Chereads / Dialog Rasa / Chapter 5 - Tiada hal yang paling menyakitkan, kecuali kehilangan

Chapter 5 - Tiada hal yang paling menyakitkan, kecuali kehilangan

Semenjak Ibu dan Bapak bercerai. Aku bukan lagi merasakan damai, masih saja luka itu terasa, meski hati terus berbicara untuk ikhlas.

"Ann. Apa kamu menyesali keputusan Bapak dan Ibu? Ibu melihat dirimu belum sepenuhnya ikhlas Ann. Tapi mau bagaimanapun tuhan memberikan kita jalan. Dan selama ini, Ibu hanya berdoa memohon yang terbaik. Mungkin ini jalan kita, jalan Ibu dan kamu untuk menjadi lebih baik lagi".

Aku hanya diam. Duduk, pandanganku lurus ke depan, tapi aku sama sekali tidak mengetahui apa yang kupandang.

"Ann ikhlas kok Bu".

Aku hanya menjawabnya dengan singkat. Sebab, jika aku banyak bercerita aku tak kuat menahan luka. Lebih baik aku diam, lalu aku olah sendiri kesedihan itu.

Hari berlalu, masih sama saja. Yang kurasa adalah kesakitan. Aku merasa kehilangan separuh kehidupan. Iya, itu Bapak. Walaupun ia sosok yang sangat keras dan memiliki banyak kekurangan, tapi orang tua tetaplah orang tua. Aku lahir di dunia ini, tentu karena mereka.

"Ann. Kamu pasti bisa kok memutuskan pilihan. Memilih untuk terus ada di fase luka dan sedihmu, atau memilih menyudahi semuanya, membuka lembaran baru dan mencari kebahagiaan. Sudahlah Ann. Lagian, di luar sana pun masih banyak yang lebih luka dibandingkan kamu".

Tempat aku dan Pram pertama kali menyaksikan senja menjadi tempat favorit bagi kami. Seringkali, aku dan Pram saling berdialog8 dan menuangkan segalanya di tempat itu. Mulai dari duka, sampai bahagia.

"Tapi Pram. Aku merasa waktu ini begitu lama, fase ini terus berjalan tapi tak kunjung berhenti. Aku juga capek sih Pram, setelah masa kecilku keras, dewasaku pun harus penuh kesedihan. Coba aja kalo aku ngga kuat Pram? Mungkin aku gila".

Seperti biasanya, Pram hanya tersenyum dan mengelus kepalaku.

"Aku yakin kamu bisa Ann. Jangan lupa, ada aku yang menemanimu. Jangan pernah merasa sendiri".

Aku dan Pram saling melempar senyum, dan membenamkan tubuh satu sama lain ke dalam pelukan.

Pram selalu memberi kehangatan di saat aku kedinginan. Pram juga selalu memberi tawa di saat aku terluka. Pram memberikan kekuatan di saat aku penuh kelemahan. Bagiku, Pram sudah lebih dari cukup. Cukup untukku, dan aku berharap aku pun cukup untuknya.

"Jangan menaruh harapan ke Ann terlalu tinggi Bu. Nanti kalo Ann nggak bisa menuhin, yang ada Ibu kecewa. Ann tau siapa yang harus Ann bahagiakan".

Malam itu, Ibu sempat membuka obrolan tentang keluarga. Sampai akhirnya Ibu memintaku untuk menjadi tulang punggungnya. Ibu kebingungan harus menghidupi aku dengan cara apa. Bagiku, hal itu sangat menyakitkan. Tapi bukan Ibu yang menyakitiku, keadaanlah yang membuat kami seperti ini.

Aku hanya berpesan pada Ibu untuk jangan menaruh harapan. Sebab, kekecewaan seringkali hadir karena bentuk harapan. Aku tidak ingin diharapkan menjadi sosok A, B, atau C. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.

"Ya sudah Ann. Ibu hanya bisa melalukan ini untukmu. Tidak lebih, dan banyak kurang. Ibu anggap kamu sudah dewasa, pasti tahu mana yang baik dan buruk, mengerti keadaan Ibu".

"Iya Bu. Ann tau".

Aku berada di lingkungan mereka. Mungkin yang aku rasa pun banyak dirasakan orang lain. Tentang bagaimana kurangnya perhatian, kepedulian, kepekaan, dan tentu kurangnya ruang untuk berbicara. Sampai pada akhirnya aku menginjak dewasa, aku sama sekali tidak memiliki letertarikan untuk berbicara panjang lebar kepada mereka.

Mungkin ini salah, tapi akupun belum bisa menyalahkan apa yang aku rasakan. Aku berusaha jujur pada diriku sendiri, bagaimana sakitnya dan bagaimana aku membutuhkannya.

Semenjak itu pula, hubunganku dengan Bapak terputus. Aku tak mengerti keberadaan Bapak apalagi keadaannya. Aku melihat ibu lebih tenang dan bahagia, namun aku masih saja menyimpan luka atas perpisahan itu.

***

"Pram. Sepertinya aku butuh lowongan kerja deh. Kemaren Ibu cerita soal ekonomi keluarga, dia kebingungan harus bagaimana. Soal kerja, soal pendidikan, rumah, dll. Aku anak tunggal, bagaimana nasibku aku ngga bisa menggantungkan ke Ibu. Mungkin aku harus kerja".

Aku dan Pram duduk di kantin kampus. Kita menyelesaikan makan, dan aku membuka obrolan.

Lagi-lagi, Pram melempar senyum dan mengelus-elus kepalaku.

Ia menghelai nafas, lalu ia dengan suaranya yang lembut berbicara.

"Ann. Kamu tau roda akan berputar di saat yang tepat dan untuk orang yang tepat? Mungkin saja, Ibu hanya sedang merasa bimbang. Tapi bukan berarti Ibu menyuruhmu bekerja, mencari nafkah atau menghentikan pendidikanmu".

"Secara nggak langsung gitu loh Pram".

"Nggak Ann. Nggak ada orang tua yang mau melihat anaknya kesusahan, anaknya bersedih. Mereka selalu mengusahakan yang terbaik".

Pram selalu memberikan siraman yang menyejukkan. Dari dialog aku bersama Pram, aku lebih mengelola segalanya. Dari mulai cara berfikir, cara melihat sosok Ibu, cara memutuskan pilihan untuk larut bersedih atau mulai bahagia, dan hal-hal lain yang aku dapat dari Pram.

Tak terasa, hari banyak terlewati. Aku banyak merasa lebih bahagia, namun masih saja ada luka. Memang benar kata orang memaafkan itu mudah, namun sembuh dan lupa itu susah...

"Ann. Nanti siang aku ajakin kamu ke toko buku yah. Setelah itu, nanti coba datang ke tempat kopi baru, tenang aja. Aku habis dapet uang sampingan. Hihihi".

Sudah banyak hal indah yang aku rakit bersama Pram.

Ia bekerja di sebuah cafe, dan aku seringkali diajak untuk mendatangi tempat baru. Sampai akhirnya aku dan Pram menyukai dunia kopi. Banyak hal baru yang kita coba, entah menu sampai konsep tempat kopi tersebut.

"Iya. Pram. Aku tunggu di rumah".

Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu di luar. Aku hanya memiliki siklus kegiatan yang sangat membosankan. Kuliah, organisasi, pulang, merawat ibu, lalu mengurung diri di rumah. Dari hal itu, Pram mengajakku untuk merasakan suasana baru. Segala cara yang menurutnya bisa membuatku tersenyum, maka ia akan lakukan.

"Ann. Ke toko buku ya. Kalopun nggak beli buku, minimal kita bisa ngadem di situ hahaaa"

"Terserah kamu deh Pram".

Pram menengok ke arahku. Tepat pandangannya bersatu. Ia melemparkan senyum.

"Sudah Ann. Jangan sedih terus lah, ayo ceria lagi. Jelek loh kalo kamu sedih".

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Pram mengenggam tanganku erat, lalu ia menggandeng membawaku berkeliling kota menuju toko buku, dan menyaksikan suasana baru.

"Ann. Ini untukmu".

Pram menyodorkan sebuah buku, tidak tebal tapi tidak juga tipis.

Buku itu berjudul "Rusak saja buku ini".

Pram mengelus kepalaku, namun matanya berbinar seperti membendung air mata. Aku dan Pram menepi di sebuah Cafe yang tempatnya tidak begitu besar, tapi tidak juga kecil.

Tiba-tiba Pram memelukku erat, air matanya turun deras. Entah apa yang dirasakan Pram, namun aku mendengarnya.

"Ann, aku menyayangimu. Ann, berbahagialah".

Suaranya terisak. Aku tenggelam di dalamnya, tangisan yang deras.

"Pram. Semoga aku tidak pernah merasa kehilanganmu. Sebab, tiada hal yang lebih menyakitkan selain rasa sakit".