KEGIATAN yang berulang. Setiap hari, Daniel berangkat sekolah. Saat di sekolah tadi, Daniel tidak mendapatkan keramahan seorang Lily. Gadis itu tidak berbicara apapun padanya. Daniel merasa bersalah karena menciumnya malam kemarin. Dia yakin, Lily marah karena itu.
Entah mengapa, Daniel sudah membujuknya, merayunya, tetap saja Lily pelit hanya untuk membuat simpul senyum untuknya.
Sampai saat Daniel pulang pun, dia masih memikirkan gadis itu.
"Ka Rachel? Kenapa tidak masuk?" tanya Daniel yang menemukan Rachel sedang membaca komik di teras rumah Daniel.
"Tidak apa-apa. Aku menunggumu, kok," jawabnya dengan pandangan mata yang tak bisa tertembus jarum pun.
"Harus, ya, membaca sampai pupilmu seperti akan menyentuh bukunya?" kata Daniel. Dia menggelengkan kepalanya heran.
"Ah, hehehe. Habisnya seru, sih. Aku sedang senang membaca komik ini, lho, Daniel," kata Rachel yang menunjukan komik itu.
Daniel membelalakan matanya. "Apa? Sudah ada di sini, ya? Wah, aku lupa membelinya," kata Daniel yang tidak sengaja merebut komik itu dari tangan Rachel.
Rachel tersenyum miring. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pun membawa sesuatu dari tas hitam barunya. "Tada! Ini untukmu. Aku membelinya dua. Aku tahu kamu pasti suka, 'kan?" kata Rachel yang dibalas pelukan erat Daniel. Daniel tampak memeluk Rachel sambil berputar-putar. Mirip anak kecil.
Hingga tanpa sadar, seorang gadis sedang memegang komik yang sama di penjuru rumah sebelahnya. Begitu Lily melihat mereka, dia pun melempar komik itu ke tong sampah di sampingnya dengan penuh amarah.
"Aish, aku sudah gila! Kenapa harus sampai sejauh ini, sih? Aku tidak perlu membeli komik itu untuknya. Harusnya aku membeli untuk diriku saja tadi. Argh! Kesalnya! Buta! Buta! Aku gila!" teriak Lily dengan mengacak rambutnya dan menengadah ke atas langit.
Sampai beberapa orang melihatnya dengan pandangan takut.
'Aish, mereka saja takut. Aku benar gila, rupanya,' batinnya. Lily tampak pulang dengan menggusur berat ranselnya itu.
***
"Sudah, dong, Daniel membacanya," kata Rachel. Merebut komik yang diberikannya. "Nah, sekarang kerjakan soal ini," sambungnya. Menggantikan jenis buku tersebut.
"Argh! Bisakah aku tidak belajar hari ini?" tanya Daniel kepada Rachel yang menatapnya tajam. "Baik, aku akan belajar dengan giat," sambungnya. Daniel merasa takut ditatap membunuh seperti tadi.
"Kalau kamu berhasil dalam ujian kali ini, aku akan kasih kamu hadiah, Daniel," tawar Rachel kepada Daniel yang dilihatnya semakin semangat. Api yang berkobar seperti memanaskan tulang belakangnya rapi.
"Benarkah? Aku harus mendapatkan nilai berapa?" tanya Daniel yang masih setia menancapkan tinta diatas kertas itu.
"80, deh. Bagaimana? Seharusnya tidak sulit, bukan?" jawab Rachel sembari memutar kanan dan kiri kursi yang dibeli Adam kemarin untuk Daniel.
"Mm, baiklah. Akan aku usahakan. Kalau gagal, bagaimana?" tanya Daniel kepada Rachel.
Rachel menghentikan putarannya tersebut. "Kamu harus jadi pacarku," bisiknya yang membuat telinga Daniel memerah takut.
"Hah? Jangan itu, dong. Tidak mungkin aku berpacaran dengan kak Rachel," jawabnya dengan bibir kecut. Mirip bebek kuning yang selalu ikut mandi bersama Rachel.
"Hahaha. Bercanda. Aku juga mana mau sama laki-laki aneh sepertimu," jawabnya dengan memutar kembali kursi tadi.
"Kalau begitu, apa?" tanya Daniel yang sengaja menghentikan tulisannya itu. Dia menatap Rachel sekarang.
"Cium aku. Seperti kamu mencium gadis kemarin," jawabnya menggoda.
"Hey, sudahlah! Hadiahnya lupakan saja," kata Daniel merajuk.
"Hey, ayolah! Aku hanya bercanda, Daniel. Hahaha. Baik, bagaimana jika kamu memberitahu rahasia terbesarmu? Jika kamu gagal, kamu harus memberitahuku," jawabnya.
"Baik," kata Daniel singkat.
"Benar, 'kan? Aaaaa! Sayang sekali, deh sama anak ini," kata Rachel yang tiba-tiba memeluk Daniel paksa.
"Hey, menjauhlah!" bentak laki-laki polos tersebut.
"Baik, tuan muda," jawabnya sembari melepaskan eratan tangannya.
"Sudah," kata Daniel. Menyerahkan soal yang diisi dengan penuh semangat tadi.
"Wah, Daniel! Setelah mengajarmu selama ini. Aku terharu kamu benar dua soal dari sepuluh. Biasanya kamu salah semua. Bagus, Daniel! Tingkatkan belajarmu, ya. Aku memberimu komik, bukan untuk kamu baca setiap waktu. Aku memberikannya sebagai hadiah permulaan karena kamu sudah memujiku di depan pak Adam kemarin," paparnya dengan penuh semangat.
"Kak Rachel, aku ingin bertanya sesuatu padamu," kata Daniel. Menatap Rachel intens.
Rachel yang tersenyum riang dengan jawaban Daniel tersebut, langsung berhenti dan memilih melihat sepasang mata indah milik Daniel itu. "Hm? Bertanya apa?" tanya Rachel dengan menggendong dagunya.
"Hubungan kamu dengan pak Adam itu, apa?" tanya Daniel ragu-ragu.
"Oh, aku, sih, hanya sebatas teman tidurnya saja," jawab Rachel enteng.
"Hah?! Ha-hanya?" ucap Daniel yang tidak pegal dengan mulut terbukanya itu.
Rachel membenarkan mulut terbuka Daniel. Takut seperti itu selamanya. "Iya, kenapa memang? Terkejut, ya?" kata Rachel yang tersenyum centil di depannya.
Daniel memundurkan tubuhnya. Dia juga bersiaga dengan memberikan telapak tangannya untuk mengatakan, "Stop! Jangan mencuri hatiku!" ungkapnya.
"Hey, bocah! Kenapa juga menanyakan hal itu?" tanya Rachel. Memegang pinggang rampingnya itu.
"Ti-tidak. Tidak perlu dilanjutkan. Teruskan saja periksa jawabanku," katanya takut.
"A-hahaha. Daniel, Daniel. Kamu ini jangan terlalu polos, dong. Nanti dimanfaatkan orang, lho," kata Rachel dengan senyum anggunnya.
"Hah? Maksud kakak?" tanya Daniel semakin bingung.
"Huft. Menjelaskan hal-hal seperti ini lebih melelahkan ternyata. Daniel, aku tidak tidur dengan pak Adam. Aku hanya dibesarkan olehnya saja," ucapnya.
"Hah?" tanya Daniel yang menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Dulu, saat aku berumur enam tahun, aku tinggal di panti asuhan, yang pemiliknya itu meninggal dunia. Saat itu, kami tidak memiliki seseorang yang membantu kami makan. Tidak ada yang mau melanjutkan panti itu. Beberapa temanku dibawa oleh seseorang yang ingin mengadopsi. Saat itu, aku merasa tidak beruntung karena tidak ada yang mau membawaku. Aku sudah siap mati di umurku yang masih kecili seperti itu. Karena aku, menahan lapar dan minum. Hingga seorang laki-laki dewasa menatapku ramah, dia adalah pak Adam. Aku pun dibawa olehnya untuk tinggal bersama. Aku memiliki ibu angkat juga. Dia sudah tidak ada sekarang. Aku sangat menyayanginya. Seumur hidupku, aku baru tahu rasanya dipeluk ibu. Itu terasa nyaman dan hangat, Daniel. Sampai sekarang, aku ingin memeluknya kembali. Memeluk tubuh hangat dan aku selalu merasa aman. Bukan memeluk tanah yang bahkan ibu sudah terkubur rapi di sana," paparnya. Rachel tidak sadar sedari tadi sudah banyak air mata yang menetes. "Jadi, aku ini anak angkat pak Adam, Daniel," sambungnya.
"Ma-maaf, kak. Kalau tahu begini, aku seharusnya tidak menanyakan hal ini kepada kakak. Se-sekali lagi, aku minta maaf, kak," katanya menunduk merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Wajar jika kamu memang ingin tahu. Jadi, bagaimana denganmu? Bolehkah aku mendengar kisahmu dan orang tuamu? Jika kamu tidak sanggup, tidak apa-apa, Daniel. Maksudku menanyakan ini, aku hanya ingin tahu, bagaimana orang tuamu mendidikmu sampai menjadi anak yang baik seperti ini," katanya.
Slip!
"Eh, buku apa itu?" tanya Rachel yang tidak sengaja melihat buku Nemesis milik Daniel.