perut.
"Marah."
"Maaf, Aksa."
Aksa menghela nafas panjang. Di tatapnya wajah gadis itu dengan penuh sayang.
"Gapapa. Gue ngerti."
Zahra mendongakkan wajahnya dengan mata berbinar membuat Aksa mengusap kepala di balut jilbabnya lembut.
"Mau ngabulin satu permintaan gue?" tanya Aksa menatap mata itu dalam.
"Apa?"
"Janji harus sembuh, Ra."
Zahra terdiam tak lama tersenyum.
"Insyaallah, Aksa."
*****