"Apakah kalungku hanyut saat aku tenggelam? Ah, aku tidak mengingatnya bagaimana aku tenggelam," ucapnya dengan kesibukannya saat ini mencari kalung itu.
Kalung itu sangat berharga baginya, benda indah tersebut merupakan pemberian mendiang ibunya. Peter berjalan dengan tubuh yang sempoyongan. Dia masih pusing. Kaki nya juga terasa sakit. Namun, dia tidak menyerah mencari kalung itu.
Hingga seseorang memanggilnya. "Peter! Apa yang kau lakukan di sana?" panggil seorang gadis cantik dengan rambut hitam lurus.
Dia tampak menuruni bebatuan besar di pesisir pantai dengan hati-hati. Angin meniup rambut indahnya. "Tunggu aku di sana," ucapnya yang disusuli senyum yang manis.
Dia adalah sahabatnya-Maisha. Mereka berteman sejak kecil. Bahkan, tidak ada rahasia diantara mereka. Maisha pun berhasil menuruni bebatuan besar yang licin dan selamat.
"Yeeee! Aku berhasil, Peter," ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya yang sedang kegirangan. Hingga dia baru sadar sesuatu. "Peter, kamu sakit? Ah, kamu berenang lagi? Kenapa kamu pucat sekali? Ayo kita ke Rumah sakit," perintahnya yang menarik tangan Peter cepat.
"Tidak perlu, Maisha. Aku tidak apa-apa," balasnya kemudian, menarik kembali pergelangan tangannya.
Maisha menatap tidak suka dengan reaksi sahabatnya itu. Dia ingin marah. Namun, dia menahannya karena Maisha tahu dia sedang memikirkan apa. Melihat Peter duduk di pesisir pantai, Maisha pun duduk di sampingnya. Sesekali, menatap laut dan langit yang bertabur bintang.
"Kamu masih merasa bersalah?" celetuk Maisha. Dia memulai pembicaraan kembali setelah beberapa menit hanya terdengar suara laut.
Maisha menatap sahabatnya yang saat ini, sedang menundukan kepalanya. Di atas pondasi kakinya yang menekuk.
"Kalungku hilang," jawab Peter singkat.
Perkataannya terdengar bergetar. Jelas sekali dia sedih. Itu bukan kalung biasa. Dia makin merasa bersalah sekarang. Peter yang tangguh dan juga dingin, akan berakhir rapuh jika di dekat Maisha. Peter pun bersandar di bahu Maisha. Dan gadis itu memupuk pelan punggung.
Hingga sesuatu muncul di laut yang tidak begitu jauh. "Ck, aku pikir dia sudah pulang," desis Kelly.
Entah kenapa, Kelly kembali lagi ke daratan. Hanya untuk melihat manusia itu. Namun, hati Kelly sedikit kesal setelah melihat wanita di sampingnya. Kelly pun berenang untuk pulang.
"Peter, ayo kita pulang. Malam sudah sangat gelap. Besok kita harus sekolah. Kita cari lagi besok kalungmu," tawarnya.
Mereka pun melangkah pergi. Dengan tubuh Peter yang di bantu Maisha. Walaupun sangat berat, Maisha tetap berusaha membantunya berjalan.
***
Suasana kelas terlihat meriah. Namun, Peter yang sedang duduk di paling pojok dan dekat jendela. Terlihat suram walaupun matahari sedang menghiburnya. Dia malah memutar bolanya saat matahari menyilaukan wajah tampannya.
"Peter!" panggil gadis yang sama saat malam kemarin.
Maisha memberikan senyuman manisnya lagi. Dan tanpa sadar, laki-laki dingin itu membalas senyumnya walaupun tidak penuh. Kepala Peter menyentuh pelan mejanya. Menatap Maisha dan gadis itu pun membalasnya. Kini, mereka saling menatap satu sama lain.
"Peter, bersemangatlah!" kata Maisha yang menyemangati laki-laki itu dengan mengangkat kepalan tangannya. "Aish, memandang wajah tampanmu membuat wajahku kram," ledeknya.
Maisha mengangkat kembali kepalanya. Dia berdiri menuju mejanya. Namun, Peter menahan tangannya. "Maisha!" panggil Peter yang masih nyaman dengan pipi yang menempel.
"Kenapa?" jawab Maisha sembari menopang dagunya di meja Peter.
"Temani aku. Aku ingin menemui ibu," mohon lelaki itu.
Satu sekolah sudah tahu, Peter yang sedingin salju. Namun, tidak kepada Maisha. Bahkan, banyak yang mengira mereka berpacaran. Peter benar-benar menyayangi gadis itu. Begitupun Maisha.
"Hey, apakah kalian tidak ada tempat lain untuk bermesraan?" ungkap salah satu temannya yang merasa iri dengan mereka.
"Maisha! Cepat!" ucap teman perempuan Maisha.
Mereka sudah berjanji akan mengerjakan soal matematika bersama. Kebetulan, guru mereka sedang berhalangan hadir.
"Baik. Peter, aku mengerjakan tugas matematika dulu, ya. Kamu sudah selesai? Ish! Dasar otakmu tidak manusi. Tidurlah, nanti aku bangunkan," kata Maisha yang kemudian meninggalkan Peter.
Peter pun kembali sendirian dengan matahari yang masuk untuk mengganggunya. Lalu, dia pun menghalangi sinar yang menyentuhnya itu dengan tas miliknya. Maisha, menatapnya manis laki-laki itu.
Teeeet!!!
Suara bel pulang pun berbunyi. Maisha pun mengemasi barangnya.
Maisha menghampiri Peter. "Peter, bangun! Ayo kita ke makam ibumu," ajak Maisha dengan memukul punggung Peter. Tak kunjung bangun, Mikasa pun menyirami wajah Peter dengan air. "Peter! Bangun! Kamu sudah menjadi duyung!" kelakarnya. Lalu, diikuti dengan tawanya yang terbahak-bahak.
"Duyung!" celetuk Peter saat bangun dari tidur yang tidak begitu panjang.
Namun, Peter memang sedang bermimpi. Dia bermimpi diselamatkan seekor duyung yang memiliki sisik yang hijau gelap. Dia juga melihat dirinya diselamatkan oleh duyung dan dibiarkan tidur di pesisir pantai. Lamunan tentang mimpinya barusan di sadarkan Maisha.
"Peter, apa yang kamu pikirkan? Kamu mimpi buruk?" tanya Maisha dengan panik.
"Tidak ada. Ayo, Maisha! Kita berangkat," jawabnya dengan kepala yang pusing.
Maisha semakin mengkhawatirkan Peter sekarang. Semenjak kepergian ibunya, Peter lebih banyak melamun dan bermimpi buruk. Maka dari itu, Maisha selalu ada untuknya berkeluh kesah. Walaupun, Peter seperti menyembunyikan sesuatu. Dia tidak bisa apa-apa. Setiap manusia memiliki ruang privasi sendiri. Maisha paham itu.
Saat Maisha akan menaiki sepedah Peter, tiba-tiba ibunya menghubunginya. Ibu Maisha mengabarkan adiknya kecelakaan, dan sedang berada di rumah sakit. Ibunya meminta Maisha segera datang.
"Peter, aku minta maaf. Ini sangat mendesak, adikku kecelakaan. Bisakah kamu pergi sendiri?" kata Maisha yang khawatir akan keduanya.
"Kalau begitu, naik! Aku akan ikut denganmu," pintanya yang dengan sigap menunggunya menumpangi sepeda tersebut.
"Tidak, Peter. Aku akan pergi sendiri. Kamu, temuilah ibumu," sarannya. "Aku pergi dulu, ya. Kamu hati-hati," pamitnya Maisha lalu, berlari kencang menunggu taxi datang.
Peter pun tetap akan menemui ibunya. Dia terus mengayuh sepedanya. Dan sampailah di rumah baru ibunya itu. Peter membawa bunga mawar merah untuknya. Dia menyimpan bunga tersebut tepat di atas nisan. Lalu, Peter pun menjelaskan perihal kalungnya yang hilang. Dia meminta maaf sambil menangis. Kelly yang dari tadi sembunyi di belakang pohon, sedikit mengerti dengan yang Peter jelaskan. Beberapa kali mata Kelly tersebut melihat Peter lalu kalungnya. Benar. Kalungnya ada padanya. Hingga pergerakan mulai terdengar oleh Peter. Peter pun menoleh ke belakang dan menemukan gadis tanpa busana itu memegang kalungnya.
Peter melototkan matanya. "Hey, kembalikan itu!" perintah Peter. Namun, Kelly tersebut malah berlari membawa kalungnya. Kelly tersebut merasa terancam. Dia mengira Peter akan membunuhnya.
Peter tidak menyerah mengejarnya. Tidak peduli dengan yang lain. Dia hanya fokus melihat kalungnya itu. Kelly tersebut merasa takut, sampai Kelly pun menendang sepedah milik Peter yang mengenai wajahnya. Dan Peter pun tidak sadarkan diri dengan darah di wajahnya itu.