Chereads / Project Quintessence / Chapter 1 - Bab 1: Musuh dari Dunia Data

Project Quintessence

🇮🇩xxxxcxc
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1: Musuh dari Dunia Data

Pada malam hari penghakiman itu—

Banyak orang tewas dengan tiba-tiba.

Di jalan raya itu, banyak orang yang sedang berjalan melakukan kegiatan mereka masing-masing tewas. Bukan kematian cepat seperti serangan jantung. Lebih buruk dari itu. Tubuh mereka tiba-tiba terpotong dengan begitu saja. Ada juga yang kepalanya langsung meledak.

Darah mengalir di jalanan dan potongan tubuh berserakan di segala tempat.

Itu adalah kekacauan bak kiamat.

Mengerikan!

"Ah!"

"Apa yang terjadi?"

"Lari!"

Dunia mereka yang damai berubah menjadi kacau hanya dalam hitungan detik. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setidaknya, mereka tidak tahu. Jangankan apa yang terjadi selanjutnya, mereka masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Semua orang melarikan diri dari sumber kematian. Mereka berlari tanpa peduli siapa yang tertinggal. Di hadapan kematian, manusia akan menunjukkan sifat asli mereka. Beberapa orang berusaha menolong anak-anak yang tertinggal. Banyak polisi setempat yang mereka benci siap mempertaruhkan nyawa demi melindungi mereka.

Salah satu dari polisi itu adalah Alan. Dia adalah seorang polisi yang baru saja lulus dari Akademi Polisi Indonesia. Seperti banyak pemuda, dia adalah seorang pria yang mempunyai ambisi tinggi. Alan sudah mengkhayal bisa menjadi seorang kepala polisi dan mempunyai banyak teman di partai politik. Matanya terbuka lebar begitu melihat semua kematian yang ada di hadapannya. Semua yang dia mimpikan tidak ada artinya di hadapan kematian. Alan menunjukkan sifat aslinya dalam kondisi yang mendesak itu. Dia mengeluarkan pistolnya dan menembak mengandalkan intuisinya.

Bang!

Bang!

Bang!

Tiga peluru melesat melampaui kecepatan suara.

Alan menembak ke arah ruang kosong yang ada di dekat orang yang baru saja dipenggal. Dia merasa kalau sumbernya pasti belum jauh.

Tebakannya benar.

Tang!

Tang!

Tang!

Tiga peluru itu akurat mengenai target, tapi tidak ada satu peluru pun yang berhasil melukai target. Ketiga peluru itu terpantul dengan begitu saja tanpa alasan logis. Alan tidak bisa memahami apa yang terjadi. Ada sesuatu di sana, tapi apa? Bagaimana mungkin sesuatu itu bisa memantulkan peluru dengan begitu saja.

Dia tidak menyerah.

Alan menembak lagi, menghabiskan semua pelurunya. Kalau tiga peluru tidak cukup untuk menembus target, berarti butuh lebih banyak peluru! Kalau masih belum cukup juga, berarti pelurunya masih kurang banyak. Pria itu percaya dengan hukum pistol.

Bang!

Tang!

Tang!

Di saat semua harapan hampir musnah—

Bam!

Sebuah peluru berhasil melakukan sesuatu.

Terungkaplah makhluk itu.

"... Monster."

Itu adalah sebuah makhluk yang tidak pernah dia temui sebelumnya. Tidak, dia pernah melihat makhluk itu di dalam sebuah film. Kalau tidak salah ingat, nama makhluk itu adalah goblin. Itu adalah sesuatu seperti seorang manusia. Hanya saja mereka pendek jika dibandingkan dengan orang dewasa dan berwarna hijau. Di tangan goblin itu adalah sebuah belati panjang yang berlumuran darah. Mata merahnya memelototi Alan. Dengan begitu saja, tubuh Alan gemetar kaku. Dia tidak berani bergerak. Satu gerakan saja dan dia bisa tewas. Alan memperhatikan delapan peluru yang ada di dekat kaki goblin itu. Tidak ada satu pun peluru yang berhasil membuat goblin terluka. Itu tidak ilmiah. Eksistensi goblin itu sendiri tidak ilmiah.

"Tenang..."

Alan mencoba menenangkan dirinya.

Dia memang pantas menjadi lulusan terbaik.

Dengan sembunyi-sembunyi, Alan meraih amunisi yang dia taruh di saku peluru di ikat pinggangnya. Dia juga mundur dengan perlahan. Ada banyak kematian di tempat itu. Tidak mungkin semua itu dilakukan oleh seorang goblin. Pasti teman goblin itu menunggu sebuah kesempatan. Goblin itu mungkin merasakan kalau Alan adalah sebuah ancaman karena pistol yang dia gunakan.

Sekarang apa?

Alan bertanya di dalam hatinya. Dia mulai tidak percaya dengan hukum pistol. Ternyata ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh pistol. Meskipun begitu, Alan masih memikirkan cara untuk mengalahkan goblin itu. Dia pasti memiliki sebuah perisai yang bisa menangkis peluru. Kalau perisai itu dimatikan, maka peluru seharusnya bisa melukai goblin itu. Di mata Alan, goblin itu lebih lemah daripada manusia biasa. Dia hanya selamat karena perisai misterius yang melindunginya. Tapi, Alan juga tahu kalau goblin itu memiliki kecerdasan dalam membaca situasi. Mungkin tidak terlalu cerdas, hanya setara dengan orang utan atau manusia purba, tapi itu sudah cukup mengancam.

Cepat!

Tanpa Alan sadari, goblin kecil itu sudah berada di hadapan Alan. Dia sudah menentukan kalau Alan bukan ancaman yang seberapa. Goblin itu menyerang dengan sebuah belati tajam. Dengan kecepatan seperti itu, tidak heran kalau tidak ada yang selamat. Katanya, di saat mendekati kematian, proses berpikir akan berjalan jauh lebih cepat karena adrenalin. Alan sekarang percaya dengan teori itu. Tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak. Bukan karena dia takut, tapi karena tubuhnya tidak bisa mengikuti respons otaknya. Dia hanya bisa melihat akhir hidupnya saja.

Hidup memang fana.

Kau tidak tahu kalau kau lahir ke dunia dan tidak tahu juga kapan akan mati.

Ini dia—

Kematian.

Boom!

Itu adalah suara ledakan yang sangat keras. Sebelum ledakan itu terjadi, mereka semua yang ada di area itu terlempar karena gelombang kejut. Alan terlempar jauh dan menabrak sebuah mobil. Dia bukan seorang dokter, tapi dia tahu kalau beberapa tulang di dalam tubuhnya retak atau mungkin patah. Goblin itu terlempar tidak jauh dari Alan. Di saat Alan mau memanfaatkan kesempatan itu untuk menembak goblin itu, sesuatu yang hebat terjadi di depan matanya. Segala sesuatu yang berada di depan pandangan Alan lenyap dengan begitu saja. Alan tidak bisa memahami apa yang terjadi. Kota besar yang penuh dengan gedung pencakar langit berubah menjadi lubang besar yang dalam.

"..."

Dia tidak bisa berkata apa-apa.

Kejadian di tempat itu semakin lama semakin gila dan tidak masuk akal.

"Ledakan itu. Dari mana...?"

Tidak ada api di sana.

Alan menemukan sumber ledakan itu ketika dia melihat ke atas langit.

Tepat di atas kota adalah sebuah retakan misterius.

Itu seperti kejadian di dalam anime yang sering ditonton oleh rekan kerjanya.

Sama seperti tanah yang retak, langit itu retak dalam arti memiliki celah. Melampaui celah itu adalah sekumpulan angka yang tidak dia mengerti. Pada mulanya, Alan memeluk sebuah agama. Perkembangan teknologi membuatnya mengabaikan agama. Dia tidak percaya dengan eksistensi dewa. Alan adalah orang yang percaya dengan matematika dan ilmu pengetahuan. Kejadian yang ada di hadapannya tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Pada momen itu, dia percaya lagi dengan eksistensi dewa. Di saat seseorang tidak bisa melakukan apa-apa, hal yang paling mungkin dia lakukan adalah mengeluh atau berdoa. Alan memilih untuk berdoa kepada dewa lamanya. Dia benar-benar takut. Apakah mungkin itu adalah hukuman baginya yang tidak pernah berdoa?

Tidak.

Itu tidak mungkin.

Alan merasa kalau dewa tidak mungkin sejahat itu menghukum dirinya dengan menjadikan 40 juta jiwa di kota itu sebagai pelajaran. Tidak, itu mungkin saja. Bukannya air bah diturunkan oleh dewa untuk menghukum sebagian kecil orang? Alan menjadi takut lagi. Pikirannya mulai ke mana-mana. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdetak sangat kencang.

Boom!

Bunyi yang sama muncul dan retakan di langit makin besar.

Tiba-tiba—

Bang!

Langit runtuh.

Sesuatu terjatuh dari retakan itu.

"... Sebuah kristal...?"

Benar, sebuah kristal merah darah jatuh dari retakan itu. Itu adalah sebuah kristal raksasa yang besarnya dua kali lipat dari kota itu. Mengelilingi kristal itu adalah sebuah cincin merah darah. Apa pun kristal itu, objek itu memberikan firasat buruk seperti segala hal di dunia sudah sepakat kalau kristal itu membawa kehancuran. Alan merasa kalau di dalam memorinya ada secarik kertas kecil yang mengatakan kalau kristal itu adalah berita buruk. Itu adalah memori yang tidak pernah dia dapatkan, tapi muncul dengan begitu saja seperti selalu ada di sana.

Kristal itu berhenti jatuh dan mengapung di udara tepat di atas kota yang sekarang berlubang.

"Huh...?"

Saat melihat ke bawah, Alan baru sadar kalau seluruh dunia menghilang sedikit demi sedikit. Objek yang ada di sekitarnya lenyap dengan begitu saja. Tidak hancur, tapi lenyap seperti tidak pernah diciptakan. Segala hal yang terjadi pada hari itu pasti berhubungan dengan kristal itu, tapi Alan tidak punya kemampuan untuk melihat segalanya.

"Ah!"

Dengan nekat melawan rasa sakitnya, Alan merangkak untuk menjauh dari tempat itu. Terkadang, dia memperhatikan kristal yang ada di langit. Dia merasa penasaran apa yang akan dilakukan kristal itu selanjutnya? Apakah dia akan menghancurkan dunia? Apakah dia adalah malaikat penghancur yang dikirim oleh Tuhan? Atau mungkin dia adalah inkarnasi iblis yang sesungguhnya. Sebuah kristal merah darah dan bukan banteng dengan dua tanduk yang mengerikan.

Clang!

Clang!

Kristal merah darah baru terbentuk untuk menyelimuti kristal utama. Dia membuat sebuah kubah kristal padat yang tidak tembus pandang. Semakin lama, kristal itu semakin banyak dan semakin padat. Dari kristal itu muncul sesuatu seperti jangkar yang menusuk ke segala arah, tanah dan langit. Di setiap jangkar itu ada pembuluh yang bersinar terang. Jumlahnya ada banyak! Mungkin ribuan. Sekarang, kristal itu lebih mirip dengan sebuah kepompong dibandingkan sebuah bola. Apakah kristal itu akan menetas? Atau hanya ingin melindungi dirinya? Kristal itu seperti mau melindungi dirinya dari sesuatu. Itu adalah kristal kematian yang mampu menghapus segala sesuatu dengan eksistensinya saja. Dia mau melindungi diri dari apa? Apakah ada makhluk yang jauh lebih mengerikan dari kristal itu di dalam retakan misterius itu?

Semuanya terungkap setelah pertanyaan itu muncul di pikiran Alan.

"Seorang manusia...? Robot?"

Dari sana, Alan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Dia terlihat seperti sebuah titik kecil karena jaraknya yang terlalu jauh dari mata Alan. Untungnya Alan mempunyai mata elang yang jeli. Dia memang tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi dia bisa menafsirkan bentuknya. Itu adalah seorang manusia. Dia memakai sebuah armor yang melapisi seluruh tubuhnya seperti robot dari masa depan. Robot itu (asumsi pertama) memakai satu set armor berwarna putih yang melapisi tubuhnya. Armor itu mengikuti bentuk tubuh manusia biasa, hanya saja terlihat terbuat dari metal. Dia memakai sebuah helm dengan satu mata yang memancarkan sinar ungu. Di belakang tubuhnya adalah sepasang sayap cahaya yang transparan dan hampir tidak terlihat. Tangan kanannya memegang sebuah pistol berjenis 9mm warna hitam. Apakah mungkin itu adalah pistol 9mm standar? Masalahnya pistolnya saja tidak berguna untuk goblin, apalagi makhluk mengerikan raksasa itu. Rasanya tidak mungkin untuk kegilaan yang sedang terjadi.

"Eh?"

Manusia itu melesat dengan cepat ke arah Alan. Dia mendarat dengan tepat di jalanan yang ada di sebelah Alan.

Dia mengatakan sesuatu.

"Di sini Enforcer Legendaris Overdrive. Aku menemukan program korup Beta Akuarius. Dia menggunakan program Absolut Crystal untuk melindungi dirinya. Kemungkinan besar, dia mau menggunakan program Neo Format. Menangkapnya sudah tidak mungkin lagi. Meminta izin untuk mengeliminasi target."

"Roger! Izin diberikan oleh A-1. Untuk catatan, kau tidak bisa berada di realitas terlalu lama. Datamu yang super besar akan menghancurkan dunia secara pasif. Aku sedang berusaha agar itu tidak terjadi. Evakuasi dadakan akan dilakukan dalam waktu 45 detik. Selesaikan sebelum waktu habis."

"Kalau begitu, aku tidak perlu menahan diri lagi."

Orang itu mengarahkan pistolnya ke arah kristal yang sekarang tertutup oleh bola kristal merah darah.

"Destroy Mode..."

Dari data dan informasi murni, pistol itu berubah bentuk menjadi sebuah senapan besar. Orang itu menggunakan dua tangan untuk mengangkat senapan itu dan mengeker ke arah kristal itu. Dia begitu fokus, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Hanya dengan melenyapkan ancaman yang ada di hadapannya, semua bisa aman.

"Memulai program Tembakan Giga."

Moncong senapan itu mengumpulkan energi biru yang misterius. Di samping senapan itu bisa terlihat lima batang sinyal kosong yang perlahan menyala berwarna biru satu per satu. Saat tiga batang sinyal itu menyala, Alan harus membuka mulutnya.

"Siapa kau?"

Dia harus menanyakan pertanyaan itu di saat genting. Biar bagaimana pun, rasa penasaran seseorang tidak bisa ditutup-tutupi. Hanya orang yang benar-benar tabah saja yang bisa menahan rasa penasaran mereka. Dia masih tidak tahu kalau pertanyaan sederhana itu mengubah nasib seluruh dunia di mana dia tinggal.

"Huh?"

Orang misterius itu menengok ke arah Alan.

"Paman Alan?"

"Eh? Bagaimana bisa kau mengenalku?"

"Tunggu sebentar! Bukannya ini adalah duniaku? Aku kan masih di dalam permainan!"

"Apa yang kau—"

"Overdrive! Tidak ada waktu lagi. Aku harus melakukan evakuasi!"

"Tunggu sebentar!"

Dari suaranya, dia terdengar panik.

"Tidak ada waktu lagi untuk mengisi daya Tembakan Giga. Datamu terlalu besar untuk aku tangani sendiri. Kita akan mengirim tim karantina untuk mengatasi Beta Akuarius. Kau sudah membantainya sampai lemah. Tidak ada masalah. Aku akan menarikmu dalam tiga detik."

"Aku... Sial! Perisai Exa!"

Bersamaan dengan suara itu, cahaya merah darah terpancar dari bola kristal merah itu. Orang itu menghilang dari tempat itu secara tiba-tiba seperti tidak pernah ada di sana. Cahaya itu menyelimuti seluruh dunia—alam semesta tidak terbatas yang mencakup alam semesta tidak terbatas yang lebih kecil, ruang-waktu, seluruh jalur waktu tidak terbatas, struktur dimensi dunia, dan segalanya yang ada di set dunia itu.

Masih ada harapan di balik kehancuran.

Dari tempat robot misterius itu berdiri, terpancar cahaya ungu misterius yang melahap sebagian besar cahaya merah itu. Kedua cahaya itu begitu terang sampai hanya ada dua warna di dunia itu.

Sejak saat itu, dunia dipenuhi oleh program sihir.

Kemudian—