"Ann. Tumbuhlah dengan penuh kekuatan. Apapun yang terjadi, aku akan ada untukmu Ann. Aku sayang kamu".
Ia semakin terisak. Air mata tak mampu lagi ia bendung. Aku yang mendengar dan melihatnya pun tak kunjung reda tangisannya.
Aku dan Pram akhirnya terdiam. Hening dan memberi jeda satu sama lain, namun fikiran kami berisik dan tidak kunjung tenang. Lagi dan lagi, kutemui Pram menarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Di waktu itu juga, aku menyadari bahwa duka dan lara yang aku rasakan sudah banyak terbagi bersamanya. Aku memukul salah pada diriku, bagaimana bisa seorang aku banyak menaruh duka dan lara yang aku rasakan kepada diri Pram. Mungkin Pram tidak pantas untuk menerima itu.
"Ann"
"Iya Pram".
Pram menggenggam tanganku erat. Ia sesekali menyapaku, namun ia kembali terdiam.
"Silakan Kak, mau pesan apa?"
Lamunan kami pudar setelah barista datang menhampiri. Aku baru menyadari, ketika kami datang belum memesan makanan dan minuman. Kami malah nangis dan gegalauan. Pram masih melebur dalam lamunan kosongnya"
"Aku mau Americano Ice ya Kak, sama kentang gorengnya 1".
"Baik kak. Ada lagi?"
"Sebentar, aku tanya temenku dulu".
Tatapan mata Pram lurus, namun akupun tak tahu apa yang Pram tatap.
"Pram. Mau pesen apa?"
Pram hanya terdiam, dan tidak melontarkan jawaban.
"Pram, hallo?"
"E-eeeemmmm, samain aja deh kaya kamu. Sorry yah".
Aku melihat wajah Pram yang memerah, dengan matanya yang berbinar.
"Oke kak, disamain yah".
"Siap. Terimakasih Kak".
"Sama-sama"
"Pram. Ada apa denganmu? Kenapa sih kamu ini?"
"Nggak tau Ann. Aku juga bingung, tapi aku merasa aku benar-benar menyayangimu dan aku sama sekali tidak menginginkan kamu bersedih terlalu lama".
"Yasudah Pram. Kamupun nggak perlu bersedih, biasa saja. Jangan merasa terbebani karna aku yaaa".
"Semoga saja begitu Ann".
Pram hanya terdiam. Lalu ia tersenyum sembari mengelus kepalaku.
"Banyak hari indah yang akan kita temui dan lalui bersama kok Pram, percayalah. Dan terimakasih karena sudah sedemikian rupa untuk diriku".
Kami tersenyum, dan tenggelam dalam pelukan.
Setelah selesai menikmati kopi, kami bergegas pulang. Senja menyapa dengan warna jingganya.
***
"Ann. Ibu rasa hidupmu jauh lebih tak karuan. Kamu kenapa sih Ann. Sekarang, kamu banyak keluar rumah. Menghabiskan waktu di luar rumah. Lalu, kuliahmu bagaimana? Nasib rumah ini nantinya gimana? Kamu kan tau Ibu banyak kebingungan seorang diri".
Ibu menyambutku dengan celotehannya. Aku hanya terdiam, lalu menuju kamar merebahkan badan. Setelah perpisahan itu, pelik yang ada dalam diri Ibu dan aku tak kunjung selesai. Masih saja berkelanjutan dan berkepanjangan.
"Greeeeek".
Suara pintu kebuka, Ibu masuk ke kamarku. Dan ia memandang wajahku dengan serius. Selepasnya, ia hanya menghela nafas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan.
"Iya Bu. Biarkan nanti Ann yang memperbaikinya".
Aku hanya bisa berkata demikian. Sebab, aku sendiri penuh dengan tanda tanya, yang akupun belum bisa menemukan jawabannya.
Malam demi malam, yang datang hanyalah kesedihan. Gambaran keluarga yang utuh begitu jelas di harapanku, namun berbanding dengan realita yang terjadi. Keluargaku justru pecah, dan membelah.
"Ann. Sudah tidur?"
Notifikasi pesan berbunyi, aku sudah tahu pesan itu dari Pram. Aku sengaja membedakan nada notifikasi khusus dari pesan-pesan Pram. Yaah, bagiku hal itu bisa untuk membedakan bahwa pesan dari Pram sangat istimewa.
"Belum Pram. Kebetulan belum ngantuk. Kamu kenapa belum tidur?".
"Iya Ann. Ndak tau, jangan begadang yah Ann. Istirahatnya harus cukup".
"Iya Pram. Pasti".
"Malem Ann. Selamat tidur. See you".
"See you Pram".
Pesan-pesan dari Pram mengisi kolom berbintang di room chat kami. Pesan dari Pram di malam hari seringkali mengantarkanku ke alam mimpi, begitu hangat, seperti terus memeluk dalam jauh dan mendekap secara utuh. Namun berbeda dengan malam itu, pesan dari Pram tidak membawaku ke alam mimpi. Sampai malam berlarut, aku masih saja tetap terjaga.
"Buuuu?".
Aku menengok kamar Ibu, memastikan apakah ia sudah tertidur. Di rumah itu hanya ada dua orang. Maka, kepada siapa lagi aku harus berlabuh kecuali dengan ibuku?
"Iyaa".
Aku melihat ibu sedang duduk di hadapan meja riasnya. Ternyata kami sama-sama tidak bisa terlelap malam itu. Aku memilih menutup pintu kamarnya, dan duduk di ruang tamu. Hening, hanya ada suara gemercik air, karena kebetulan di luar rumah sedang gerimis.
Suasananya memang sepi, namun aku ramai dalam otak. Memikirkan tentang hari ini, esok sampai nanti.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya sembari mengatakan, "apa yang harus aku lakukan untuk merubah semuanya?", saat itu di otakku hanya bertumpuk pertanyaan yang belum usai mencari solusi.
"Nggak perlu nglakuin apa-apa Ann".
Ibu keluar dari kamarnya lalu berjalan menghampiriku. Mungkin Ibu mendengar apa yang aku katakan.
"Kemari Ann, Ibu ingin memelukmu".
Kami saling memeluk, tak terasa air mata kami menetes deras. Ibu sesegukan, dan aku tak kuat menahan.
"Sudah Bu. Yang tenang".
Kami duduk di sofa ruang tamu. Menghabiskan malam bersama, dan menikmatinya detik demi detik sembari belajar tentang hikmah di suatu kejadian.
"Ann. Ibu minta maaf atas semuanya ya. Ibu terlalu menyakitimu. Akhir-akhir ini Ibu bingung banget soal biaya kuliahmu. Bagaimana bisa Ibu membiayainya seorang diri, sedangkan Ibu juga belum punya cadangan dan biaya yang pasti".
Di malam itu pula, Ibu menyampaikan hal yang sama. Yah, lagi-lagi soal pendidikan dan financial. Hal itu dirasakan berat oleh Ibu, namun akhirnya akupun merasa berat menghadapi kondisi yang sedemikian rupa, apalagi yang berkaitan dengan pendidikan.
"Buuu. Sabar dulu, nggak usah buru-buru. Insya Allah Ann bakal menuhin apa yang Ibu mau, soal biaya kuliah Ann mau semuanya dijalani dulu saja, balik lagi, nggak usah buru-buru".
Ibu banyak bercerita tentang dirinya, masa mudanya atau perjalanan hidupnya yang mungkin bukan kali pertama ia menceritakannya. Sebelumnya akupun sudah pernah mendengar cerita itu.
"Maafkan Ann ya Bu. Jika Ann banyak bersalah dan menyakiti Ibu. Ann hanya mohon dimaafkan".
Aku beranjak menuju kamar. Menutup pembicaraan bersama Ibu. Aku hanya ingin tenang, otakuu tak ingin menanggapi hal-hal yang membuatku tertekan lalu membuatku kepikiran.
Direbahkanlah tubuhku ke kasur yang berukuran sedang. Pandanganku lurus ke atap rumah, yang ada di otakku saat itu tak mampu disebutkan satu persatu. Banyak hal yang sudah sepantasnya diselesaikan, namun aku masih saja tetap melingkar di fase ini.
"Ann. Selamat pagi".
Waktu berjalan, dan jam dinding menunjukan jam lima pagi. Handponeku berbunyi, pesan dari Pram sudah kubaca. Hari itu sudah pagi, namun aku belum kunjung rehat. Aku menyiapkan diri untuk rehat, mau bagaimanapun itu adalah perkara kebutuhan. Mata ini harus terpejam, dan otak ini jangan terus berjalan.
"Pagi Pram. Semangat buat hari ini".
Aku membalas pesan Pram, lalu membenamkan diri dalam alam mimpi. Mungkin ketika aku bangun nanti, akan ada hal indah yang bisa kunikmati lagi.