Pram menjemputku tepat sebelum terik matahari muncul. Pagi itu merupakan langkah awal, yang mungkin terlalu berat tapi sudah menjadi keputusanku. Iya, aku mau menemui Bapak.
"Ann. Sudah siap? Apapun yang terjadi nantinya, kamu harus siap loh".
"Siap Pram. Semoga hal baik yang datang mengiringi langkahku".
Pram tetap saja merasa ragu atas keputusanku untuk menemui Bapak. Pram tahu, banyak hal yang menyakitkan dan membuat traumatis pada diriku, saat aku hidup bersama Bapak. Namun bagiku, orang tua tetaplah menjadi orang tua, mau sebagaimanpun buruknya maka ia tetaplah menjadi Bapak.
Sepeda motor Pram melaju kencang, mengikuti jalan setapak untuk mencari alamat Bapak. Aku hanya mengandalkan informasi dari beberapa saudara yang sempat aku hubungi.
"Ayahmu tinggal di kos Rainbow jalan Veteran, pesisir kota".
Informasi dari saudaraku yang menyampaikan pesannya lewat WhatsApp.
"Pram. Menurut informasi yang aku dapat, Bapak tinggal di kos Rainbow, di jalan Veteran pesisir kota".
"Kamu yakin Ann, belum tentu bener loh itu?".
"Iya Pram".
Aku sama sekali tidak menghiraukan keraguan Pram. Aku hanya mengikuti jalan dan teguhnya kata hati. Kamipun tetap menelusuri jalanan untuk menemukan alamat dari informasi tersebut. Walaupun, memang benar kata Pram, informasi yang didapatkan itu belum tenru benar.
"Ann. Istirahat dulu yah. Kamu pasti capek kan?".
Di tengah perjalanan, Pram menghentikan perjalanannya dan mengajakku untuk istirahat lebih dulu. Wajah Pram terlihat begitu lelah, tapi tidak dengan diriku. Aku tetap saja ingin melanjutkan perjalanan tanpa banyak berhenti, jika ditanya capek atau lelah naja aku akan menjawabnya tidak".
"Iya Pram. Boleh, istirahat dulu aja".
Pram sesekali menengok ke arah wajahku, lalu menatap mataku. Sepertinya ia masih ragu dengan perjalanan kali ini. Namun sesekali ia juga tersenyum, menyimbolkan bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja.
"Ayo Ann. Lanjut perjalanan, semangat ya"
"Semangat Pram".
Kami saling melempar senyum, dan kembali melakukan perjalanan.
Jarak dari rumahku ke tempat tujuan cukup memakan waktu yang tidak singkat. Di tengah perjalanan Pram menyela dan membuka obrolan.
"Ann, kok kamu bisa sih tiba-tiba memutuskan untuk nyari Bapak? Kamu ada apa sih Ann?".
Aku terdiam cukup lama. Bingung harus menjawabnya dengan jawaban yang seperti apa. Sebab, aku sendiri sebenarnya tidak tahu mengapa aku benar-benar ingin menemui Bapak.
"Nggak tau sih Pram. Pagi tadi, aku tiba-tiba rindu keluarga yang utuh. Yah, kangen aja gitu. Aku juga harus menjaga hubungan baik sama Bapak kan. Dia tetap Bapakku kok Pram".
"Aku tau Ann. Cuman, aku khawatir aja barangkali nantinya kamu banyak mengenang masa-masa sakitmu. Kamu akhirnya teringat dulu, saat kamu banyak tersakiti".
Pram mungkin benar. Bertemunya aku dengan Bapak di kondisi itu, bisa saja membuatku teringat banyak hal yang menyakitkan. Tapi, tetap saja aku tidak akan mengurungkan niat dan keputusanku.
"Gapapa Pram. Semoga saja kemungkinan buruk itu nggak terjadi. Dan aku bisa nemuin hal baru lagi".
"Ya sudah Ann. Yang terbaik untukmu".
Tak terasa, perjalanan sudah mengantarkan kami ke jalan Veteran di pesisir kota. Sesuai dengan informasi yang aku dapatkan, di seberang jalan terdapat bangunan menyerupai rumah susun. Cat nya berwarna, sesuai namanya Kos Rainbow.
"Praammm".
"Iya Ann?".
"Kok aku deg-degan ya? Gemeteran gitu. Ada apa sebenarnya".
Pram terdiam, menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia mengelus kepalaku, lalu merangkulku.
"It's Oke Ann. Nggak papa. Ayo, coba kita masuk".
Aku dan Pram menyusuri bangunan besar dan tinggi itu. Suasananya padat, tapi sunyi. Di depan bangunan itu terdapat pohon beringin yang besar, daunnya kering dan berjatuhan. Di belakangnya terdapat pemakaman, tidak begitu luas tapi padat. Dan kanan kirinya hanya lahan yang masih gersang tanpa bangunan maupun tumbuhan apapun.
"Permisi Pak. Mau tanya, di kos Rainbow ada penghuni atas nama Galang?"
"Maaf Mba, Galang siapa yah?"
"Oh sebentar Pak. Saya punya foto copy KTP nya".
Aku menemui seseorang yang sedang duduk di depan pintu kamar kost. Ia nampak sedang beristirahat. Lalu aku menunjukan foto kopi KTP Bapak kepadanya. Barang saja ia mengenali Bapak
"Saya kurang tau Mba. Coba ke bagian penjaga aja. Dari sini lurus, nanti ada lorong belok kanan".
"Oh gitu Pak. Baik, makasih banyak Pak"
Ia hanya mengangguk. Lalu aku bergegas menuju ke bagian penjaga. Sesuai arahan yang sudah diberikan. Pram berjalan di belakangku, ia terus memberikan senyuman, yang menyimbolkan kekuatan.
"Permisi Pak. Mau tanya, apa di Kos Rainbow ini ada penghuni atas nama Galang? Usianya 45 tahun. Tinggal sendirian mungkin, saya anaknya. Mau bertemu".
"Iya Mba. Kebetulan saya penjaga baru di sini. Belum tahu data penghuni di sini siapa saja".
Aku dan Pram saling menatap, lalu kami terdiam. Seakan sama-sama memikirkan bagaimana solusinya.
"Bantu kami Pak. Mungkin Bapak bisa menanyakan kepada petugas yang sebelumnya, atas nama Galang. Sesuai informasi yang udah kita dapat, Pak Galang ada di sini".
"Iya Mas. Sebentar yah. Tunggu di sini dulu, saya menemui petugas yang sebelumnya. Barangkali dia mengenali Pak Galang".
"Siap Pak. Terimakasih".
Firasatku sudah mulai berantakan, kacau, dan benar-benar tidak tenang setelah petugas penjaga pergi cukup lama. Hampir setengah jam kami menunggu, ia belum kunjung kembali. Aku dan Pram tentu kebingungan, sementara tak ada seorang pun yang terlihat dan bisa kita minta bantuannya.
"Permisi Mas, Mba. Saya sudah menghubungi petugas lama, kesimpulannya Pak Galang sudah tidak di sini lagi. Ia terakhir kali menitipkan barang-barang dan nomor handpone kepada penjaga kos. Barang ini silakan bisa dibawa, barangkali bisa menjadi jalan untuk bertemu Pak Galang".
Kalimat demi kalimat itu terdengar jelas, tidak ada yang salah maupun terlewatkan.
"Pak, apa Pak Galang menjelaskan alasannya ketika dia pergi?".
"Kurang tau Mba, tapi menurut petugas sebelumnya Pak Galang sempat depresi sampai ia tidak tau lagi harus bagaimana memepertahankan hidupnya. Lalu ia izin pergi".
Anak mana yang tidak sedih mendengar dan melihat kondisi orang tuanya seperti itu? Begitupun aku. Air mata menjadi saksi, tak mampu terbendung, lalu akhirnya turun. Pram hanya berdiri tegap, kebingungan, lalu merangkulku dalam pelukan.
"Sabar Ann. Pasti ada jalan lain, jangan mematahkan semangat dan harapanmu lagi".
Aku semakin menangis, sesenggukan, seakan aku tak tau lagi arah jalan pulang.
"Ayo Ann. Pulang dulu, istirahat. Nanti kita cari jalan lain, sama-sama. Kamu bersamaku, tidak sendiri".
Aku hanya mengangguk. Lalu sepeda motor berjalan menelusuri jalan pulang. Tidak ada yang aku anggap sia-sia, namun sedikit terluka. Berjalan dengan penuh tanda tanya "Bapak pergi kemana?".
Hari itu menjadi satu hari yang bersejarah, menuang kisah. Satu hari mencari Bapak.