Chereads / Dialog Rasa / Chapter 9 - Secercah Masa Lalu

Chapter 9 - Secercah Masa Lalu

Aku merebahkan badanku di kamar tidur. Sore hari itu lelah begitu terasa. Gagal untuk beetemu Bapak menjadikan secercah harapanku kembali pudar, entah setelahnya akan bersinar kembali atau justru redup keseluruhan.

Selepas perpisahan orang tua, kondisi yang mungkin diharapkan jauh lebih baik namun ternyata masih saja sama. Hubunganku dengan Ibu terasa jauh, aku semakin merasa tertekan dengan perekonomian dan desakan-desakan yang munculnya dari Ibu. Mungkin dulu Bapak suka bermain tangan, emosian dan keras kepala, namun sekarang pun aku belum bertemu kedamaian yang aku harapkan.

"Ann. Lagi ngapain? Kamu harus istirahat yah. Jangan lupa makan, esok mulai hari lagi. See you".

Yah, sama seperti hari biasanya. Pram selalu memudarkan kehampaanku walau hanya sebatas mendatangkan pesan online nya.

Lalu, aku bergegas membersihkan diri dan mengisi perut untuk makan. Bagaimanapun, energi tetap harus ada untuk tetap bertahan hidup. Ya mungkin hanya itu yang menjadi kalimat penenangku saat itu.

"Sudah mandi dan makan Pram. Semoga bisa istirahat cukup dan tenang"

Aku mengetik pesan lalu mengklik tombol send. Bagiku hal itu sangat sederhana, tapi memiliki makna yang istimewa. Lagi-lagi, aku tetap bersyukur bertemu dengan Pram.

***

Hari sudah berganti, bulan berganti matahari. Pagi itu, aku kembali merasakan panggilan itu datang, hati nuraniku menunjukan hari itu adalah hari untuk bertemu Bapak. Yaa, aku mengikutinya lalu memutuskan untuk mencari Bapak kembali.

"Pram, hari ini kita lanjut cari Bapak ya. Sesuai informasi yang kemarin. Barangsaja memang jalannya dari situ".

"Ann. Kamu serius?"

Pram masih saja memiliki keraguan terhadap apa yang kuputuskan. Yah memang menurut Pram, menjauh dan mengamankan diri sendiri demi kebaikan hati itu jalan yang baik. Tapi, entahlah. Aku hanya ingin bertemu Bapak. Mungkin hanya sekesar bertemu saja, memastikan keadaanya baik-baik saja.

"Serius Pram. Nggakpapa kok, yah mungkin sebatas mencari lalu menemukan, memastikan keadaannya baik-baik saja. Lalu aku merasa tenang. Bagaimanapun ia tetap darah dagingku kan Pram?"

"Ya sudah Ann kalau itu menjadi keputusanmu. Aku nanti datang untuk menjemputmu. Tapi, apa kamu sudah izin sama Ibu?"

Pesan dari Pram membuat otakku berfikir kembali. Hari sebelumnya ketika mencari Bapak, aku sempat menyembunyikan dan beruntungnya Ibu tidak melihat aku pergi. Namun untuk hari itu aku berfikir bagaimana caranya untuk menyampaikan izin kepada Ibu. Karena Ibu merasa sudah sangat sakit hati dan tidak mau berhubungan lagi dengan Bapak.

"Aku nggak tahu harus izin ke Ibu dengan cara apa Pram. Akhir-akhir ini Ibu juga marah-marah, yah emosionalnya naik".

"Fikirkan baik-baik Ann. Pertimbangkan, kedua orang tuamu. Bapak dan Ibumu. Jangan sampai kamu mempertaruhkan dirimu sendiri".

"Iya Pram. Makasih yah, aku akan memikirkannya, lalu memberikan keputusan secepat mungkin".

"Baik-baik Ann".

Aku duduk di hadapan meja bertumpuk buku-buku yang tidak tertata rapi. Bagiku, pemandangan itu sudah tak ada indahnya, dan tak ada menariknya. Semua bagian dari rumah sudah menjadi penat dan bosan. Aku bergegas membuka pintu rumah dan menikmati udara pagi secara perlahan.

"Bagaimana kalau aku tetap izin ke Ibu. Tapi, aku tidak menyebutkan pergi untuk mencari Bapak".

Hanya itu saja yang aku dapatkan ketika aku berusaha mencari solusi. Sama sekali tidak bisa berfikir panjang, yang ada di fikiranku hanya bertemu Bapak, dan menjaga Ibu agar tidak emosi. Sebab, kemungkinan besar ketika Ibu tahu aku menemui Bapak maka Ibu bisa marah besar. Ahhhhhh, kejam sekali ini hidup.

"Pram. Begini saja, kita tetap izin ke Ibu. Tapi jangan bilang mau menemui Bapak. Nanti repot, Ibu bisa marah. Aku malah stress kalo liat Ibu marah-marah".

Aku mengirimkan pesan kepada Pram, menyampaikan tentang apa yang sudah aku fikirkan. Pram mungkin tidak bisa membantu lebih, karena sebaik-baiknya keputusan ada pada diriku.

"Ya sudah Ann. Baik-baik, yakin tidak akan terjadi hal buruk apapun. Kamu harus yakin. Aku hanya bisa membantumu dengan keterbatasanku".

"Iya Pram. Aku tunggu di rumah"

Kurang lebih pukul sepuluh pagi, Aku dan Pram pergi mencari Bapak. Panas terik matahari cukup mengganggu perjalanan kami, tapi tidak mengurungkan niatku untuk menemui Bapak.

Nomor Handpone yang sebelumnya diberikan oleh penjaga Kos itu aku catat, lalu aku mencoba menghubunginya. Bapak sempat menitipkan barang dan nomor handpone kepada penjaga kos, namun barang titipan itu belum sempat kubuka.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di panggilan luar"

Notifikasi telfon terdengar begitu jelas. Aku dan Pram berhenti sejenak untuk melepaskan dahaga. Sembari menelfon ulang, aku berusaha melacak nomor handpone itu.

"Pram. Coba kita cari tahu dari nomor handpone ini. Atas nama siapa, dan mungkin terdeteksi alamatnya dimana".

"Boleh Ann. Tapi kamu jangan gegabah dulu".

"Iya Pram"

Sama seperti biasanya, Pram selalu mengahdirkan ketenangan. Ia mengelus kepalaku dan tersenyum tenang, menggambarkan kedamaian.

"Menurut aplikasi, nomor ini memang atas nama Bapak, Pram. Bisa kamu liat kan, beberapa hasil terbaca "Galang", tapi untuk deteksi lokasinya belum bisa ditemukan".

"Dicoba lagi ya Ann. Pasti bisa".

Aku mencoba nya berulang-ulang. Layar handpone lagi-lagi memunculkan kata-kata "Failed" Yang berarti gagal.

"Pram. Belum nemu juga".

"Sini Ann. Aku bantu yah, kamu istirahat dulu. Atur nafas, lalu tenang. All is well Ann".

Aku menyandarkan diri ke dinding di sebuah warung es berukuran persegi. Anginnya berhembus dari kanan dan teriring ke kiri, aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mata hampir saja terpejam.

"Ann. Aku menemukan titik dari nomor handpone ini, tapi aku nggak tau loh bener nggak nya"

"Oh yah Pram? Dimana?"

"Coba liat deh"

Aku mengamatinya secara detail. Alamat itu adalah alamat ketika aku kecil dulu. Saat itu aku, Bapak dan Ibu tinggal di rumah kecil dan sederhana. Kami sangat kesulitan ekonomi, Bapak hanya berdagang kayu kecil-kecilan. Namun, lambat laun akhirnya usahanya berkembang. Bapak bukan hanya sekedar menjual kayu, tapi ia memiliki bisnis interior. Karena usaha Bapak semakin maju, kami pun akhirnya membeli rumah yang tidak begitu mewah, namun lebih besar dan strategis untuk berbisnis. Tapi beberapa tahun usaha Bapak berjalan, Bapak mengalami masalah besar dengan partner usahanya. Mereka tertipu, usahanya semakin menurun sampai akhirnya Bapak memutuskan untuk gulung tikar.

"Ann. Kamu kok nangis?".

Saat itu Bapak benar-benar depresi. Efeknya berpengaruh terhadap diriku, juga Ibu. Bapak sudah merintis usaha, namun gagal dalam waktu yang mungkin bisa dikatakan singkat. Yanh lebih disayangkan, Bapak tidak menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Setelah usahanya bangkrut, Bapak justru melampiaskan kekesalannya kepada aku dan Ibu. Ia menjadi sosok yang sangat keras, main tangan, dan pemarah. Hari-hari kami diselimuti dengan kekerasan, dan kepedihan.

"Ann. Ada apa?"

"Alamat ini mengulas begitu banyak hal yang aku alami dalam kehidupan, Pram".

Hari itu, secercah masa lalu, terulas kembali.