Dulu dan sekarang, Kehidupan Aksa selalu kelabu. Entah ada tiga sahabat setia di sisinya, maupun tidak. Jika di fikir lagi. Mungkin permasalahannya bukan tentang dengan siapa Ia hidup, namun tentang dia yang harus berinteraksi dengan sekitar.
Aksa sadar jika Ia terlalu menutup diri. Ia hanya akan melampiaskan emosi tanpa mencoba menceritakan apa yang ia rasa. Baginya, tidak ada yang akan berubah jika ia bercerita, melainkan aibnya sendiri terumbar di depan orang yang dia sayang. Lagipula, Aksa tidak ingin di kasihani, Juga tidak ingin Mereka ikut tertekan karena Aksa tau bahwa bukan hanya dia yang mempunyai masalah.
Mungkin, belakangan ini Ia sadar jika Itu salah. Kehadiran Zahra yang membuatnya seperti itu. Dengan Zahra, ia bisa menceritakan banyak hal tanpa beban.
Kejadian ini sama dengan saat Aksa pertama kali mendapat teman kecil bernama Ara. Tetangganya. Nama lengkapnya Tiara Maheswari. Dengan gadis Kecil itu Aksa bisa merasa semangat menjalani hari. Bukan karena sahabatnya lain tidak bisa seperti Ara bagi Aksa. Hanya saja Aksa merasa lebih nyaman dengan Ara.
Namun, semesta memisahkan mereka lewat konflik keluarga yang membuat Tiara jauh pergi tanpa pamit.
Bagi Aksa yang sudah menganggap Tiara orang penting dalam hidupnya, tentu itu adalah sebuah Fakta yang sangat menyakitkan.
Gadis itu pergi begitu saja seakan Aksa bukan seseorang yang berarti padahal Aksa menganggapnya kebalikan.
Ara hanya sebatas pelangi dan pergi saat Aksa masih membutuhkan keindahannya.
Aksa tidak ingin Pelangi yang hanya datang lalu pergi. Ia ingin sebuah matahari yang akan terus bersinar
"Aksa?"
Lamunan Aksa buyar saat suara halus memanggilnya. Ia telah sampai di basecamp. Entah tindakan yang benar atau tidak, yang jelas hatinya lega.
Satu hal ini membuat Aksa yakin jika Zahra adalah sesuatu yang sangat penting di hidupnya.
Zahra yang tadinya sedang menunduk terlihat berbinar melihat Aksa kembali.
"Kamu gak jadi ke seko--"
Ucapan Zahra terputus saat Aksa menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Langsung saja aroma maskulin Aksa tercium. Zahra menelan ludah, ia tau ini dosa namun Zahra tak bisa berbuat apapun. Ia tidak munafik jika Ia juga suka.
"Kenapa Lo harus selalu ada di otak gue?" gumam Aksa dengan nada frustasi. Ia makin mengeratkan pelukannya.
"Aksa."
"Diem."
Aksa tau jika ia hanya takut kehilangan. Apalagi dengan Zahra yang dari awal sudah membuat Ia nyaman hanya dengan sekali pandang.
"A-aku minta maaf."
Zahra menghela nafas. Tidak mengerti lagi harus bagaimana. Ia berfikir jika Aksa marah, mungkin karena mengganggu waktunya.
"Lo gak perlu minta maaf." Aksa telah melepas pelukannya, menatap Zahra dengan lembut.
"Gue yang minta maaf. Maaf, Ra. Gue salah. Harusnya gue gak ngucapin kata tadi."
Zahra menatap Aksa beberapa detik dan mengangguk singkat. Ia hanya tidak mau Aksa cuek padanya dan lebih memilih dengan gadis lain. Hal itu menyakitkan.
"Kamu lagi sibuk?"
"Enggak."
"Tadi ngomongin apa sama Cewek tadi?" tanya Zahra dengan tatapan polos membuat Mood Aksa Naik.
"Ada."
Zahra berusaha tersenyum meskipun dalam hati masih ada rasa mengganjal.
Aksa menahan senyum, Ia menarik Zahra duduk di sofa. Cowok tampan Dengan seragam urakan itu juga berjalan pelan ke kulkas dan mengambil minum untuk Zahra.
"Gue hari ini gak sekolah dulu."
Zahra diam. Sampai Aksa kembali lagi dengan membawa air mineral.
"Minum."
Zahra mengangguk, mengucapkan terimakasih dan menerimanya.
Aksa menatap Zahra dari samping. Melihat gadis itu yang sedang minum--yang bahkan dari samping saja terlihat sangat menawan. Ya, mungkin setiap orang yang jatuh cinta seperti ini, kan? Hal kecil saja nampak luar biasa jika yang melakukannya sang pujaan hati.
"Gue tadi malam mimpi buruk."
Zahra segera menoleh. Ia memang memilih diam karena ingin mendengar Aksa menceritakan lebih dulu.
Ia tersenyum tipis lalu mengusap punggung lebar Aksa yang terlihat kokoh namun rapuh.
"Gapapa, Aksa. Kamu gak harus cerita sekarang."
Aksa menggeleng. "Ini buruk banget, Ra. Gue gak pernah bayangin hal ini terjadi dan jangan sampai pernah."
Zahra mengangkat alis.
"Lo.. gak akan pergi kan, Ra?" tanya Aksa lebih dulu. Tersirat banyak makna.
"Enggak." Zahra tersenyum.
"Di mimpi itu, Lo tiba-tiba menghilang. Lama Banget, seakan gue gak pantes ketemu lagi sama Lo."
"Gue takut."
Zahra diam saja. Dadanya tiba-tiba sesak. Ia menghela nafas, mencoba bersikap biasa saja. Aksa butuh pendengar.
"Gue gak mau lagi kehilangan, Ra. Itu menyakitkan." Rahang Aksa terlihat mengeras dan tatapannya tajamnya terlihat sendu.
"Aksa.."
"Janji sama gue," potong Aksa. Tak memberi Zahra kesempatan berbicara.
"J-janji apa Aksa?"
"Janji jangan pergi. Gue gak mau Lo jauh dari Gue."
***
"Kamu udah ketemu sama temen kamu itu?"
"Hmm."
"Terus?"
Zahra menekuk lutut dan memeluknya.
"Entahlah."
"Ck. Kalian tuh udah jelas-jelas saling suka, Zar."
"Yaudah, aku harus gimana?"
Nisa menatap Sahabat baiknya itu tak percaya. Jika di lihat lebih teliti, Zahra terlihat pasrah namun ingin. Ah, lagipula teman satunya itu tidak pernah berpacaran dengan cowok manapun. Makanya saat Nisa tau jika Zahra menyukai seorang cowok tentu menjadi kabar mengejutkan baginya.
"Sa, kita ini beda. Ada batas yang nggak boleh di langgar."
Nisa menoleh terkejut. Gerakannya yang sedang menuang susu ke dalam gelas langsung terhenti.
"Kok bisa, Zar?" ucap Nisa nyaris memekik. Ia segera duduk di samping Zahra. Menatapnya meminta penjelasan.
Zahra tersenyum kecil melihatnya.
"Kata orang, cinta datang tiba-tiba, Sa. Sama kaya aku."
"Iya aku juga tau, Zar! Tapi kenapa? Kamu tau banget itu nyakitin kamu." Nisa nyaris frustasi. Pantas saja Zahra terlihat tak semangat.
"Aku kalah, Sa."
Zahra menatap langit-langit ruang makan Nisa. Setelah Tadi Di Antar pulang oleh Aksa, Zahra memutuskan pergi ke rumah Nisa yang kebetulan keluarganya sedang tidak ada di rumah. Ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan wajah murung. Nanti Pasti Ummanya tak akan memperbolehkan Ia keluar rumah lagi.
"Aku gak punya alasan untuk jatuhin hati aku ke siapapun, Sa. Aku gak punya penolakan."
Nisa menatap Zahra prihatin. Tangannya menepuk pundak gadis cantik itu perlahan.
"Namanya Takdir, Zar. Kita gak bisa mutusin mau jatuhin ke siapa."
Zahra mengangguk dengan Rasa sesak menumpuk di dada.
Ada satu hal yang membuat Zahra kepikiran. Ini soal ucapan Aksa tadi di Basecamp. Zahra tidak mau berjanji, namun ia juga tidak mau membuat Aksa sedih. Cowok itu sudah banyak menyimpan kesedihan.
"Aku takut, Sa," ucap Zahra menatap Nisa sendu membuat hati gadis itu ikut sakit melihatnya.
Tidak ada yang bisa Nisa lakukan selain memeluk Zahra erat sambil membisikinya kata-kata penenang.