*****
"Hai, Asa! Ara bawa sesuatu buat kamu."
Aksa pura-pura tak mendengar dan Fokus pada acara menulisnya, maksudnya menconteknya. Pagi-pagi begini seharusnya mood nya bagus, apalagi semalam bertukar kabar dengan Zahra. Tapi kehadiran satu makhluk ini merusak semuanya.
Ketiga teman Aksa bahkan sudah meringis melihat pemandangan itu. Ya, tapi gimana? Gadis itu mempunyai sifat sangat batu.
"Buat lo aja," ucap Aksa ketus. Percayalah, sebisa mungkin Ia sedikit menghargai gadis yang mengaku 'Ara' itu.
Ara mengerucutkan bibirnya. Ia tak terbiasa dengan sifat Aksa baru-baru ini yang terbilang sangat ketus dan kasar.
"Kamu yakin gak mau liat dulu? Padahal kan aku udah bawain buat kamu," ucap Ara lagi. Mencoba membuat Aksa tergiur.
"Nggak."
"Tap--"
"Lo gak denger Aksa bilang apa?" ucap Rangga sama ketusnya. Bayu sampai menyenggol lengannya.
Di sini, Posisi Ara--atau kita bisa mengenalnya sebagai Tiara itu memang serba salah. Padahal dulu Ia sangat dekat dan akrab dengan mereka.
Karena sebuah kesalahan.
Tiara menyadarinya, sangat. Dan Ia harus tenggelam dalam lautan penyesalan.
Devan angkat tangan dengan menyeret Tiara. Tak kasar tapi cukup membuat Tiara makin merasa sedih.
"Jangan ganggu Aksa," ucap Devan dengan dingin.
"Apa gue gak punya kesempatan?" tanya Tiara dengan raut wajah sedih.
Devan menyandarkan tubuhnya di tembok. Posisi mereka ada di depan kelas Aksa.
Ia menatap dingin Tiara yang sedang menahan air matanya. Entah benar atau hanya berpura-pura, yang pasti Devan tak akan luluh begitu saja.
Karena ini menyangkut ketenangan Aksa.
"Tunggu," ucap Devan sambil menghela nafas.
"Aksa mungkin butuh waktu," lanjut Devan.
Tiara menunduk, lebih baik menatap Lantai di banding wajah datar Devan.
"Gausah ganggu Aksa dulu," ucap Devan. Ia menepuk bahu Tiara pelan dan masuk kembali ke dalam kelas meninggalkan Tiara yang terdiam.
***
Zahra melambaikan tangannya ceria pada seseorang yang baru saja keluar dari Gerbang. Aksinya juga tanpa sadar membuat banyak orang memperhatikannya.
"Kok di sini?" Nah, berbeda dengan Aksa yang cuek dengan sekitar. Justru Ia senang dengan kehadiran Pujaan hatinya, Zahra.
"Mau main, boleh kan?" ucap Zahra sambil menggaruk kepalanya.
Belum sempat Aksa menjawab, Karena teman-temannya sudah menyeletuk lebih dulu.
"Ya boleh dong, cantik," sambar Rangga dengan kedipan mata.
Jika Bayu, Ia hanya tersenyum centil karena tak mau Aksa menghajarnya lagi.
"Jangan lama-lama," suara Devan. Ia menarik kedua teman jahilnya meninggalkan kedua insan itu.
Aksa sendiri yang menyadari mereka menjadi pusat perhatian segera menggandeng Zahra ke parkiran.
Tak tau saja jika tindakannya membuat mereka semakin penasaran dengan hubungan kedua orang itu.
Ya di pikiran mereka, Kok bisa?! Seorang Aksa yang terkenal cuek dan galak, bisa seceria itu bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bahkan lekukan tubuhnya saja tak terlihat.
"Aksa, kenapa semua orang ngeliatin kita?" tanya Zahra dengan polos. Ia merasa jika dirinya tak melakukan kesalahan, jadi mengapa di lihat dengan sebegitunya.
"Gapapa. Lo kan cantik, jadi wajar banyak yang liatin," ucap Aksa. Zahra memasang wajah bingung membuat Aksa terkekeh kecil.
Sekali lagi, semua tercengang.
"Ayo," ajak Aksa mengkode Zahra menaiki motornya.
"Gak ada helm, Aksa?"
"Bentar." Aksa berjalan ke beberapa temannya yang sedang berkumpul di bagian paling pojok tempat parkir.
"Pinjem helm," datar Aksa.
"Lo ngomong sama gue?"
"Hm."
Cowok yang di ajak mengobrol itu berdecak kecil.
"Lagi butuh aja tetep irit bicara ya lo," cibir nya tapi tetap menyerahkan helm.
"Ck, helm punya cewek lo."
"Lah, terus gue balik sama cewek gue gimana?"
"Gampang," ucap Aksa sambil menyodorkan 5 lembar pecahan seratus.
Cowok itu menggaruk rambutnya yang kebetulan gatal.
"Nanti kalo kurang tinggal bilang."
"Eh, Sa," cegah satu temannya yang lain membuat Aksa terpaksa kembali berbalik badan.
"Itu cewek lo?" tanyanya sambil menunjuk Zahra.
Aksa menepis tangan cowok itu karena merasa tak sopan.
"Iya."
Setelah itu Aksa pergi.
***
Mereka tidak pulang kerumah, karena Aksa yang memang tidak punya tempat untuk pulang selain apartementnya.
Masa iya mereka pulang ke sana, Aksa tak mungkin melakukan itu.
"Suka kesini?" tanya Aksa. Mereka pergi ke Toko buku terbesar di kota itu.
Zahra tersenyum dan mengangguk.
"Berarti suka baca buku?"
"Iya, kamu kan tau kalo homeschooling itu gak se intens pelajaran di sekolah. Jadi ya, harus banyak belajar."
Aksa mengangguk mengerti. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam toko.
"Aku udah lama banget gak kesini," ucap Zahra sambil menarik nafas perlahan. Ia menyukai bau dari buku yang baru di cetak.
Ya, seperti berada dalam dunianya sendiri, serasa istirahat dari Dunia Fananya yang tidak seindah yang di lihat.
"Kita ke tempat buku Non Fiksi yuk." Zahra berjalan lebih dulu membuat Aksa mengikutinya dari belakang.
Tapi sebelum sampai, gadis itu berbelok ke bagian khusus belajar anak.
"Mau beli buat ponakan?" tanya Aksa melihat Zahra mengambil buku apa saja yang di lihatnya.
"Buat adik-adik aku," ucap Zahra menoleh pada Aksa dan tersenyum.
"Punya adik?"
Aksa merutuki dirinya yang sangat kepo. Padahal Zahra biasa saja.
"Iya, Punya," ucap Zahra dengan nada gemas membuat Aksa tersenyum sangat tipis.
"Ini bagus deh," ucap Zahra sambil menatap judul buku, Ia hendak membawanya, tapi Aksa yang peka jika bawaan Dia banyak mengambil alih itu.
Aksa juga ikut membaca judul dari buku yang tadi Zahra ambil.
Seketika Ia tersenyum kecut. Zahra belum menyadari itu karena ia masih sibuk mencari buku yang lain.
Terkadang, batas yang tak terlihat itu padahal sangat nyata adanya.
"Apa gue boleh selalu kaya gini terus?" gumam Aksa. Ia menghela nafas, mencoba tak memikirkan itu lagi.
Setelah mereka selesai, mereka mampir makan di restoran terdekat.
"Bukunya banyak banget," ucap Aksa sambil menatap kardus yang memang tadi Ia bawa.
Kardus itu berisi berbagai macam buku yang di dominasi untuk anak-anak.
"Mau di kasih ke adik panti," ucap Zahra.
"Kamu juga ikut ya."
Aksa berdehem mengiyakan.
"Di apartement, kamu kalo laper makan apa?"
"Makan apa aja."
Zahra mengernyit membuat Aksa terkekeh kecil.
"Ya paling beli keluar," ucap Aksa.
"Kalo kangen masakan rumah, kamu bilang aja sama aku ya."
"Hmm. Kenapa baik banget?"
Zahra salah tingkah dan memilih memainkan sedotan jusnya.
"Gue gak mau lo cape-cape," ucap Aksa dengan nada lembut membuat Zahra mendongak.
"Yang penting jangan menghilang lagi, ya?"
Zahra menahan senyum.
"Kita berandai mau, gak?"
Aksa yang kebetulan sudah menyudahi makannya itu kini memfokuskan diri pada Zahra.
"Andai kita seiman, pasti kita gak akan capek overthinking ya." Zahra berbicara dengan nada biasa tapi membuat Aksa merasa tertohok.
"Andai kita seiman, gue pasti berani ke rumah lo," ucap Aksa menatap Zahra dalam.
Aksa dan Zahra bertatapan dan mereka sama-sama tersenyum.
"Kita gak bisa nyalahin takdir, dan gak akan pernah bisa."
*****