Li Yong melihat bahwa di sana ada enam orang pendekar yang sedang mengeroyok seorang pendekar muda yang diduga sebaya dengannya.
Entah sudah berapa lama orang-orang itu melangsungkan pertarungan. Namun yang jelas, posisi si pendekar muda tampak semakin terdesak hebat. Beberapa luka juga sudah terlukis hampir di setiap inci tubuhnya.
Darah segar yang keluar lumayan banyak. Kalau dia terus memaksakan diri, niscaya dalam beberapa jurus ke depan, pendekar muda itu akan menelan kekalahan telak. Bahkan bukan tidak mungkin juga nyawanya akan melayang.
Apalagi, enam orang pendekar tua itu tampak seperti kawanan serigala kelaparan. Mereka tidak mengenal belas kasihan, bahkan orang-orang itu tetap menyerang walau tahu lawannya sudah tidak dapat berbuat apa-apa.
Sedingin-dinginnya Li Yong, hakikatnya dia tetap manusia. Dan selaku manusia, tentu saja di hatinya masih ada suatu perasaan yang wajar.
Jiwanya tiba-tiba tergerak. Rasa ingin memberikan pertolongan semakin menebal.
Dari tempatnya berdiri, mendadak pemuda itu menjejakkan kakinya ke tanah. Hanya dengan satu kali lompatan ringan, Li Yong telah berada persis di tengah-tengah arena pertarungan.
Saat itu, keenam pendekar tua tadi sedang menggempur si pendekar muda dengan senjatanya masing-masing. Tiga golok dan tiga pedang telah memberikan ancaman yang serius.
Jarak senjata dengan sasaran hanya tinggal beberapa jengkal saja.
Di posisi lain, si pendekar muda sudah terlihat semakin kewalahan. Dia sudah tidak sanggup melakukan apa-apa lagi. Jangankan untuk melawan, untuk berdiri pun, rasanya pendekar muda itu sudah tidak sanggup lagi.
Pada saat-saat yang genting itulah, Li Yong bergerak dan langsung turun ke arena pertarungan.
Wutt!!! Trangg!!! Trangg!!!
Enam bayangan hitan melesat dari sela-sela jarinya. Keenam bayangan hitam itu seketika berpapasan dengan enam senjata yang tadi ingin mencabik-cabik tubuh si pendekar muda.
Benturan nyaring langsung terdengar. Percikan bunga api membumbung tinggi ke tengah udara. Serangan keenam pendekar tua seketika berhenti. Tubuh mereka terdorong mundur sejauh dua langkah ke belakang.
Enam pasang mata saling pandang. Mereka tidak tahu sesuatu apakah yang telah berbenturan dengan senjatanya masing-masing. Terlebih lagi, mereka tidak mengetahui siapa dan sejak kapan pemuda serba merah itu berada di sana.
"Siapa kau?" tanya salah seorang dari mereka.
"Kalian belum berhak mengetahui siapa aku," jawab Li Yong dengan dingin.
"Hemm, sombong sekali. Ah, apakah kau juga adalah anggota Perguruan Makam Kuno?" tanya orang itu lebih lanjut.
Li Yong kemudian mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu apa-apa tentang Perguruan Makam Kuno yang disebutkan oleh orang tersebut. Bahkan mendengar namanya pun baru kali ini saja.
"Aku tidak tahu Perguruan Makam Kuno,"
"Benarkah?"
"Aku tidak berbohong,"
"Kalau begitu, kau menyingkirlah. Jangan ikut campur masalah kami. Jika tidak, kau pasti akan mendapatkan masalah besar," ujar pendekar tua itu mengingatkan.
"Sebenarnya kalian ini siapa?"
"Kau pun tidak perlu tahu siapa kami,"
"Apakah kalian anggota sebuah perguruan?"
"Benar," jawabnya sambil menganggukkan kepala.
"Apakah perguruan kalian berasal dari aliran putih?"
"Ya, tentu saja. Kalau bukan, kenapa pula kami rela bertarung melawan pemuda itu?" katanya sambil menunjuk ke arah si pendekar muda yang sudah terluka tadi.
Li Yong sempat melirik sebentar ke arah si pendekar muda dengan ekor matanya. Dia melihat bahwa wajah anak muda itu mirip seperti dirinya. Tampak dingin dan misterius. Meskipun luka-luka sudah menghiasi seluruh tubuhnya, namun pendekar muda itu terlihat tidak merasa kesakitan sama sekali.
"Kalian mengaku berasal dari aliran putih, tapi kenapa kalian berani melakukan pengeroyokan? Bukankah tindakan ini sangat memalukan?" tanyanya sambil memandang tajam ke arah enam pendekar tua itu.
"Memang benar. Mengeroyok lawan adalah tindakan rendahan. Sebenarnya kami sendiri tidak sudi melakukannya. Sayang sekali, keadaaan sekarang merupakan pengecualian," jawabnya sambil tersenyum dingin.
"Kenapa begitu? Bukankah dia pun sama seperti kalian?"
Li Yong tetap bersikeras pada pendiriannya. Dia tidak mau kalah bicara. Apalagi, pemuda itu sangat membenci kepada orang-orang seperti enam pendekar tua itu.
Mereka mengaku berasal dari aliran putih, tapi apa yang mereka lakukan bahkan lebih rendah daripada apa yang dilakukan oleh aliran hitam.
Li Yong mempunyai keyakinan bahwa keenam pendekar tua itu merupakan orang-orang munafik. Mulutnya bicara A, tapi hatinya bicara B.
Meskipun dirinya baru berjumpa pertama kali ini, tapi mengenai hal tersebut, Li Yong bisa langsung tahu.
Kehidupan keras selama sepuluh tahun belakangan ini telah mengajarkannya banyak hal. Salah satunya yaitu bagaimana cara menilai manusia hanya dengan satu kali lihat.
Sementara di sisi lain, keenam pendekar tua itu terlihat semakin kesal ketika mereka mengetahui lawan bicaranya tidak mau kalah.
"Sudahlah. Tidak ada gunanya kita berdebat dengan pemuda aneh ini. Kalau dia tetap tidak mau pergi, kita beri pelajaran saja kepadanya," kata rekannya yang lain.
"Apa yang dikatakan olehnya memang benar. Bicara dengannya hanya membuang-buang waktu saja," sahut yang lainnya.
Pendekar tua yang sejak tadi bicara terlihat mengangguk-anggukkan kepala ketika dia mendengar perkataan rekannya. Sepertinya dia pun setuju dengan apa yang mereka ucapkan.
"Nah, apakah kau sudah dengar apa yang dikatakan oleh rekanku? Sekarang aku tanya lagi, kau mau pergi atau tidak?"
"Tidak," jawab Li Yong dengan datar. Wajahnya semakin dingin. Seperti juga kedua telapak tangannya.
"Bagus. Kalau begitu, jangan salahkan kami jika berbuat kasar kepadamu," ujarnya seolah-olah sedang memberikan ancaman.
"Lakukan saja. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan kalian menyiksa pemuda itu lagi,"
"Hahaha … bagus, bagus sekali. Sekarang, bersiaplah!" teriak orang tersebut.
Selesai berkata demikian, tiba-tiba orang itu melompat ke depan. Tangan kanannya langsung digerakkan ke depan. Golok tajam di tangannya segera memberikan bacokan ke arah pelipis.
Melihat dia sudah memberikan serangan, kelima rekannya tidak mau tinggal diam.
Tiba-tiba mereka pun ikut melancarkan serangan dengan senjatanya masing-masing.
Enam serangan ganas dan keji sudah mengancam Li Yong. Serangan mereka mengandung angin tajam yang menderu-deru. Hawa golok dan hawa pedang menyatu dalam satu serangan.
Wutt!!! Wutt!!!
Saat itu, Li Yong sudah menduga bahwa hal tersebut pasti akan terjadi. Ketika menyaksikan enam lawannya menyerang secara bersamaan, pemuda yang selalu tampil dingin itu tiba-tiba mengangkat kedua lengannya.
Dia langsung berusaha menangkis enam serangan dengan kedua tangannya. Bersamaan dengan gerakan tersebut, kakinya juga melancarkan tendangan keras yang mengarah ke berbagai titik penting di tubuh manusia.
Wushh!!! Wutt!!! Wutt!!!
Pertarungan sengit segera terjadi di tempat itu. Enam pendekar tua tersebut sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Sepertinya mereka tidak mau membuang-buang waktu sehingga memutuskan untuk langsung mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Tapi siapa sangka, ternyata pemuda yang menjadi lawannya bukanlah orang lemah. Harapan mereka menjadi lenyap ketika usahanya gagal total.
Walaupun sudah menyerang dengan berbagai macam jurus, ternyata pemuda itu mampu menahannya dengan gerakan-gerakan aneh tapi mengandung kekuatan dahsyat.