SETELAH berpetualang dengan mimpi yang entah baik atau buruk bagi Lily, akhirnya gadis itu mulai bangun.
Ruangan yang terlihat remang-remang dan Lily tak sangka akan terlentang di tempat ini.
"Kamu sudah bangun?"
Wanita itu bernama-Caca, yang merupakan satu-satunya orang selamat dari tragedi di bus 404.
Lily yang melihatnya sangat tak menyangka. Harapan yang terlihat kecil menjadi nyata. Orang baik yang dikira akan meninggalkan dunia, ternyata sedang berdiri di sampingnya.
"Kak," sapa Lily.
Lily yang ingin melanjutkan bicaranya tak jadi. Yang ingin bertanya banyak hal merasa tak kuasa. Tapi Lily bersyukur. Karena setiap melihat seseorang yang akan menghilang di dunia, bisa dia Tuhan tahan dan membuatnya bertemu.
Lily memaksa bangun karena hanya ingin memeluk Caca.
"Tidak apa-apa. Berbaringlah. Aku tidak akan kemana-mana," ucapnya.
Daniel tampak bingung dengan situasi saat ini. Dia hanya mampu menganga sambil mengangguk tak jelas. Sampai Caca menjelaskan tentang apa yang terjadi. Tentang Caca yang baru saja kenal dengan Lily saat di bus tadi. Dan Lily yang sangat berusaha memastikan Caca masih hidup dengan kabar yang Lily inginkan juga.
"Ah, begitu, ya." jawab Daniel sambil menggaruk punduk.
"Pembunuh itu ... Dia sudah mati," kata Lily.
Caca sudah tahu kabar itu. Tapi Caca lebih tahu kebenarannya.
"Tapi yang mati itu bukanlah tersangka aslinya. Tadinya aku ingin menjadi saksi bahwa dia bukanlah penyebab kecelakaan ini. Sayang sekali, dia sudah tidak ada sebelum aku datang kesana. Sampai sekarang, kenapa aku sangat menyesalinya," kata Caca khawatir.
"Maksudmu, pembunuh sebenarnya bisa saja berkeliaran?" tanya Daniel.
"Benar," jawab Caca.
Mendengar hal itu, membuat Daniel merasa tak enak hati. Lebih tepatnya ... Daniel sudah membunuh orang yang tidak bersalah.
Tangan Daniel sudah bergetar hebat. Lily dan Caca tak mengerti saat Daniel tiba-tiba seperti itu. Mereka juga tidak mengira bahwa, Daniel ... Pembunuhnya.
"Kalian tunggu di sini. Aku ingin ke toilet," ucapnya.
Lily dan Caca saling menggelengkan kepala sambil sedikit tertawa karena tingkahnya. Pasalnya, mereka mengira Daniel menahan kencingnya sampai bergetar.
Sementara itu, Daniel memang benar pergi ke toilet. Tepatnya, dia memasuki toilet laki-laki yang cukup penuh. Saat dia pertama kali masuk, dia tidak mendapatkan toilet kosong secara langsung. Daniel cukup heran kalaupun ini Rumah Sakit, tapi antrian toilet sungguh banyak.
Daniel semakin tak gugup sambil menggigiti kukunya secara terus menerus. Dan toilet kedua terbuka. Tanda orang yang di dalamnya sudah selesai. Seharusnya seseorang mengisi toilet itu. Namun Daniel memohon untuk mengisinya terlebih dahulu. Laki-laki di belakangnya memperbolehkan Daniel masuk lebih dulu karena Daniel sangat pucat sekarang. Benar. Mereka mengira Daniel sakit.
Setelah berhasil memasuki toilet tersebut, Daniel segera melancarkan maksudnya walaupun dia juga bingung apa yang harus dirinya lakukan setelah membunuh orang yang tak bersalah.
Daniel menuliskan nama yang sama, namun berniat untuk menarik tulisannya. Dia mencoret apa yang sudah ditulis waktu itu. Lengkap dengan jam tangannya, Daniel menunggu selama lima menit namun belum ada kabar bahwa korban hidup kembali. Bahkan setelah 10 menit, korban tetap pada takdir salahnya.
Tok! Tok! Tok!
"Pemuda, apakah kamu baik-baik saja? Kamu tampak lama di dalam."
Seseorang sudah menggedor pintu itu. Daniel yakin antrian sangat panjang. Daniel akan di hajar habis-habisan kalau mereka tahu Daniel malah menulis dan menunggu hal yang tak pasti.
Karena Daniel takut malah membuat ribut, dia pun keluar dari dalam toilet tersebut.
Klek!
"Kamu baik-baik saja?" tanya seseorang yang sama dan Daniel menjawabnya dengan sekedar anggukan.
Daniel sedang memikirkan cara lain sambil berjalan pelan dan memasukkan buku hitam itu di dalam saku celana yang cukup dalam.
Sampai Daniel berhenti karena melihat berita yang ditayangkan ti TV Rumah Sakit. Mereka mengatakan bahwa pria yang menjadi tersangka sedang dalam proses pemakaman yang dilaksanakan dengan keluarganya.
Entah bagaimana wartawan dapat datang dan berita menayangkannya. Selama Daniel hidup, baru kali ini pemakaman yang menjadi tersangka pembunuhan di siarkan. Seakan-akan, ingin membuat opini masyarakat sangat buruk terhadapnya. Jelas. Itu akan terjadi.
Di tambah, keluarga tersangka palsu itu memohon-mohon untuk tidak menayangkannya. Namun masyarakat maju paling depan untuk tidak mendengarkan mereka.
Keluarganya juga tak henti-hentinya meminta maaf dan keempat anaknya yang masih menempuh pendidikan dari SD-SMA. Anak-anak sekecil itu yang seharusnya belajar dengan baik, malah terpaksa harus mencari uang untuk menebus seluruh korban ini.
Hati Daniel sungguh sakit. Dia merasa bahwa dialah yang harus terkubur di sana dan mendapat cemoohan yang sama. Bukan Bapak berusia 40 tahun itu.
"Daniel," panggil Lily.
Lily sudah melihatnya sejak Daniel menatap TV itu dengan mimik wajah yang merasa bersalah.
Lily menghampirinya. "Apakah kamu kasihan kepada keluarganya?" tanya Lily, sama-sama menonton siaran itu.
Daniel tak menjawabnya karena takut ketahuan. Daniel merasa jahat. Bahkan disaat seperti ini pun, Daniel hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Anak-anak itu, bagaimana harus membayar kerugian korban yang bahkan nyawa tidak bisa ditebus dengan apapun. Tapi, apakah harus anak-anaknya? Apakah mereka tahu jika ayahnya berbuat seperti itu? Atau, bagaimana jika pelakunya bukanlah Ayah mereka. Daniel, bagaimana menurutmu?" tanya Lily.
Lily memang sudah merasa ada yang janggal setelah melihat siaran ini. Dia juga sama seperti Daniel dan beberapa masyarakat lain yang merasa asing saat pemakaman pembunuh disiarkan. Karena sudah jelas akan banyak hujatan dari pada doa duka untuknya.
"Apakah berita boleh menayangkan hal seperti ini? Jika ada di media sosial, itu akan tidak membuat curiga. Daniel, sepertinya yang dikatakan Kak Caca itu benar."
Deg!
Jantung Daniel berdetak lebih kencang. Bukan karena lagu yang diputar anak kecil di sebelahnya. Tapi karena jantung itu terasa mengikuti kacaunya pikiran Daniel.
"Kamu benar, Lily. Semua ini tampak curiga. Kita harus melakukan sesuatu," ujarnya dengan semangat.
Lily tidak tahu jika Daniel sangat merasa bersalah. Lily hanya mengira bahwa rasa iba Daniel kepada keluarga itu melebihi dirinya. Sampai Daniel rela melakukan sesuatu. Namun Lily penasaran, apa ide Daniel sekarang.
"Apa yang harus kita lakukan, Daniel?" tanya Lily. Menoleh ke hadapannya.
"Kita? Ah, maaf karena aku mengatakan kita. Tapi jika kamu tidak mau ikut juga tidak apa-apa," jawabnya membuat Lily kesal.
"Sebutkan saja idemu. Jika aku mampu maka aku akan ikut," cetusnya.
"Ideku, aku ingin membantunya untuk membayar kerugian para korban. Aku tahu bahwa sebanyak apapun aku dan mereka membayarnya, nyawa tidak akan kembali. Tapi aku paham, mereka menebusnya dengan cara itu karena mereka hanya ingin Ayahnya berakhir di maafkan. Tidak lebih," paparnya.
"Kalau begitu, aku setuju. Aku akan ikut denganmu. Besok, kita bisa datangi keluarga mereka," jawabnya.
Daniel mengangguk sambil tersenyum kepada gadis di sampingnya. Namun sebenarnya Daniel memiliki rencana lain yang tidak boleh melibatkan Lily. Karena ini, bahaya dan rahasia.