Chereads / Dialog Rasa / Chapter 2 - 20 tahun

Chapter 2 - 20 tahun

Aku dan Pram semakin menyatu. Banyak hal yang akhirnya kita lalui bersama. Termasuk kemabli sembuh dari hati yang patah karena luka kita masing-masing. Aku dan Pram kembali tersenyum, menyaksikan keindahan-keindahan yang menjadi hal baik dalam kehidupan.

"Selamat ulang tahun Ann. Yang terbaik untukmu. Terimakasih karena telah ada bersamaku".

Pram tiba-tiba datang di depan rumahku. Membawakan cake kecil berwarna pink dan lilin panjang. Hari ini, usiaku genap 20 tahun. Yah, aku sudah berada di kepala dua. Lika-liku perjalanan selama belasan tahun sudah kujalani. Dan aku patut untuk bersyukur atas segalanya.

"Praaaaammmm. Thank you so much. Doa yang terbaik kembali untukmu juga".

Aku menyukainya, dan aku bersyukur. Sebab, dari kecil aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Keluargaku jarang sekali mengingat moment-moment seperti ulang tahun, jadi semuanya nampak biasa saja. Namun berbeda dengan hadirnya Pram. Seperti menjadi warna baru yang ia sajikan.

"Sorry Ann. Aku belum bisa memberimu hadiah. Tapi, kamu boleh minta hadiah ulang tahunmu sebebas dan semaumu. Apa saja".

"Ah Pram. Tidak penting, untuk apa juga hadiah itu, kedatanganmu hari ini saja sudah cukup kok".

"Ya sudah Ann. Kalo kamu nggak mau minta. Sekarang siap-siap yah. Aku ajak kamu pergi".

"Loh pergi kemana?"

"Udah. Siap-siap dulu aja".

Aku, diri seorang Keeana yang enggan ribet dan malas untuk berdandan. Sesuai ajakan Pram, akhirnya aku bergegas untuk ganti pakaian dan mengenakan sepatu, membawa tote bag andalanku. Aku tak seperti wanita pada umumnya yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk bersolek. Yah, cukup 5-15 menit saja selesai.

"Ayo. Sudah selesai".

"Loh, cepet banget Ann".

"Ngapain lama-lama? Gimana jelek yah. Yaudah ngga usah pergi"

"Ettttsss kok gitu. Engga kok, cantik. Yukkk capcus".

"Kamu mau ngajakin kemana sih Pram. Nggak jelas banget deh".

Sore hari itu tidak hujan, tapi tidak juga panas. Awannya cerah, anginnya sejuk. Pram mengendarai motor dengan kecepatan sedang, tidak pelan pun tidak cepat. Ia senang sekali bernyanyi di atas motor, sampai aku yang memboncengnya merasa berisik karena suara nyanyiannya.

Aku memilih diam, dan menebak-nebak kemana Pram akan mengajaknya pergi. Pram terus menikmati nyanyiannya, dan sesekali ia menengok ke belakang, sembari tersenyum.

"Kenapa Ann, ngantuk?".

"Gaaa, berisik tau".

"Hahaa, tapi suka kan?"

"Nggak juga".

Tiba-tiba Pram menghentikan sepeda motornya di tengah perjalanan. Ia berhenti di salah satu pedagang es kelapa muda. Pram memesan satu gelas es kelapa muda, yang ia berikan untukku.

"Loh Pram. Kok cuma satu? Untukmu mana?".

"Itu aja, satu gelas berdua".

"Gaaa, ini buat aku aja".

"Yaudah. Abisin".

Tingkah laku kita memang terkesan aneh. Tapi entah mengapa keanehan itu justru menjadi suatu hal yang menyenangkan, tidak membosankan, dan mendatangkan candu.

"Kamu tau nggak kenapa aku berhenti di tukang jualan es kelapa itu?"

"Ya nggak lah Pram. Orang kamu juga nggak ngasih tau".

"Jadi, penjual es kelapa muda itu dari dulu. Semasa aku SMA dia sudah berjualan. Nah, seringkali ketika datang masa galauku, ya tempat nongkrongku di situ. Es nya enak, penjualnya baik. Akupun sering minum tanpa membayar di situ. Makanya, aku kenalin ke kamu".

"Oh gitu. Okee aku tau. Jadi kamu dari SMA udah langganan galau yah Pram? Sampai nyari tempat gitu juga"

"Nggak juga Ann. Biasa aja. Hahahahaaaa"

Perjalanannya terasa cepat, tapi aku sama sekali belum tahu Pram akan membawaku kemana. Sesekali Pram mengarahkan kaca spion motornya untuk melihatku. Lalu ia tersenyum.

"Lucu banget sih Ann mukanya. Biasa aja dong".

"Udah biasa Pram. Nggak dibuat-buat".

Perjalanan kami menuju ke arah Barat, tepat dimana matahari akan terbenam. Aku menikmatinya, begitu juga dengan Pram. Warna jingga dan kuning terangnya memiliki energi dan cahaya tersendiri. Awan cerah seakan mengiringi perjalanan kita.

"Liat Ann. Mataharinya terbenam. Tapi, esok ia akan muncul lagi. Dan malam hari nanti, akan digantikan oleh rembulan. Mereka satu kesatuan, tapi mereka bekerja pada poros dan porsinya masing-masing".

"Iya Pram. Indah sekali warnanya".

"Ann, apa kamu menyukai perjalanan ini?".

"Tentu, Pram. I like".

Aku bisa berbahagia dengan hal kecil. Namun, bisa pula bersedih karena hal kecil. Sama halnya Pram, ia memiliki sisi dimana ia sangat menyukai hal-hal kecil, namun ia juga bisa terjatuh dan bersedih dari hal-hal kecil. Dari hal itu, aku dan Pram akhirnya mengusahakan hal kecil yang membuat kita senang, bukan yang membuat kita bersedih.

Setelah perjalanan, Pram mengajakku ke suatu tempat. Suatu perbukitan yang sangat indah. Dan aku, sama sekali belum pernah menjumpai tempat tersebut. Di sekeliling perbukitan itu, terdapat warung kopi yang dibentuk minimalis, tempatnya sederhana namun elegan. Tepat saat sunset, aku dan Pram tiba di tempat itu. Hari itu seperti hari yang benar-benar istimewa bagiku.

"Duduklah Ann. Kemari. Istirahat dulu"

"Praaaaammmm".

Aku menyapanya, sembari menantapnya.

"Iya Ann".

"Apa yang membuatmu mengajakku ke tempat ini? Jujur, di usiaku 20 tahun, hari ini pula aku belum pernah mendatangi tempat seperti ini. Dan aku dari dulu ingin sekali menikmati suasana seperti ini. Terimakasih Pramm. Terimakasih banyak".

Pram tersenyum. Ia mendekatiku, dan mengelus kepalaku.

"Ann. Nggak perlu berterimakasih seperti itu. Nggak ada pemberian yang lebih. Terimakasih juga karena kamu senang dengan hal ini, semoga senja hari ini bisa membuat harimu indah".

"Tentu Pram".

Pram selalu menyajikan hal kecil yang keindahannya begitu besar. Sejak awal kenal dengannya, tak ada suatu hal yang berubah. Ia masih tetap sama. Bersyukur, aku dan Pram akhirnya bisa menikmati keindahan itu bersama, sembuh dari lukanya masing-masing.

"Kamu mau pesen makanan atau minuman apa Ann? Di sebelah sana ada tempat kopi yang minimalis, seru pastinya".

"Nanti kita kesana aja ya Pram, sekarang aku mau menikmati suasananya dulu".

"Okee Ann...".

Sembari menikmati suasana itu, Pram memutar musik dan menikmatinya. Ia bernyanyi sembari memejamkan matanya. Lagu itu dari Ari Reda yang mengangkat puisi Sapardi Joko Damono menjadi sebuah lirik lagu. Pram menyayati bait demi bait. Aku memandangnya dan ikut bernyanyi, melebur di dalamnya.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Senja saat itu membuat 20 tahunku memiliki warna indah yang baru. 20 tahun ini aku bertemu dengan Pram. Merubah kelabu menjadi hal yang baru. Untaian doa dilantunkan kepada langit-langit semesta. Di tempat itu pula, aku dan Pram banyak berdialog, berbicara tentang kehidupan, berbicara bulan dan bintang, dan berdialog tentang senja.