*****
Seorang gadis cantik terlihat terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Mata indah yang biasanya menampilkan binar bahagia itu terpejam damai, enggan bangun.
Suara mesin elektrokardiogram menampilkan irama jantungnya. Juga, dengan beberapa alat penunjang lain seperti tiang infus dan alat bantu pernafasan. Sejauh ini semua terlihat baik, tapi gadis itu tidak juga bangun. Seakan dunia alam bawah sadarnya lebih indah, seakan dunia adalah hal terburuk yang pernah Ia tinggali.
Pada kenyataannya, Ia hanya sedang berjuang, ingin bangun namun kondisi tubuh nya belum membolehkan.
"Anak Umma pasti kuat kan?" monolog Seorang wanita cantik yang duduk di samping Brankar, Ia menggenggam tangan sang Putri sambil sesekali menciuminya.
Berdoa pada Allah dan memberikan kalimat untuk menenangkan dirinya sendiri dan orang-orang sekitarnya.
"Umi.. Dia pasti Kuat Kok," ucap Seorang wanita lain yang duduk di sofa dengan Nada sendu.
"Dia udah terlalu banyak merasakan sakit sayang. Umi takut.."
Wanita itu menghampiri Ibunya dan memeluknya dari belakang.
Ia menangis di sana, melihat seseorang yang biasanya berdebat dengannya menjadi lemah begini.
"Aku yakin Dia Pasti bisa sembuh."
***
Aksa sekarang sedang dalam mode senggol bacok. Benar-benar tidak bisa di ajak bercanda, jangankan itu, Di ajak ngobrol saja mereka ragu jika Aksa tak melayangkan pukulan.
Semua ini Karena seseorang yang sekarang menjadi prioritas Aksa.
Tidak bertemu beberapa hari dan Tanpa Kabar membuat Aksa uring-uringan tak jelas.
Bahkan Ia seringkali mengajak ribut Kakak kelas atau adik kelas yang menurutnya menyebalkan.
"Asa!"
Dan satu Lagi..
Aksa menatap Datar Seorang gadis yang terus Mengekorinya dari sejak Ia keluar dari kelas.
"Kamu kok tinggalin aku sih?" decak Gadis itu dengan Nada sebal, tak lupa dengan bibirnya yang mengerucut.
"Jangan. Ikutin. Gue!" tekan Aksa dengan tatapan Tajam namun tak membuat gadis itu takut. Ia malah tambah memanyunkan bibirnya.
"Mungkin kamu lupa ya sama aku Asa? Ck, yaudah, aku perkenalin diri aku lagi, Aku tuh--"
Belum sempat Gadis itu menyelesaikan ucapannya, Tiba-tiba saja teman-teman Aksa sudah datang lalu menarik kerah gadis itu pelan agar tak lagi mengikuti Aksa.
"Neng Tiara yang cantik dan imut, mending kamu disini aja ya, soalnya Aksa lagi gak mau di ganggu."
Gadis bernama Tiara itu melepas Paksa tangan mereka dan menatap Bayu dan Rangga yang berusaha menjauhkan Aksa Darinya.
Tidak lagi. Aksa tidak boleh lagi jauh darinya, Tiara Tak bisa hidup tanpa cowok itu. Tiara butuh Aksa.
Tiara menatap mereka nyalang.
"Urusan gue sama Aksa, bukan sama kalian!" pekik Tiara.
Bayu mengusap telinganya yang terasa panas.
"Buset, Giliran sama Aksa aja manis, giliran ama kita kek singa betina." Bayu berbisik pelan pada Rangga yang mengangguk menyetujui.
"Ciri-ciri cewek carmuk," ucap Rangga.ย Ia tidak berbisik membuat Tiara makin kesal.
"Asa!" Tiara kembali mengejar Aksa yang berjalan meninggalkannya. Gadis itu kembali di tahan oleh Rangga dan Bayu.
"Mending lo gausah kejar dia," ucap Rangga memperingati.
Devan melihat itu sambil memasukan kedua tangan di dalam saku celana. Mata tajamnya menyorot Tiara yang mulai menangis.
"Kenapa lo baru datang di saat Aksa udah lupain lo?" tanya Devan datar. Dan hal itu juga membuat Tiara makin menangis.
Ucapan Devan tepat mengenai sesuatu dalam dirinya yang membuat Tiara merasakan sengatan nyeri.
Rangga menghela nafas lalu melepaskan Tiara yang di ikuti oleh Bayu.
Bayu menatap Tiara Iba. Mau bagaimanapun juga, Dulu mereka pernah dekat tapi karena kesalahan Tiara, semua menjadi rumit.
"Asa gak mungkin lupain aku gitu aja, Kan?" lirih Tiara. Bayang-bayang Aksa yang ketus dan sangat dingin padanya dan Aksa yang dulu hangat berputar di kepalanya membuat Tiara makin merasa menyesal.
Devan yang mendengar itu hanya tersenyum miring.
"Lo tau kan kenapa seseorang bisa dengan mudah melupakan orang yang dulu sangat dekat?"
Tiara diam. Yang lain pun begitu, karena Mereka tau apa yang di maksud oleh Devan.
***
"Sa,"
Aksa yang di panggil hanya diam saja sambil menatap layar ponselnya, Terlihat tidak bergairah melakukan apapun, bahkan tatapan matanya pun kosong.
Devan yang ada di belakangnya menepuk pundak Aksa pelan membuat cowok itu agak tersentak.
"Lo beneran gak mau ngomong apapun sama Tiara?"
Aksa mendengus keras sambil menekan layar ponselnya.
"Gak!"
Devan menghela nafas dan mengangguk pelan. "Tapi lo harus Terima Resiko kalo Tiara ganggu ketenangan lo."
Aksa meraup kasar wajahnya. Entah mengapa Ia menjadi tak terkendali. Entah karena Zahra yang tidak ada kabar, atau kedatangan Tiara yang terlalu tiba-tiba.
Tiara Evelyn Azalea, seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya, juga pernah menjadi seseorang yang membuat Aksa tidak merasa sendiri.
Tapi Tiara juga yang menanam luka dengan pergi tanpa kejelasan yang jelas.
Membuat Aksa sadar jika Ia tak pernah memiliki tempat untuk pulang.
"Lo udah tau alesan Tiara tiba-tiba menghilang?" Rangga memberanikan diri bertanya walapun Tau Jika Aksa tak suka dengan pertanyaannya.
Ya memang sejauh ini yang paling berani bertanya berbagai macam pertanyaan agak privat adalah Devan.
"Gue gak mau tau," ucap Aksa menghela nafas, Ia sadar jika para sahabatnya takut padanya.
Tapi Aksa memang begitu, sulit mengendalikan diri jika marah.
"Iya sih, kan yang ada di otak lo cuma Zahra, jadi yang lain lewat," celetuk Bayu yang di Hadiahi jitakan oleh Rangga.
"Diem bego," desis Rangga, merasa gemas dengan Mulut Bayu yang seperti lambe turah.
Cowok berwajah Bayi itu memutar bola mata malas, merasa selalu di salahkan.
***
"Penyakit yang di derita Oleh ananda Zahra sudah masuk tahap Akut, Bu, pak. Kami hanya memiliki sedikit harapan untuknya bertahan hidup."
Ucapan itu membuat kedua orang dewasa yang sedang duduk di hadapan seorang dokter spesialis--terlihat sedih.
Dokter cantik nan muda itu tersenyum hangat, menguatkan salah satu keluarga pasien yang sudah lama di kenalnya ini.
Dia berusaha menguatkan walau tak akan menghasilkan banyak perubahan.
"Tapi biar bagaimanapun juga, Ananda Zahra sudah sangat kuat dan bertahan sadari kecil. Jujur saja, kami sangat salut."
"A-apa tidak ada cara supaya Putri kami sembuh, dokter?" tanya Umma dengan suara sedikit bergetar, mata memerah nya pun tak bisa di tutupi membuat Abba mengelus bahunya, berusaha menguatkan juga.
"Tentu ada walau kecil kemungkinan, ini mengacu pada katup jantung Ananda juga yang bocor, jadi kita hanya memiliki 65% harapan."
Umma menyandarkan tubuh lemas nya pada kursi dengan air mata yang turun mengaliri pipinya.
Hanya 65% tapi operasinya melibatkan nyawa. Ia benar-benar tak sanggup melihat Sang Putri yang selalu kesakitan, Ia tak bisa melihat Zahra yang sering berpura-pura kuat.
"Bu, Pak. Percaya dengan kekuatan do'a dan keyakinan, bukankah Ananda Zahra sudah membuktikan itu dari dulu? Semangat Zahra yang kuat itu seharusnya membuat Kita ikut kuat, Demi Zahra."
*****
Note :
Hai semua! Ini pertama kalinya saya menyapa gak si?
Oke, pertama-tama. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada para pembaca yang setia membaca AKSARA.
Dan kedua, Selamat hari raya idul Fitri ๐ bagi yang merayakan.
Minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin๐
Maaf ya jika saya melakukan kesalahan baik sengaja maupun tidak.
Maaf juga jika tulisan saya ada yang menyinggung baik di sengaja maupun tidak ๐