"Lo beneran baik-baik aja Kan, Ketua?"
"Gue kalo liat tuh orang udah gue hajar abis-abisan."
"Cara sampah!"
"Pecundang!"
Devan yang berada di sisi Aksa berdehem pelan membuat protesan mereka terhenti.
Aksa sedang menceritakan kronologi mengapa Ia bisa kecelakaan, dan benar dugaannya jika motornya di sabotase oleh geng itu.
Beberapa anggota yang hadir kemarin tentu saja tahu apa yang terjadi, tapi bagi yang tidak, tentu penasaran. Karena tidak biasanya seorang Aksa di kalahkan.
Julukan King Of Race sudah melekat dalam dirinya, Aksa sudah terbiasa menang dan sangat jarang kalah. Dan jika poin terakhir terjadi, maka penyebabnya hanya satu, kecurangan.
Dan Gangster mereka sangat membenci itu.
"Gak perlu ada keributan, gue gak mau keberadaan kita makin jelas," ucap Aksa. Ia tidak sembarangan mengatakan ini karena beberapa hari yang lalu, nyaris ada seorang detektif handal yang ingin menyelidiki mereka, dan untungnya Aksa bisa mengatasi itu semua hanya dengan serangan di beberapa titik yang menghilangkan ingatan seseorang.
Aksa mempunyai kemampuan itu sehingga keberadaan mereka tak pernah terdeteksi.
Mungkin bagi yang Ingatannya kuat saja yang tau jika mereka adalah segerombolan gangster.
Namun untuk rupa dan perawakan, tentu mereka melupakannya.
Mereka diam, saling berperang dengan pendapat masing-masing di dalam otak namun Aksa menanyakan hal yang lain.
Membuat mereka sadar, Jika Aksa tak terlalu mempermasalahkan kejadian kemarin.
Bahwa Aksa mungkin sengaja, demi mendapat sebuah hal yang telah lama di dambakan nya.
Devan menatap Aksa yang sedang memimpin rapat dengan tatapan mata tajam yang meredup.
"Nanti kita beli barang-barangnya, tugas kalian cuma cari tempat mana aja yang harus kita datangi."
Setelah itu rapat selesai.
***
"Zahra."
"Hey," sapa Zahra pelan.
"Lo kemana aja?"
"Di rumah."
Aksa menyamai langkah kaki kecil Zahra yang tidak seberapa dengannya membuat Zahra meliriknya dan tersenyum tipis.
"Kamu udah sembuh?"
"Seperti yang lo liat."
Zahra tersenyum, kali ini lebih manis. Di wajahnya terlihat kelegaan.
"Maaf kemarin gak jenguk," ucap Zahra membuat Aksa menggeleng.
"Gapapa."
"Padahal aku udah janji bakal dateng lagi. Maaf ya, Aksa."
"Gapapa, Zahra. Gue tau kalo hidup lo gak berputar di gue doang."
Zahra menghela nafas, Ia mendongak menatap Aksa yang juga sedang memandanginya.
"Mau aku traktir sesuatu?"
Aksa menaikkan alisnya lalu tersenyum sangat tipis.
"Boleh."
***
Dan disinilah mereka sekarang, Di sebuah Caffe yang juga menjual makanan berkuah dengan rasa pedas dan juga terlihat menggiurkan.
Namun Tidak untuk Aksa.
Karena, Masa iya Dia makan seblak?
Makanan sejuta umat kaum hawa.
Maka dari itu Aksa lebih memilih memesan sebuah Kopi Espresso.
Zahra menatap Aksa yang sedang meminum kopinya dengan tatapan ingin tahu.
"Emang enak? Bukannya pait, ya?"
"Ini enak, kok. Bagi yang suka aja."
Zahra membulatkan bibirnya dan mengangguk, Ia juga meminum kopi cappuccino nya.
"Kamu cuma pesan itu aja?"
"Iya."
"Beneran gak mau pesan yang lain?"
Aksa tersenyum kecil lalu mengusap kepala Zahra dengan gemas.
"Benaran, Zahra."
Zahra menepis tangan Aksa pelan dan memalingkan wajah dengan pipi merona merah.
Beberapa menit yang di habiskan dengan hening namun hangat itu, sebuah menu yang tadi di pesan Zahra akhirnya sampai juga.
"Selamat makan," ucap sang pelayan dengan sedikit menunduk dan tersenyum manis membuat Zahra ikut tersenyum dan Aksa hanya menganggukan Kepala.
Mata Zahra berbinar saat melihat semangkuk seblak level 5 di depannya.
"Bisa habisin?" tanya Aksa dengan nada tak yakin.
"Bisa, dong." Zahra mulai menyendok seblaknya tanpa memedulikan Aksa yang terus menatapnya.
Satu sendokan habis di mulut Mungil Zahra dan gadis itu langsung merasakan rasa pedas yang bertahta di lidahnya.
Aksa tau itu dan dia hanya menahan dengusan geli.
"Gimana rasanya?" tanya Aksa sambil menopang kepala dengan satu tangan, Zahra meliriknya dan hampir tak percaya jika Aksa bisa jahil juga.
"Enak. Enak, kok." Zahra kembali ingin memakan seblaknya namun sebuah tangan kekar menghentikan pergerakannya.
"Kayaknya gue juga mau," ucap Aksa. Dan tanpa persetujuan dari Zahra, seblak itu sudah di tangannya, lengkap dengan raut wajah Zahra yang cemberut sempurna.
Aksa memakannya dengan wajah tanpa dosa.
"Sialan, makanan apaan, nih?" batin Aksa menjerit. Karena jujur saja, Ia tak menyukai rasa pedas. Tapi jika Aksa bersikap cuek Pada Zahra maka hasil akhirnya Ialah Zahra yang akan sakit perut. Dan Aksa tak ingin hal itu terjadi.
Maka dengan modal gengsi, Ia menghabiskan Seblak itu di ikuti tatapan iri Zahra.
"Makan aja Red Velvet nya, itu lebih enak," saran Aksa.
***
"Zahra, menurut lo apa yang paling gak bisa kita hindari di dunia ini?" tanya Aksa saat mereka sedang di jalan pulang. Untuk kendaraan, mereka menggunakan mobil milik Devan yang tadi di antar atas permintaan Aksa sebelum mengajak Zahra makan.
Niatnya Zahra yang membayari sebagai permintaan maaf namun Aksa tentu tak membiarkan itu.
Kan sudah di bilang jika semua ini hanya alibi agar Aksa makin dekat dengan Zahra.
Sebagai teman.
"Takdir?" jawab Zahra agak ragu.
Gadis itu juga bingung dengan kerandoman Aksa.
Aksa memutar stir ke arah kiri saat ada belokan dan mengangguk menyetujui.
"Tapi ada hal yang lebih kompleks."
"Apa?" tanya Zahra antusias.
"Perbedaan," jawab Aksa pendek.
"Hah?" Zahra bingung dengan maksud ucapan Aksa yang random itu.
"Coba cari jawabannya," ucap Aksa melirik Zahra sekilas dengan senyum kecil.
Zahra terdiam sambil memutar abstrak pikirannya untuk mendapat jawaban itu namun Ia belum juga mendapatkannya hingga mobil tiba-tiba berhenti, di ikuti dengan kumandang Azan yang terdengar di radio mobil.
"Sholat dulu, gih. Gue tungguin." ucapan itu membuat Zahra menatap Aksa kaget.
"Kamu?"
Aksa tersenyum. "Gue kira lo udah tau kalo gue Nonis."
Detik itu juga, Zahra merasa seperti ada yang menampar nya kuat-kuat.
***
Aksa membaringkan tubuhnya dengan hati-hati di kasur. Meski lukanya perlahan mengering namun Aksa tak bohong jika itu masih terasa sakit.
Ia sejenak terdiam menatap bayangan awan yang bergerak bebas di jendela apartement nya.
Aksa memang memilih pulang ke apartement nya saja dibandingkan pulang ke rumah yang sunyi dan kelabu itu.
Cowok tampan dengan baju santai yang melekat di tubuhnya itu menghela nafas sejenak.
Ia bisa mengingat setiap detail wajah Zahra saat tadi mengatakan itu dan hal tersebut benar-benar mengusik dirinya.
Bagaimana bisa Aksa merasa jika Zahra juga merasakan apa yang dia rasa?
Namun, di sisi lain Ia juga merasa bersalah karena telah meredupkan binar indah yang selalu di perlihatkan oleh Zahra.
"Zahra, andai aja kita sama," gumam Aksa pada kesunyian ruangan.
*****