Li Yong terus berjalan menyusuri jalan setapak itu. Dia tidak pernah berhenti melangkah. Selama kedua kakinya masih sanggup untuk berjalan, maka selama itu pula dirinya akan terus mengikuti langkah kaki tersebut.
Dia tidak mau kembali ke gubuk tempat tinggalnya selama ini. Lebih tepatnya lagi, Li Yong tidak berani kembali ke sana.
Dia takut, apabila dirinya kembali, maka kenangan bersama Kakek Li akan teringat lagi. Bagaimanapun juga, gubuk itu punya banyak cerita. Di gubuk tersebut, mereka bercanda tawa, suka dan duka dilewati bersama.
Kalau dia kembali ke sana, bukankah itu hanya akan membangkitkan kenangan lama saja?
Meskipun usianya masih kecil, tapi Li Yong adalah anak yang cerdas. Bahkan kecerdasannya di atas rata-rata bocah pada umumnya.
Sayang sekali, bocah seperti itu harus mengalami peristiwa tragis yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya.
Dalam peristiwa tersebut, siapakah yang patut disalahkan? Manusianya? Atau yang mengatur manusia itu sendiri?
Semenjak kejadian itu, Li Yong tidak pernah terlihat lagi. Para warga yang biasanya memberi makanan kepada Kakek Li Beng dan Li Yong pun terheran-heran.
Mereka sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Para warga tetap tidak bisa menemukan dua orang yang patut dikasihani itu.
Kecuali gubuk tua yang masih lengkap dengan barang-barang sederhana, tidak ada sesuatu apapun lagi yang bisa dijadikan petunjuk.
Hingga pada akhirnya, nama Kakek Li Beng dan Li Yong mulai dilupakan oleh para warga sekitarnya.
Semakin lama, nama kedua orang itu mulai tidak diingat sama sekali. Siapapun, sekarang mungkin sudah melupakannya.
Peristiwa tragis itu terjadi sepuluh tahun yang lalu!
Tapi siapa sangka, sepuluh tahun berikutnya, bocah kecil yang sudah dilupakan oleh para warga tersebut, kini secara tiba-tiba telah muncul kembali. Di desa yang sama, di jalan setapak yang sama pula.
Pemuda berpakaian merah yang sedang berjalan seorang diri itu, memang Li Yong adanya.
Namanya masih sama. Tapi bentuk tubuhnya sudah berubah. Wajahnya berubah. Sifat dan karakternya berubah. Bahkan sepasang bola matanya pun telah berubah.
Li Yong yang tadinya ceria, sekarang terlihat menjadi pendiam. Yang tadinya hangat, sekarang menjadi dingin. Dan yang tadinya sangat berperasaan, sekarang malah tampak tidak berperasaan.
Kenapa dia? Ada apa dengannya? Kenapa pula Li Yong bisa berubah total?
Kalau saja ada warga yang masih mengingatnya, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan muncul di dalam benaknya.
Tapi benarkah sampai sekarang ada yang masih ingat dirinya?
Li Yong tidak tahu. Dia tidak pernah perduli apalah masih ada warga yang ingat kepadanya atau tidak.
Kedatangannya ke Desa Fujian bukan untuk mengatakan kepada para warga, bahwa dia telah kembali.
Kedatangannya kemari adalah untuk pergi ke makam Kakek Li Beng. Sudah sepuluh tahun dia tidak pergi mengunjunginya. Di sisi lain, dia pun ingin pula pergi kembali ke gubuk sederhananya dulu.
Apakah makam dan gubuk itu masih ada? Apakah keduanya sudah hancur dimakan sang waktu?
Li Yong terus berjalan. Dia berjalan dengan langkah tetap dan tidak pernah berubah. Kepalanya lebih sering tertunduk. Seolah-olah dia tidak ingin orang lain melihat bola matanya yang kelabu itu.
Pada saat dirinya berjalan, tiba-tiba Li Yong terkejut. Ternyata tanpa disadari olehnya, dia sudah menabrak seseorang yang entah sejak kapan berada di depannya.
Begitu mengangkat kepala, Li Yong segera menyaksikan bahwa orang di depannya itu adalah seorang pria tua berusia sekitar enam puluh satu tahun. Tubuhnya gendut, mirip seperti bola. Wajahnya kereng. Kumis dan jenggotnya tumbuh dengan lebat. Sepasang matanya sangat tajam, seperti halnya mata elang.
Li Yong tidak tahu siapakah orang tersebut. Apalagi, baru kali ini juga dia kembali melihat dunia luar.
"Maaf …" katanya dengan nada datar.
Sebelum orang gendut itu menjawab, Li Yong malah sudah meneruskan langkahnya kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
Tapi baru saja lima langkah berjalan, terdengar ada suara seseorang yang cukup nyaring.
"Berhenti!!!"
Seketika pemuda itu langsung menghentikan langkah kakinya.
"Balikkan tubuhmu!!!" kata suara itu kembali.
Li Yong menurut. Dia membalikkan tubuhnya, lalu secara perlahan mengangkat kepalanya.
Ternyata, di sekitar sana ada beberapa orang. Jumlahnya sepuluh orang. Jika ditotal secara keseluruhan, maka jadinya sebelas dengan si orang gendut tadi.
Yang barusan bicara kepada Li Yong adalah seseorang bertubuh tinggi tegap dengan wajah garang. Dia mengenakan pakaian seragam seperti sembilan orang lainnya. Di pinggangnya terdapat sebatang golok yang cukup besar.
"Apakah masih ada urusan lain?" tanya Li Yong setelah terdiam beberapa saat.
Nadanya masih sama seperti sebelumnya. Masih datar. Masih dingin.
"Bersujud!" bentak orang tersebut.
"Kenapa aku harus bersujud?" hanya Li Yong sedikit penasaran.
"Karena kau sudah melakukan satu kesalahan besar,"
"Kesalahan apa?"
"Kau telah menubruk Hartawan To," tegasnya.
Jadi orang gendut itu adalah seorang hartawan?
Li Yong baru tahu akan hal ini. Ternyata yang tadi dia tabrak adalah orang besar. Dan orang yang bicara dengan nada tinggi itu, pastilah anak buah Hartawan To.
Di daerah tersebut, nama To Cin Peng atau yang lebih sering disebut sebagai Hartawan To memang sangat terkenal. Dia adalah orang terkaya di daerah-daerah sekitar kota Lu Ya. Dan Desa Fujian, masih termasuk ke dalam wilayah kota itu.
Ke mana pun dia pergi, pasti selalu dihormati oleh banyak orang. Kebanyakan dari mereka malah rela bersujud lama di hadapannya.
Sayang sekali, apa yang dilakukan oleh orang-orang bukanlah suatu hal yang berasal dari hati nuraninya masing-masing.
Mereka melakukan itu semua karena takut terhadap Hartawan To itu. Di mata warga, dia bukan seorang hartawan. Melainkan seorang iblis yang berwujud manusia.
Apa yang dilakukannya selama ini selalu bertentangan dengan hati nurani manusia. Hartawan To sering berlaku sesuka hati. Dia tidak pernah memikirkan orang lain. Dia hanya memikirkan kesenangannya pribadi. Masalah penderitaan orang lain, hal itu bukanlah urusannya.
Selama ini, entah berapa banyak manusia yang dibunuh hanya karena melakukan kesalahan kecil kepadanya. Entah berapa banyak gadis yang dipaksa untuk tidur serta direnggut keperawanannya. Dan lagi, entah berapa banyak pula orang-orang kecil yang dihancurkan hidupnya.
Semua itu dia lakukan dengan mudah. Tanpa ada rasa sedih sedikit pun di hatinya.
Oleh sebah itulah, maka semua orang merasa takut dan rela menyembah-nyembah agar Hartawan To tidak mengganggu kehidupannya.
Sayang sekali, pemuda yang telah menubruknya kali ini tidak mengetahui siapa dirinya. Bukan saja tidak takut, malah dia pun tidak mau bersujud seperti orang-orang pada umumnya.
Meminta maaf pun seperti terpaksa.
Lama Li Yong terdiam. Selama itu, dia terus memandangi Hartawan To tanpa berkedip. Setelah beberapa saat kemudian, barulah dia berkata kembali, "Bukankah tadi aku sudah meminta maaf?"
"Itu saja belum cukup. Kau harus bersujud dan bahkan harus menyembahnya sebanyak tiga kali. Lakukan sekarang juga!!!" bentak orang tersebut semakin tinggi.