Keeana. Perempuan yang menyukai dialog. Aku besar dari lingkungan yang kurang untuk berdialog. Ya, jarang sekali aku mendapatkan ruang untuk berbicara. Padahal bagiku, berdialog atas apa yang kita alami dan kita dapatkan mampu menjadi energi baik untuk diriku. Itulah sebabnya, aku menjadikan Pram sebagai ruang yang ada, atas apa yang tidak aku dapatkan di dalam lingkungan hidupku.
"Pram adalah rumah. Tapi, rumah yang peta pun tak mengenal alamatnya"
"Pram adalah gunung dan lautan yang menantang untuk didaki dan diseberangi"
"Pram adalah rasa, dari dialog-dialog yang ada".
Aku memaknai Pram dengan banyak hal. Terkadang, pemaknaan itupun bisa saja berubah-ubah. Ya, kondisional dari apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasa.
Aku. Banyak dikenal sebagai sosok energik dan periang. Namun, aku sendiri tak mengenal diriku sebagai apa, siapa, dan bagaimana. Seringkali, aku membuka obrolan mengenai diri bersama Pram. Kurasa ia faham dan tepat untuk membicarakannya.
"Menurutku sih Ann. Semakin kita dewasa, nantinya kita juga tahu. Bagaimana diri kita. Mungkin kata orang, nantinya kita bakal nemuin jati diri kita sendiri".
"Iya Pram. Tapi aku kok nggak nemu-nemu ya? Nyarinya dimana sih?"
"Ann. Ann. Kamu itu unik"
Pram menatapku, dan aku menatapnya. Malu, namun dalam untuk dirasakan.
"Ndakpapa. Yakin aja, nanti kamu bakal bisa. Dewasa pada waktunya, tepat dengan dirimu sendiri".
"By the way. Thanks yah Pram. Kamu sudah banyak mendengarkan obrolanku, dari mulai senang pun sedih. Banyak dialog yang kita bicarakan, yang saat itu pula aku bingung mencari pendengarnya".
"Loh, Ann?. Are you okay? Kenapa tiba-tiba bilang gitu? Biasa aja sih".
Pram mengelus kepalaku. Aku merasa benar adanya. Ya, Pram mengadakan dirinya untukku, mengadakan seuntai kasih sayang dan energi yang baik, untukku.
"Fine. Pram. Hanya saja aku takut ada aku disini hanya merepotkanmu. Dan membuatmu tidak bebas menjalani harimu".
"Tentu, yang kau fikir itu salah Ann".
Tatapannya menyatu, tapi satu sama lain tersipu malu. Kami saling melempar senyum dan menghela nafas.
***
"Ann. Yuk pulang".
Di pelataran kampus, Pram memanggilku dan mengajakku untuk pulang. Hari memang sudah petang, namun diriku masih enggan untuk pulang. Kondisi rumah yang sedang tidak baik-baik saja, ditambah lagi setumpuk tugas kuliah dengan deadlinya, membuatku malas sekali untuk pulang ke rumah.
Aku hanya duduk, melamun, tatapan matanya lurus melihat dedaunan yang bergerak mengikuti angin.
Pram mendekatiku, dan duduk di samping tempat aku duduk.
"Ada apa, Ann?. Bolehkah aku memintamu untuk membaginya?"
"Nggak ada apa-apa Pram. Apanya yang harus dibagi?"
"Ah serius? Masa sih"
"Yaelah Praaammmm... badmood aja sih hari ini. Di rumah kacau, di kampus pusing"
Pram menghela nafas panjang.
Ia mengelus kepalaku sambil tersenyum.
"Keana yang cantik, tetap tenang yah. Apa sih yang harus banget membuatmu seperti ini?"
"Entahlah Pram. Lagi nggak mood aja".
"Nah, coba dengerin aku. Jangan hanya karena kamu diterpa keluargamu sedang tidak baik-baik saja, atau hanya karena tugas kuliahmu numpuk. Lalu hal itu bisa membuatmu patah, jatuh, atau unmood gitu. Berdamailah, jika kamu sudah bisa berdamai. Maka semuanya selesai, kamu bisa senang dan tenang".
"Hiiii, apaan sih Pram. Kok malah diceramahin?"
Pram mengehela nafas panjang lagi, lalu menatapku dan tersenyum.
"Yaudah. Gimana biar kamu nggak badmood? Mau minta apa?".
Pram selalu menyajikan hal yang indah. Ia dingin, namun juga hangat. Untukku yang selalu terganggu dengan perasaan dan emosionalitas, lalu aku bertemu dengan Pram adalah sesuatu yang sangat aku syukuri. Ia mampu menjadi obat.
Petang itu juga, aku dan Pram bersepakat untuk menunda pulang. Aku ingin tenang, dan Pram ingin membuatku senang..
"Kamu senang Ann?".
Ia menengok ke arahku. Lalu bertanya. Pagi dan siang yang kelabu, namun malam itu menjadi jingga yang membiru. Pram membawaku mengelilingi kota, melihat gemerlapnya lampu dan mengikuti hembusan angin. Ia menghentikan sepeda motornya dan mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu merupakan tempat kopi, tapi tidak seperti tempat kopi pada umumnya.
Suasana itu hening, hanya ada suara aliran air. Tepat di belakang kami duduk, ada sepetak kolam ikan yang airnya mengalir. Deras, tapi tidak berisik. Di sebelah kami duduk, ada beberapa orang yang sedang asik menikmati kopinya masing-masing.
Pram memesan V60. Kopi murni yang digiling dan disajikan dalam kondisi yang panas. Dan aku lebih memilih untuk memesan grean tea hot. Sebab, aku menyukainya.
"Aku sudah bisa tenang dan senang Pram. Walaupun ketika aku pulang nanti, aku mau nggak mau harus menghadapinya lagi. Melihat hubungan orang tuaku yang Not Fine dan kondisi keluarga yang kacau. Akupun harus mau bertahan di dalam pendidikanku. Tapi dengan suasana malam ini, beruntungnya aku bisa memupuk semangat lagi. Sesuai yang kamu bicarakan. Berdamailah".
Pram hanya tersenyum. Lalu ia menatapku, mengelus kepalaku.
"Aku yakin kamu pasti bisa. Dan kamu juga yakin kamu pasti bisa. Tidak ada yang paling buruk di hadapanmu. Kamu harus tetap menjadi dirimu. Ann tersenyumlah".
Aku dan Pram tersenyum. Lalu hening beberapa menit, menikmati hidangannya masing-masing. Dan melepas semua beban dalam pundak diri. Menjadikannya tiada, meski sebenarnya ada.
"Pegangan Ann. Dingin kan?".
Pram menarik tanganku ke pelukannya. Ia mengendarai motor sedikit kencang. Malam itu tidak hujan, tapi anginnya kencang. Aku merasa capek dan mulai mengantuk. Suasananya membuat lega, hingga otak merasa tak perlu lagi untuk bekerja.
"Pram, aku ngantuk. Bagaimana?"
"Ann.. Ann.. unik sekali kamu ini, sekalinya tenang malah ngantukan. Hahaa".
"Ih Pram, serius. Malah dijadiin bahan candaan".
"Yaudah Ann. Tangannya pegangan, kepalamu disenderin ke punggungku yah".
Malam itu pula, desiran kasih sayang dan kenyamanan hadir. Dari Pram, untukku. Aku merasa dihadirkan sosok penjaga dan yang selalu ada, termasuk di dalam masa beratku untuk menjalani semuanya.
Aku tertidur, tenang tapi tidak pulas. Seperti biasanya, Pram memilih untuk bernyanyi dan menikmati angin itu masuk ke mulut dan hidungnya. Aku merasa berisik, namun tertutup rasa senang, hingga aku bisa menikmatinya.
"Pram. Thanks yah".
"Sama-sama Ann. Istirahat yah".
Pram melaju kencang setelah mengantarkanku pulang.
Malam itu syahdu. Awalnya pilu, namun beruntung tidak menjadi abu.
Sebelum mataku terpejam bersama mimpi, aku menuliskan kalimat di notes handpone. Aku memang belum bertemu dengan diriku, namun aku memahami itu semua bagian dari proses untuk aku menemukannya.
Kalimat itu tidak begitu panjang, tapi tidak juga begitu pendek.
"Ini tentang Keeana. Gadis yang sedang mencari dirinya. Siapa, apa, dan bagaimana. Di dalam prosesnya itu, ia harus dihadapkan oleh kondisi keluarga yang berantakan, dan kebutuhan pendidikan yang menjadi taruhan. Namun, ia akhirnya bertemu dengan Pram. Sosok yang menangkan, dan memberi kesenangan. Thanks, Pram".