Hartawan To hanya bisa tersenyum hambar ketika mendengar jawaban Li Yong. Dia tahu, pemuda itu tidak sedang berbohong. Sebagai orang yang sudah mempunyai banyak pengalaman, Hartawan To tentunya bisa membedakan mana orang yang sedang berbohong, dan mana yang tidak.
Dan terkait pemuda di hadapannya saat ini, dari segi mana pun tidak terlihat kebohongannya.
"Aku percaya," jawabnya setelah membungkam beberapa waktu.
"Bagus. Kau memang harus percaya," jawab Li Yong.
Setelah berkata demikian, pemuda itu segera membalikkan badan. Dia langsung beranjak pergi dari sana, bahkan tanpa menghiraukan orang-orang yang sejak tadi mengawasi dirinya lekat-lekat.
Langkahnya tetap sama. Tetap perlahan dengan kepala tertunduk ke bawah.
Siapapun yang melihatnya, pasti akan segera mengetahui bahwa dia adalah seorang yang selalu kesepian.
Hartawan To masih berdiri di sana. Dia tidak menyuruh anak buahnya untuk mengejar Li Yong, tidak pula menyuruhnya untuk memberikan pelajaran.
Pemandangan seperti ini baru terjadi dalam sejarah hidupnya. Sembilan anak buahnya sendiri merasa sedikit keheranan. Sebab tidak biasanya majikan mereka bersikap seperti itu.
Padahal siapapun tahu, ketika ada orang yang berani berlaku kurang ajar di depannya, maka bisa dipastikan kalau orang tersebut akan mendapat 'pelajaran' saat itu juga.
Tapi kenapa sekarang Hartawan To diam saja? Bukan hanya tidak memberikan pelajaran, bahkan dia juga tidak menyuruh anak buahnya untuk melakukan sesuatu apapun.
Padahal apa yang telah dilakukan oleh pemuda bernama Li Yong itu sudah bisa dibilang keterlaluan. Bukan cuma tidak menghormati Hartawan To, malah dia pun sudah berani merendahkan harga dirinya dengan cara membunuh salah satu anak buahnya di depan mata kepala sendiri.
Kalau tidak menyaksikan secara langsung, siapa yang akan percaya dengan kejadian ini?
Entah sudah berapa lama, Hartawan To hanya berdiri kaku sambil terus memandangi Li Yong yang sudah berada dalam jarak cukup jauh itu.
Pada saat demikian, tiba-tiba sekulum senyuman dia lemparkan. Tiada yang tahu apa arti senyuman tersebut.
"Mari kita kembali," kata Hartawan To kepada semua anak buahnya.
Mereka semua mengangguk. Sesaat kemudian, orang-orang tersebut segera berlalu pergi dari sana.
###
Tengah hari sudah lewat. Senja hari telah tiba. Semilir angin pegunungan berhembus membawa rasa dingin. Udara sangat sejuk. Keadaan di hutan itu sepi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara kicau burung yang baru saja kembali ke sarangnya masing-masing.
Li Yong sedang berdiri mematung. Tubuhnya tegak seperti batang tombak. Wajahnya tetap dingin. Sepasang bola matanya tetap kelabu.
Dilihat dari luar, pemuda itu seperti seseorang yang tegar dan kuat menanggung cobaan hidup.
Tapi benarkah demikian? Apakah hatinya juga tegar, sama seperti luarnya?
Di depannya ada sebuah pusara. Pusara sederhana yang sudah dipenuhi oleh rumput liar. Rumput-rumput liar yang tumbuh di atas dan sekitar pusara itu sudah sangat tinggi.
Mungkin karena waktunya sudah terlalu lama.
Bayangkan saja, pusara ini dibuat sepuluhan tahun lalu. Tanpa ada yang merawat, tanpa ada pula yang menengok.
Kalau orang lain yang berada di posisinya, niscaya dia tidak akan sanggup menemukan letak pusara tersebut.
Untunglah yang berada di posisi itu adalah Li Yong. Bukan orang lain!
Sehingga meskipun pusara atau kuburan itu sudah dipenuhi oleh rumput-rumput liar, dia tetap bisa menemukannya.
Sebab dirinya bukan cuka mencari mengandalkan ketajaman matanya saja. Melainkan mengandalkan hati dan perasaan juga.
Perlu diketahui, pusara itu milik satu-satunya orang yang paling berarti selama hidupnya. Orang yang berada dalam pusara tersebut adalah Kakek Li Beng. Kakek tua yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Selain dia, memangnya masih ada manusia yang paling berarti lagi?
Tiba-tiba Li Yong bergerak. Dia segera membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sana. Setelah selesai, dirinya langsung menjatuhkan diri. Dia jatuh berlutut.
"Sepuluh tahun … sepuluh tahun sudah berlalu. Apa kabar dirimu, Kakek? Apakah kau masih ingat aku? Lihatlah, sekarang aku telah kembali lagi. Aku pun sudah dewasa …"
Li Yong tidak mampu menyelesaikan perkataannya. Tiba-tiba tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu tak kasat mata. Tanpa sadar dua tetes air matanya jatuh menimpa pusara tersebut.
Siapa sangka, pemuda yang tampil dingin dan tampak seperti tidak berperasaan itu, ternyata masih bisa meneteskan air matanya. Masih bisa menangis.
Kalau benar tidak berperasaan, mengapa dia bisa menangis?
Bukankah tangisan itu adalah salah satu tanda bahwa seseorang masih mempunyai perasaan?
Li Yong tetap diam tanpa bicara. Dia pun tidak bergerak sama sekali. Matanya hanya memandangi pusara itu lekat-lekat. Berbagai macam kenangan pahit mulai terlintas di benaknya. Senyuman dan candaan Kakek Li Beng terbayang kembali.
Waktu itu adalah saat-saat terindah dalam hidupnya. Dia ingin semuanya terulang kembali.
Namum sayang sekali, hal itu hanyalah khayalan kosong.
Kenangan yang sudah berlalu, benarkah bisa kembali lagi?
Li Yong berdiri dari posisinya. Pemuda itu kemudian beranjak pergi dari sana. Dia ingin membeli dupa untuk dibakar di dekat pusara tersebut.
Lewat setengah jam kemudian, pemuda itu telah kembali lagi. Di tangan kanannya tampak ada sebuah kantung kecil. Isi kantung tersebut salah satunya adalah dupa yang dia beli di pasar sekitar sana.
Dupa sudah tersedia, sekarang tinggal membakarnya di atas pusara.
Tapi ketika pemuda itu sudah sampai di sisi pusara, mendadak ekspresi wajahnya berubah hebat. Seluruh tubuhnya bergetar. Kantung yang dia bawa pun tiba-tiba terjatuh ke tanah.
Kekagetan jelas terlihat pada seraut wajah yang dingin itu.
Kuburan Kakek Li Beng lenyap!
Di mana pusara itu? Kenapa bisa hilang? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?
Berbagai macam pertanyaan tiba-tiba muncul daam benaknya. Li Yong tidak habis pikir kenapa hal ini bisa terjadi.
Dia masih ingat bahwa di sini lah letak pusara tadi. Li Yong sangat yakin akan hal tersebut.
Tapi kenapa sekarang tidak ada?
Untuk sesaat, dia hanya bisa berdiri mematung. Pemuda itu mencoba menenangkan dirinya. Lewat sekejap kemudian, setelah perasaannya sudah kembali tenang, Li Yong mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Dia tidak percaya terhadap hal-hal ghaib. Li Yong tidak percaya adanya setan. Oleh karena itulah, dirinya yakin ada sesuatu dibalik kejadian ini.
Pemuda itu tiba-tiba berjongkok. Lima jarinya segera menekan tanah yang tadi menjadi pusara. Begitu ditekan, wajahnya kembali berubah. Tanah yang dipegang ternyata amblas ke dalam.
Dia melihat sekeliling, Li Yong kembali menemukan sesuatu!
Lamat-lamat pemuda itu melihat adanya bekas langkah kaki. Meskipun sangat tipis dan tidak terlihat dengan jelas, tapi dia juga sangat yakin bahwa itu adalah langkah kaki manusia.
Li Yong mendekati langkah-langkah tersebut. Dia ingin memastikannya. Dan ternyata benar, apa yang dilihatnya memang benar!
Itu adalah bekas jejak kaki manusia.
Artinya, berarti ada seseorang yang sudah datang kemari dan menggali kuburan Kakek Li Beng.
Tapi, siapakah pelakunya? Untuk apa pula orang itu menggali kuburan tersebut?