Nggak Gy, gue belum beres-beres buat besok ... gue cabut dulu ya?" tolak Raizel seraya berjalan pergi.
"Lo, kalo ada apa-apa langsung kabarin gue, ya," kata Egy.
"Iya ...," sahut Raizel, tanpa menoleh ke arah Egy.
Melihat Raizel yang nampak sudah jauh. Egy menutup pintu, lalu beranjak berjalan naik ke kamarnya.
Kembali ke Raizel, Hanya diterangi oleh lampu yang ada disetiap 10 meter ia berjalan, ditambah suasana sunyi dan malam yang dingin. Raizel menyusuri lintasan tersebut sendiri dengan kepala yang menunduk.
Bersama dengan itu, sekelebat bayangan hitam, putih, ditambah sosok yang berterbangan di udara. Menjadi pemandangannya setiap hari.
Tanpa orang lain tau, hatinya merasa lelah, harus melihat semua itu sendiri sepanjang waktu.
Di saat lima menit lagi, ia hampir sampai divrumah. Ia berhenti, kepalanya mendongak kearah langit. Memandangi banyaknya bintang yang bersinar menemani satu Bulan.
Tidak terasa, wajahnya yang tampan dan bulu matanya yang panjang, sudah basah oleh air mata.
"Lihat ... Bulan bahkan ditemani oleh Bintang.
Setiap Bulan bersinar, pasti selalu ada Bintang yang berada di sisinya.
Dia nggak perlu takut, untuk menghadapi malam sendiri. Di saat hari mulai pagi, Bintang akan pergi.
Lalu sunrise, Matahari pagi mengantikannya beberapa menit untuk menemani Bulan menghilang.
Hingga, hari berikutnya akan seperti itu ....
Beda dengan gue," Raizel kembali menundukan kepalanya. "Gue selalu ngelewatin ini semua sendiri, kenapa gue harus berbeda? Sial! Kenapa gue nggak kaya orang lain?"
Air matanya mulai mengalir deras membasahi pipinya, dan Raizel mengelapnya dengan punggung tangannya.
Ingin sekali Raizel seperti orang lain, tidak perlu melihat hal yang memang tidak harus dilihat. Tidak harus dikekang rasa takut setiap harinya.
Ia berlutut di jalanan yang sepi, hanya ada suara terpaan angin yang menghembuskan setiap helai rambutnya. Bersama mahluk-mahluk gaib sialan yang terus saja berterbangan, bersekebat menyenggol Raizel.
Raizel sudah tidak kuat lagi menahan lelah pada hatinya, ia mulai menangis dalam diam. Air matanya terus saja mengalir, meskipun Raizel seorang laki-laki, bukan berarti ia tidak bisa menangis.
Setiap orang memiliki sisi lemah dan keluhan sendiri, dan di saat rasa lemah itu muncul tidak lagi bisa ditahan dengan rasa tegar, maka hanya air mata yang bisa menjawabnya.
"Cu ... kenapa kamu menangis?"
Tiba-tiba. Suara Kakek-kakek, membuat tangisnya seketika berhenti.
Dengan rasa terkejut, ia bangun dari posisi berlututnya dan berbalik menghadap kearah suara itu berasal.
Kini tepat di depannya. Berdiri seorang kakek tua, berbaju dan berjenggot putih panjang, memakai tongkat. Tengah tersenyum manis padanya.
"Kakek? Kakek siapa?" tanya Raizel.
Namun yang ditanya tidak menjawab, dia justru balik bertanya.
"Cu ... Kenapa kamu menangis?"
"Nggak kenapa-napa, Kek."
"Kakek tau jelas, kalau kamu menangis, kenapa?"
"Nggak kenapa-napa, Kek. Saya hanya merasa menderita," jawab Raizel memalingkan matanya ke samping, menyembunyikan manik matanya yang menahan tangis.
Lalu, kakek itu berkata.
"Cu ... kelebihanmu memang langka, dan kamu ditakdirkan untuk memilikinya.
Jangan sesekali kamu merasa takut, karena sampai kapanpun selama kamu masih hidup. Kamu akan tetap melihat mereka."
Setelah Raizel mendengarnya, matanya membulat, menatap orang tua itu tanpa kedip, pikirnya kenapa Kakek ini bisa tahu apa yang sedang dialaminya?
"Kakek tau apa yang saya alami? Dan, Kakek tau dari mana?" tanya Raizel penasaran.
"Kakek tahu. Jadi, mulai sekarang ....
Lawan rasa takutmu, biasakan dirimu untuk tidak takut setiap kamu melihatnya," pesan kakek tersebut.
Raizel menunduk kembali dengan lemas, mencoba meresapi apa yang kakek itu bicarakan.
"Kamu harus percaya, dirimu lebih kuat dari rasa takut yang menyiksamu."
Raizel mulai mengangkat kepalanya.
"Tapi kek ... gimana caranya?"
Namun. Kakek itu sudah menghilang.
Ia mencari dan memanggil sosok orang tua itu, tapi. Tidak bisa menemukannya.
Raizel terdiam, mencoba untuk berfikir apakah yang ia lihat hanyalah sebatas imajinasi, atau memang nyata?
Entahlah, mau itu nyata atau bukan. Raizel rasa Kakek itu baik, ia menasehati dan memberinya semangat.
Dia sedikit lebih tenang setelah bertemu dengan sosok Kakek itu.
Raizel berjalan, meneruskan tujuannya untuk pulang. Meskipun masih banyak yang berseliweran di samping, di depan, atas, dan belakangnya, tidak tahu mengapa.
Tapi kini ia merasa tidak terlalu takut.
Walaupun masih seperti biasa, Raizel harus berusaha, untuk berpura-pura tidak melihat mereka semua.
Beberapa saat, ia sampai di rumah.
Sarah dan David—Orang tua Raizel tentu saja sudah tidur, jadi yang membukakan pintu, adalah asisten rumah mereka, Isum.
"Den ... larut sekali pulangnya? tanya Isum.
"Iya, Bi," jawabnya, sambil berjalan masuk dan melewati Isum yang berada di samping pintu.
Isum menyadari jaket bagian tangan dan bahu, juga bulu mata Raizel yang basah, ditambah mata Raizel yang sedikit sembab. Sudah pasti Isum tahu Raizel menangis.
Lalu Isum sedikit berjalan cepat mengikuti Raizel yang akan naik ke kamarnya.
"Den ... Aden nangis ya? Kenapa?" Tanyanya dengan pancaran wajah sedih.
Raizel membalik tubuhnya, menghadap Isum yang lebih pendek darinya.
Ya. Isum, selain menjadi asisten rumah tangga mereka, dia juga adalah pengasuh Raizel dari kecil.
Raizel sendiri. Juga sudah menganggap Isum sebagai Ibu kedua dari ibu kandungnya Sarah, Isum tau. Jika ia menangis, pasti akan menghapus airmatanya dengan baju dibagian bahu atau lengan.
Sudah menjadi kebiasaan, dan tidak mungkin Raizel menjawab tidak, karena pasti Isum akan tahu ia berbohong.
"Iya, Bi. Tapi tolong, jangan bilang sama Bunnda dan Ayah, ya," ucap Raizel memohon.
"Iya, Den ...."
Isum yang lebih pendek dari Raizel, berusaha mengelus pundaknya.
Ia tersenyum karena Raizel, berkata jujur.
Sarah dan David, sering meninggalkan Raizel di rumah, mereka meninggalkannya bukan untuk hal yang tidak penting, tapi mereka bekerja siang dan malam. Raizel tidak menyalahkan mereka, justru ia bersyukur.
Setiap pulang kerja, yang pertama dicari dan ditanyakan oleh Sarah dan David adalah anaknya, Raizel.
Karena hal itu juga, jika Raizel menangis saat kecil, Yang sering menghiburnya dan menenangkannya adalah Isum.
Isum juga mempunyai anak laki-laki, ia seumuran dengan Raizel. Karena itu juga saat Isum jauh dari anaknya di kampung, ia menganggap Raizel seperti putranya.
Sarah dan David, tentu tidak keberatan dengan itu, mereka justru menjadi tenang jika tidak di rumah. Karena percaya, Isum bisa menjaga Raizel dengan baik.
"Bi ....
Aku masuk dulu ya" pamit Raizel.
"Iya, Den."
Raizel berjalan menaiki tangga ke kamar. Saat sudah di kamar, ia bantingkan tubuhnya ke kasur springbadnya dengan posisi terlentang.
Dia memikirkan perkataan Kakek tadi yang ia temui. Karena dia, Raizel mulai merasa sedikit bisa menghiraukan rasa takutnya.
Tubuhnya lemas karena kelelahan. Dan tanpa ia sadari, dia mulai terlelap dalam mimpi.