*****
Aksa menghentikan langkahnya saat sudah berada di jarak beberapa meter dari pintu Apartemen miliknya. Ia melihat Seseorang yang tak asing lagi di matanya.
"Asa!"
Aksa menghela nafas. Ia malas meladeni cewek itu, makanya Aksa berbalik badan hendak pergi.
Namun sebuah tangan menghentikannya.
"Kamu kenapa selalu menghindar sih?" ucap cewek itu dengan nada sedih. Ia jauh-jauh ke apartemen milik Aksa hanya untuk bertemu cowok ini. Ia ingin menjelaskan semuanya.
"Berhenti bisa?"
Tiara melepaskan tangannya dari lengan Aksa begitu mendengar nada dingin Cowok itu di tambah dengan tatapan tajamnya. Tiara diam-diam tersenyum getir. Aksa benar-benar sudah berubah.
"Kenapa Aksa?"
"Berhenti sebut nama gue 'Asa'. Nama gue Aksa, ngerti?
"Tapi kan itu panggilan sayang aku buat kamu, Asa." Tiara menciut dalam tatapan Aksa dan aura mengintimidasinya.
"Itu dulu Tiara. Sekarang semuanya udah berubah," ucap Aksa sedikit lembut. Ia berharap Tiara mengerti jika Dirinya Tidak bisa seperti dulu lagi.
"Kenapa harus berubah?" Tiara memberanikan diri menatap mata Aksa. Ada banyak kata yang ingin Ia ucapkan, namun Aksa seperti enggan mendengarnya lagi. Seakan-akan, Tiara sudah kehilangan ruang di hati Aksa.
"Apa karena cewek itu?"
"Lo gak perlu tau. Yang jelas, gue punya hati yang harus di jaga."
Aksa hendak pergi lagi tapi suara Tiara menghentikannya.
"Apa kamu bahkan gak bisa untuk maafin aku, As--Aksa?" Tiara meneguk ludah pelan.
Aksa kini memfokuskan perhatiannya pada gadis itu. Ia memejamkan matanya sejenak dan kembali menatap Tiara.
Wajah yang dulu selalu membuat Ia bersemangat menjalani hari. Wajah yang juga membuat Ia tak percaya akan arti kepercayaan dan sayang.
"Gue udah maafin Lo, Ra. Jauh sebelum Lo minta maaf," ucap Aksa jujur. Ia tidak menyimpan dendam pada Tiara. Hanya saja ini masalah kepercayaan untuk mencintai yang menghilang.
Namun sekarang Aksa mempunyai Zahra yang membuat kepercayaan itu muncul lagi.
"Apa kamu gak mau dengar penjelasan aku dulu?"
"Gak perlu, Ra. Gue ngerti."
"Kamu gak ngerti. Aku punya alasan," ucap Tiara dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sakit seperti di Hujam belati. Aksa memang memaafkannya, namun itu malah membuat Tiara makin merasa bersalah.
"Ra, udah ya? Lo pulang aja. Gue gak butuh penjelasan apapun."
Tiara menggeleng. Kata-kata Aksa makin membuat Ia sedih.
"Aksa, Aku--"
"Tiara," potong Aksa.
"Saat Lo memilih pergi waktu gue bener-bener butuh Lo, disitu gue mengerti kalo Lo bukan rumah untuk gue."
"Lo gak perlu jelasin apapun dan Gue gak butuh penjelasan itu karena apa yang Lo perbuat udah menjelaskan semuanya."
Setelah mengatakan itu, Aksa tersenyum tipis lalu menepuk pundak Tiara beberapa kali dan berjalan ke pintu apartemennya.
Meninggalkan Tiara yang menangis dengan pilu.
Sementara di sisi lain, Aksa mendudukkan dirinya di sofa. Ia menengadahkan kepala ke langit-langit ruangan. Mungkin inilah yang terbaik bagi Ia dan Tiara. Aksa tidak ingin kembali kecewa. Aksa tidak ingin kembali sedih karena kehilangan. Kehadiran Tiara kembali di hidupnya hanya sebuah gerbang untuk kembali ke masa lalu kelam.
Maaf Tiara.
Mungkin, ada sedikit penjelasan dan alasan mengapa Tiara memilih pergi. Namun, bagi Aksa, semua tidak bisa kembali lagi hanya karena sebuah alasan.
***
"Kenapa sih nih anak?" gumam Azizah melihat adiknya yang terlihat aneh. Sedari tadi Ia melihat Zahra yang tersenyum tak jelas sambil mengamati sesuatu di pergelangan tangannya.
"Kak, Zahra mau tanya." Zahra beralih menatap kakaknya dengan wajah sedikit serius. Wah, Sepertinya Anak itu tidak sadar jika Azizah mengamatinya dari tadi.
Azizah mengangkat kedua alisnya sebagai respon. Ia sedang memakan Es Krim yang di belikan oleh suami tersayangnya.
"Jatuh cinta itu.. rasanya menyenangkan ya kak?"
Azizah mengangguk santai. Ia tersenyum tipis.
"Terus kalo kita inget dia, bawaannya seneng terus?"
"Heem."
"Kalo gak ketemu pasti kangen."
"Iyaa, Ra!"
Azizah menghabiskan satu sendok es krimnya lalu mendekat pada Zahra dengan senyum lembut.
"Emang cowok beruntung mana yang di sukai kamu?" tanya Azizah masih dengan aura hangat. Azizah bisa memposisikan diri si setiap kondisi. Ia menyayangi Zahra dan ingin yang terbaik untuk adik satu-satunya itu.
"Ada, deh."
Azizah mengusap kepala adiknya itu sayang.
"Tapi, Ra. Yang namanya jatuh pasti sakit. Dan itulah cinta. Terkadang, kamu tidak harus merasakan senang terus."
"Zahra tau," ucap Zahra menatap Kakaknya tersenyum. Ada gurat sedih yang mencoba ia sembunyikan.
"Bagus kalo tau."
Azizah terdiam sejenak.
"Ra, pacaran setelah menikah Seru, lho." Zahra terkekeh pelan.
"Aku gak akan menikah sama dia, kak."
Azizah tersenyum getir. Ia tau apa yang menyebabkan Zahra begini.
***
"Kamu tau sendiri kalo kamu adalah anak Tunggal disini."
Aksa mendengus pelan. "Kalo bisa, saya juga gak mau jadi anak tunggal."
"Aksa, Papa minta kamu untuk serius," ucap Galang. Papa dari Aksa, menatap Anaknya tajam.
"Aksa udah serius, Papa aja yang baperan," cetus Aksa sambil memakan steak nya dengan Lahap.
Galang menghela nafas. Putranya ini memang sangat tidak sopan. Padahal dulu Aksa adalah anak yang penurut.
"Papa akan jodohin kamu kalo kamu gak bisa serius sama pendidikan bisnis itu," final Galang menutup perbincangan mereka yang tak pernah berakhir baik.
"Papa selalu aja manfaatin saya, saya sudah Bilang jika saya bukan boneka anda." Aksa berkata datar sambil menatap Sang Papa dingin.
"Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu, salah?"
Mendengar itu membuat Aksa terkekeh pelan.
"Terbaik mana? Putra Papa atau kesejahteraan Selingkuhan Anda?"
"Aksa, jaga bicara kamu!"
Aksa mengangkat alis sambil tersenyum geli.
"Kenapa? Kaget? Saya tau semua aktivitas anda di luar rumah. Apa perlu bukti?"
Galang mengepalkan kedua tangannya, ekspresinya berubah menyeramkan namun Aksa sama sekali tak terpengaruh pada kemarahan Galang.
"Saya bahkan punya Video mesra anda," tutur Aksa lagi.
"Aksa!"
"Anda atur saja hidup anda sendiri, tidak usah ikut campur dengan kehidupan saya." Wajah tengil Aksa berubah serius. Ia tidak akan mengalah meskipun kepada Papa kandungnya sendiri.
***
"Hei."
"Hallo Aksa? Ini kamu?"
Aksa terkekeh kecil. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang dari atas gedung tinggi yang di pijaknya. Saat ini Ia sedang membayangkan wajah imut nan cantik Zahra saat menerima Telpon darinya.
"Iya ini Gue."
"Aku udah tau. Kan udah denger suara ketawa kamu."
Aksa tersenyum tipis.
"Lagi ngapain?"
"Telponan Sama kamu."
"Sebelum itu?"
"Baca buku."
"Gak bosen baca buku terus?"
"Enggak, kan aku pecinta buku."
Aksa mengangguk. Ia baru teringat itu.
"Liat bintang deh."
"Bukanya tadi mendung ya?"
"Udah enggak. Lo gak perlu keluar, cukup liat cermin aja."
Hening.
Itu Bertahan hingga Zahra mengatakan kata salting.
"Apa, sih?"
"Gue serius, Ra. Lo lebih cantik dari bintang sekalipun."
Zahra di tempatnya berada memegang dadanya yang berdesir. Aksa ini kenapa sih? Kok suka membuat orang baper?
"Ra, Lo masih disana?"
"Eh, iya."
"Tidur, Ra. Jangan begadang demi buku, kesehatan Lo lebih penting."
*****