*****
"Hari ini Aku bisa keluar, Umma?"
Umma menoleh, menatap Anak gadis bungsunya lembut. Ia mengusap kepala Zahra sayang.
"Emangnya kamu udah ngerasa baikan?"
Zahra mengangguk Dengan senyum lebar. meskipun wajahnya pucat, namun paras cantiknya tak luntur sedikitpun.
"Ya udah kalo mau kamu begitu." Umma menghela nafas. Sangat tau jika Zahra keras kepala dan pasti Akan memaksa keluar.
"Tapi jangan lama-lama ya nak."
"Oke, Umma!"
Umma mau tak mau tersenyum melihat raut ceria Zahra.
***
Sekolah Aksa tidak terlalu jauh dari rumah, membuat Zahra bisa berjalan kaki sekalian olahraga pagi.
Gadis itu mengayunkan langkahnya dengan riang, terlihat tak ada beban. Sesekali Ia Akan berhenti demi mengelus seorang anak kucing. Ya, Zahra menyukai hewan berbulu itu, namun Zahra juga harus menerima kenyataan jika Umma Akan marah jika Zahra memilih membawanya pulang.
Tepat beberapa meter di depannya, Zahra memelankan langkah. Tanpa sadar, lututnya melemas dan raut takut terlihat jelas di wajahnya saat melihat dua orang yang sedang berkelahi.
"Gausah ganggu adek gue, anjing!"
Bugh!
Hanya itu yang bisa Zahra dengar selain umpatan kasar mereka berdua yang terlontar silih berganti. Zahra memilih Bersembunyi di balik pohon yang ada di dekatnya. Zahra penakut. Ia bukan tipe gadis pemberani.
Semua terjadi hingga beberapa detik, hingga telinga Zahra mendengar suara derum mesin motor yang menjauh.
Zahra memberanikan diri untuk mengintip. Dan yang di dapatinya, adalah sesuatu di luar perkiraannya. Karena salah satu dari orang yang berkelahi tadi menatapnya dengan wajah datarnya.
"Gue tau lo di sana."
Zahra menunduk dan menghela nafas. Ia menggigit bibir, dan akhirnya memunculkan diri.
Zahra tersenyum kaku menatap cowok itu yang tidak mengubah raut datarnya.
"Ngapain?" tanya Devan. Iya, laki-laki yang tadi berkelahi adalah Devan. Dengan Xavier, musuh abadinya.
Zahra menghampiri Devan, ikut meringis melihat wajah tampan cowok itu yang sekarang babak belur, ya walaupun mungkin tidak separah lawannya.
"Mau Aksa?" tanya Devan singkat dan tepat sasaran.
Zahra mengerjap, sedikit merona.
Devan tanpa sadar menahan senyum.
"Kayaknya jatuh cinta itu ribet, ya?" gumam Devan sangat pelan hingga tak ada yang mendengar.
"Wajah kamu luka, aku obatin ya?"
Devan refleks menyentuh lukanya dan sedikit meringis.
"Gak perlu."
"Tap--"
"Di Basecamp."
Zahra mengangkat alis bingung.
"Kenapa?"
Devan menghela nafas. "Aksa gak sekolah. Dia di Basecamp."
"Terus kamu?" Zahra menunjuk Aksa membuat Sang empu mengernyit.
Sadar Akan satu hal, Devan menghela nafas lagi.
"Ayo. Gue anter."
"Kamu gak sekolah?" tanya Zahra.
"Abis nganter lo."
Zahra menatap Devan tak enak. Ia merasa merepotkan Devan yang notabenenya baru terkena musibah.
"Aku sendiri aja, deh," ucap Zahra canggung.
"Kenapa?"
"Hah?"
Devan berdecak. Ia mulai menaiki motornya lalu menatap Zahra yang masih ada di posisinya.
"Kalo gue biarin lo sendiri, yang ada nanti Aksa ngamuk ke gue."
"Aku juga lagi marah sama dia. Harusnya dia sekolah tapi malah bolos."
Devan menggeleng pelan.
"Ya udah. Lo marah-marah Sana sama Aksa. Ayo, gue anterin ke dia nya."
Zahra Akhirnya mengalah. Ia tak punya pilihan lain. Dari pada nanti Devan malah kesal padanya.
Zahra naik ke jok motor dengan sedikit bantuan lalu memegang sisi jaket Devan.
"Nanti anterin Aku ke mini market dulu, ya."
Devan berdehem.
***
Devan pikir, Zahra Akan membeli sesuatu untuk dirinya. Namun gadis itu malah menariknya duduk dan mulai mengobati wajahnya.
"Maaf, Devan. Aku repotin kamu. Sebagai bayarannya, Aku obatin luka kamu." Itu kata-kata Zahra saat sedang Mengobati wajahnya, dan Devan hanya diam saja.
"Makasih."
Zahra yang sedang membereskan obat hanya mengangguk dengan senyum tulus.
Mereka tak menyadari jika seseorang memotret mereka secara diam-diam.
***
Zahra turun dari motor. Setelah menyerahkan helm dan mengatakan terima kasih pada Devan, Ia berjalan memasuki Basecamp Aksa.
Suasana Basecamp sepi. Mungkin karena anggota nya sedang sibuk sekolah. Zahra melihat Ruang Depan kosong membuat kakinya otomatis ke ruang tengah.
Senyum di bibir Zahra hilang saat melihat seseorang yang duduk di samping Aksa dan menempel padanya.
Siapa gadis itu?
Seharusnya, setelah Ini Ia marah pada Aksa. Tapi amarahnya berganti gemuruh di dadanya saat melihat gadis asing itu.
"Aksa," ucap Zahra mendekat. Pangggilan itu membuat Aksa menoleh, rautnya agak berbeda saat melihat Zahra, tapi Ia menormalkannya lagi.
"Ngapain di sini?" tanya Aksa dengan nada dingin yang membuat Zahra agak Terkejut.
"Aku main pastiin kamu masuk sekolah."
"Kamu siapanya Asa?" tanya gadis di dekat Aksa itu. Yang sedang memeluk lengan Aksa tanpa beban.
Zahra menatap Gadis itu dan Aksa.
"Temen." Zahra menghela nafas.
"Oo, kirain siapa. Kenalin, Aku Ara. Sahabat Aksa," ucap gadis itu sambil mengulurkan tangan. Ia terlihat antusias dan baik membuat Zahra Akhirnya menerima uluran tangannya.
"Zahra."
Tiara menatap Zahra beberapa detik dan tersenyum tipis.
"Ayo berangkat," ucap Aksa dengan mata tertuju pada Tiara.
"Kamu ngajak aku?" Tiara terlihat senang.
"Hm."
"Ayo!"
Tiara mengangguk, Ia segera menggandeng tangan Aksa dan tersenyum sekilas pada Zahra yang terlihat seperti sad girl.
Sebelum benar-benar pergi. Aksa berhenti tidak jauh dari Zahra dan menoleh pada gadis itu.
"Lo pulang aja. Gue sibuk."
Dua kalimat itu sukses menusuk hati Zahra hingga tanpa sadar matanya berkaca-kaca saat menatap Aksa.
***
Aksa menghentikan motor besarnya tidak jauh dari parkiran. Ia menatap Tiara Selena dari kaca spion.
"Turun."
Tiara mengerjap. "Kok gak masuk?"
"Males. Lo aja."
Tiara mengerucutkan bibirnya dan perlahan turun, meski begitu senang karena Aksa seperti menerima kehadirannya lagi.
"Makasih Asa."
"Hm."
Meski Aksa sudah di sini, tapi pikirannya masih tertuju pada Zahra yang entah sudah pulang atau belum.
Bukan tanpa Alasan Aksa begini. Ia.. Marah dan kesal. Atau orang biasanya menyebutnya cemburu karena seseorang mengirimkan Foto dengan keterangan Zahra Dan Devan yang sedang berduaan di Devan sebuah mini market.
Harusnya Aksa biasa saja. Apalagi Devan adalah sahabatnya sendiri, tapi saat melihat Zahra yang tersenyum pada Devan Dan cowok itu menatapnya berbeda membuat emosi Aksa memuncak.
"Kamu kenapa?"
Aksa mengerjap lalu memalingkan wajah pada Tiara yang masih di situ.
Bukankah Ia sudah menyuruh gadis itu masuk?
"Bukan urusan lo." Aksa menghela nafas. Perasaannya sekarang tidak tenang karena memikirkan Zahra.
Tanpa mengatakan apapun lagi. Aksa kembali Menyalakan mesin motornya. Ia akan kembali ke Basecamp. Setidaknya Aksa Akan mengantar Zahra pulang. Dalam hati juga Ia menyesal sudah marah-marah tak jelas pada Zahra.
Mungkin karena rasa cemburu ini. Nanti juga Aksa Akan berbicara pada Devan. Setitik rasa itu ternyata sangat memengaruhi dirinya hingga tak percaya pada Zahra bahkan Devan.
Ya, Aksa sadar ini adalah Resiko mencintai seseorang.
*****