"Peter? Apa yang terjadi padanya? Apakah dia mengalami kecelakaan? Kejanggalan apa maksudmu?" tanya Hanna yang tampak gelisah dengan kabar tidak baik tersebut.
Beberapa detik Elbar yang terdiam bisu dengan gelengan kepala yang tidak asing bagi Hanna. Hanna tahu, dia sangat gelisah sekali jika sudah seperti itu.
"Hanna, apakah kamu percaya putri duyung?" tanya Elbar kepada Hanna yang sedang mengobati Kelly, Hanna langsung terdiam hera. Tidak hanya Hanna, tapi anak kecil di sampingnya juga sama.
"Itu hanya dongeng, paman. Aku anak kecil saja sudah tahu itu tidak nyata," celetuk Robert yang melanjutkan membersihkan luka Kelly.
"Cih, kamu ini seperti anak kecil saja," balas Hanna lalu memukul pelan lengan Elbar. "Kamu terlalu sering mendengarkan dongeng yang diceritakan anakmu, ya," sambungnya.
"Kamu tahu, Hanna. Anakku suka sekali dengan buku dongeng itu. Tapi, saat aku membawa Peter ke rumah sakit, dia mengalami luka cakar di bagian lehernya," kata Elbar yang menunduk dengan lengan yang memeluk kepalanya. Lalu, mengacak rambutnya kasar.
"Luka cakar? Apakah Peter sudah memberitahumu, luka itu dia dapat dari mana?" Hanna kini menatap Elbar penuh.
"Dia tidak menjawab pertanyaan dari siapapun. Dokter berkata untuk tidak memaksanya bicara terlebih dahulu. Mungkin dia panik dengan apa yang terjadi," ucapnya.
"Kamu sering mendengar dongeng duyung itu, kan?" Hanna kembali menanyakan perihal duyung itu. Sambil menopang dagunya.
Elbar menganggukan kepalanya.
"Apakah duyung itu memiliki cakar? Aku tahu maksud kamu sampai sini. Kamu berspekulasi bahwa, luka leher Peter karena putri duyung," sergah Hanna. Membuat mulut Elbar ternganga.
"Kamu tidak pernah salah, Hanna," ucap Elbar dengan wajah yang menjadi kosong.
"Anakmu mirip sekali denganmu. Selalu ingin tahu tentang putri duyung. Dan selalu bilang bahwa mereka ada," ucapnya dengan penuh penekanan.
"Bagaimana denganmu? Apakah kamu percaya, Hanna?" tanya Elbar dengan mata sayunya.
"Kamu tahu aku, Elbar. Aku akan percaya jika aku melihatnya," balasnya dengan ekspresi yang mengeras. "Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah melihat mereka?" sambungnya.
"Hanya buku dongeng," balasnya dengan nada pasrah.
"Ck, sudahlah, Elbar. Sejak kehilangan istrimu. Kamu jadi gila," celetuk Hanna yang tanpa dia sadari. Elbar langsung berdiam diri dengan muka menegangnya.
Melihat hal itu, Hanna mengumpat diri. Tidak seharusnya dia bilang seperti itu, saat kematian istrinya belum 40 hari.
"A-ah. Aku minta maaf, Elbar," ucapnya dengan perasaan bersalah dan memegang tangan Elbar pelan.
"Kamu benar, Hanna. Sejak istriku meninggal, aku menjadi gila. Anakku, aku selalu mengecewakannya walaupun dalam hal sekecil apapun," Tangis haru mengisi ruang sedang milik Hanna.
Hanya ada suara Elbar yang meraung pilu. Dan Hanna yang mengusap punggung Elbar. Mengisyaratkan bahwa dia harus lebih tabah. Sampai tidak sadar, Hanna yang berusaha menengadahkan wajahnya ke atas langit, agar genangan air mata tidak jatuh. Sayang sekali, Hanna pun gagal menahan tangisnya.
Siapa yang tidak sedih, mereka adalah sahabat paling bahagia. Kini, mereka selalu merasa tawanya adalah dosa. Rasanya, sangat kurang jika hanya berbahagia tanpa Rose-ibu Peter.
"Kenapa orang dewasa sering menangis?" tanya Robert dengan polos. "Aku pikir orang dewasa harus lebih kuat," sambungnya.
"Karena kami hanya anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Robert, orang dewasa tidak sekuat yang kamu pikir. Orang dewasa hanya pandai menyembunyikannya," kata Elbar sambil mengusap gemas Robert.
"Karena orang dewasa juga manusia. Semua manusia maupun makhluk hidup di dunia ini, memiliki emosi. Sedih, bahagia, marah. Itu hal yang wajar, Robert. Bukan berarti orang dewasa tidak boleh melakukan semua itu," kata Hanna yang menjelaskan dengan halus kepada anaknya tersebut.
"Aku pikir, orang dewasa sangat keren. Kalau begitu, aku tidak mau jadi orang dewasa, bu. Aku mau seperti ini saja. Di mana saat aku jatuh dari sepeda, aku akan diberikan permen oleh ibu," ucapnya dengan bibir mengerucut.
"Hahaha. Dasar anak kecil ini," kata Elbar yang tertawa dengan paksa. Jelas dia memikirkan hal lain. Mendengar Robert mengatakan seperti itu, Elbar juga rindu masa kecilnya.
"Ibu juga tidak mau kamu cepat dewasa. Ibu mau selalu tidur denganmu, memelukmu hangat, bersepeda di malam hari, mengantarmu sekolah, dan masih banyak lagi," jelasnya.
"Jika aku dewasa, lalu ibu menjadi tua, apakah ibu tidak akan melakukan itu lagi?" tanya Robert.
"Ibu akan selalu melakukan apa yang Robert sukai," balasnya dengan pelukan erat dan hangat seorang ibu.
"Ibu, apakah ibu akan meninggalkan aku, seperti ibu kak Peter yang meninggalkan kak Peter?" tanyanya lagi. Kini, Robert memasang wajah gelisah. Keningnya mengerut. Dan pelukannya terhadap Hanna semakin erat.
Pertanyaan tersebut, membisukan semua orang di ruangannya. Jerit hati Hanna, siapapun biarkanlah dia melupakan pertanyaanya. Ini jawaban tersulit yang harus dijawab olehnya.
Hingga satu kebohongan Hanna ciptakan untuk Robert.
"Robert, ibu tidak akan mati. Ibu akan selalu bersama Robert. Tuhan tidak akan sejahat itu mengambil ayah kemudian ibu. Kamu percaya sama ibu, 'kan?" tanya Hanna berusaha meyakinkan anaknya itu.
"Aku percaya ibu. Ibu tidak pernah bohong kepadaku," balasnya.
"Benar. Ibu sayang padamu, nak," ucapnya yang mengusap kepala anaknya.
"Aku juga sangat menyayangi ibu," balasnya.
Elbar yang menyaksikan mereka berdua, mengingatkan kembali istri dan anaknya yang seperti itu. Elbar semakin tenggelam dengan kesedihannya jika dia ingat. "Hanna, aku pergi dulu. Aku harus melihat Peter," pamitnya.
Hanna pun mengangguk dengan senyuman bersamaan dengan pelukannya kepada Robert.
Cahaya bintang yang tidak terhitung jumlahnya, membuat kesan indah dan hangat terhadap mereka berdua. Seorang ibu dan anak yang saling memadu cintanya ditemani bintang yang benderang. Bahkan, langit pun mendukungnya.
Namun, tanpa sadar, Kelly yang sedari tadi mendengar percakapan tiga manusia tersebut, perlahan meneteskan air matanya. Tidak. Bagaimana dia mengerti. Kelly tiba-tiba paham maksud mereka. Kelly memang belum mampu dengan bahasanya. Namun, Kelly paham.
"Bagaimana aku paham dengan percakapan mereka? Aku juga paham, mereka sedang membicarakan orang yang sudah meninggal. Kekuatan apa ini? Apakah Poseidon memberiku kekuatan? Ah, tidak mungkin. Alih-alih memberiku kekuatan, aku hanya akan habis tercincang," batinnya.
Kelly berpura-pura tidur saat Hanna memegang dahinya.
"Kenapa, bu? Apakah dia sudah tertidur?" tanya Robert sambil mencuri-curi pandangan.
"Ish, biarkanlah. Takut dia bangun. Robert, berikan selimut untuknya," perintah Hanna.
Dia memandangi Kelly dari atas ke bawah. Matanya dapat membuktikan. Hanna seperti iba dan mulai menyayangi gadis itu.
"Ini, bu," kata Robert sambil melihat Kelly lagi.
"Terima kasih," ucap Hanna. Sambil mau menyelimuti Kelly.
Namun, hal tersebut dipotong oleh Robert. "Aku saja, bu," kata Robert. Anak kecil tersebut kemudian, menyelimuti Kelly dengan lembut. "Kakak ini sangat cantik walaupun tertidur. Apa aku tampan saat tidur, bu?" tanya Robert.
"Kamu sangat tampan. Sampai ibu ingin menggelitikmu," kata Hanna sambil menggelitik anaknya.