"Di mana?" tanya Vano yang tidak menemukan tato apapun di tangan Raizel.
"Di sini" jawab Egy, mengusap bawah kening di antara kedua alisnya.
"Ohh ... ini, gue juga nggak tau kena apa. Biarin aja lah, asal nggak sakit" jawab Raizel simpel.
"Kok gue tadi nggak sadar ya lo ada tato?" ujar Vano.
"Udah udah, duduk yang bener"
dalih Raizel.
Mereka, kembali duduk dengan benar di kursi masing-masing.
Raizel terfokuskan pada pemandangan di luar kaca bus, yang ada tepat di sebelah kirinya.
Seketika. Raizel teringat oleh sosok Kakek berjanggut dan berbaju putih, ia hanya berasumsi.
Kemungkinan setelah bertemu dengannya, muncul tanda aneh ini, juga ia mengingat kedua orangtuanya dan Isum.
Raizel sedikit merindukan mereka.
Ia harap, dia akan cepat menyelesaikan urusan ini dan kembali bertemu mereka semua.
Ac yang sejuk, dan hanya mendengar suara mesin bus melaju.
Raizel melirik semua temannya yang telah tidur, termasuk Vano, ia memutuskan untuk ikut terlelap juga.
Nyaman, dia tertidur sangat lama.
Mungkin ada beberapa jam, hingga sampai kondektur bus'pun membangunkan Egy.
Tanpa disengaja, suara kondektur bus itu juga membuat Raizel terbangun.
"Mas ... Mas ... udah sampe" ucapnya.
"Udah ya, Pak?" Egy terbangun dengan lesu.
"Iya Mas, udah sampe" jawabnya mengulangi kata.
Mereka bergegas turun dari bus, setelah berada di luar, Egy bertanya kepada kondektur tersebut.
"Pak, kalo mau ke alamat desa 'Bagaharuni' ini, naik bus apa lagi ya?"
Ternyata desa tempat ayah Egy tinggal adalah desa Bagaharuni.
"Oh, kalian mau kesana?" jawab kondektur bus dengan ramah.
"Nanti kalian naik bus Efensi, yang warnanya kuning tapi ini baru jam 1 siang, bus itu ada sekitar jam empat sore?" lanjutnya dengan sedikit kasian.
"Haaa! Jam empat sore?!" Sontak merekapun berseru.
"Iya ...." jawab kondektur bus.
"Ya udah, Pak, makasih yah tapi, emang nggak bisa naik bus lain, Pak? Selain bus Efensi?" tanya Egy.
"Nggak ada, Mas. Cuma Bus itu yang jurusannya sampe desa Bagaharuni" jawabnya.
"Ya udah kalo gitu, makasih ya, Pak" balas Egy.
"Iya, sama-sama" Sambil tersenyum, ia masuk ke dalam bus dan menutup pintunya.
Kini Raizel dan teman-temannya yang kebingungan harus apa, duduk di bangku halte. Kebetulan, di situ disediakan bangku yang terbuat dari kayu, lumayan lebar dan panjang.
Hingga mereka semua bisa duduk.
"Gimana nih ... kita ngapain sekarang?" tanya Diva.
"Iya. Gue laper, lagi" imbuh Cindy.
"Ya, udah. Kita beli makan dulu" usul Vano.
Saat mereka akan pergi dari halte, untuk mencari tempat makan.
Dengan tidak sengaja Cindy melihat, sedikit agak jauh dari halte ada seorang bapak-bapak yang mungkin umurnya sudah 35 tahunan, diam di bangku kecil tengah berjualan es dawet.
Nampak, wajahnya yang pucat di bawah teriknya Matahari sepertinya dagangannya sepi. Banyak orang yang lewat di depannya, namun tidak ada satupun yang menoleh ke arah bapak itu.
"Eh! Tunggu" seru Cindy menahan teman-temannya.
"Apa lagi?" tanya Vano.
"Kita beli dawet aja yuk, lihat .... Kasian Bapak itu, kayaknya dagangannya belum laku" usul Cindy menujuk kearah penjual es dawet.
Sontak, mereka semua menoleh kearah yang ditunjukan Cindy dan melihat penjual dawet yang sedang kepanasan.
"Iya yah, ayo. Lagian kayaknya enak dan seger makan es dawet panas-panas" imbuh Diva.
Mereka semua setuju, untuk membeli dawet sebagai pengisi perut.
"Pak! Sini!" seru Cindy melambaikan tangan kanannya.
Penjual dawet itupun menoleh.
"Sini-sini, Pak, beli!" imbuh Caca, berteriak.
Dengan cepat bapak itu bangun dari bangku kecilnya, kemudian memikul jualannya menghampiri keenam remaja itu.
"Kenapa nggak kita aja yang nyamperin? Kasian bapak itu" kata Egy.
Raizel hanya diam memandangi penjual dawet yang perlahan menghampiri ke tempat mereka.
"Justru karena kasian, di sana panas. Jadi biar dia ke sini ikut neduh sama kita" jawab Cindy.
"Oooohh" Raizel, Vano, dan Egy mengangguk tanda mengerti.
Tidak lama, penjual dawet pun sampai. Ia meletakan jualannya, di sisi halte. Berada di balik bayang-bayang halte, di situ ia bisa berteduh.
Dari teriknya panas mentari siang, sehingga ia bisa sedikit merasa sejuk.
"Waah, siilahkan. Neng, Den ...," kata penjual Dawet, wajahnya penuh dengan keringat. Bajunya yang lusuh, basah karena keringatnya.
"Pak, berapaan?" tanya Raizel.
"7000 aja, Den" ucapnya seraya duduk kembali di kursi kecilnya, membuka setiap tutup wadah yang ia bawa.
'Seperti itu pasti sangat berat' Raizel bergumam di dalam hatinya.
"Mau enam gelas ya, Pak" ucap Diva.
"Siap neng, tunggu ya bapak siapkan" jawabnya.
Keenam remaja itu, menunggu bapak penjual dawet dengan sabar, memperhatikan setiap ia mengambil dawet, santan, gula, es batu dan memasukannya ke dalam gelas satu persatu.
Dan akhirnya ia selesai, lalu memberikannya kepada mereka.
Dengan cepat mereka meminum es dawet itu dan rasanya enak, manis, dingin, dan segar.
"Aden, dan Neng kayaknya anak kota, ya?" tanya bapak penjual dawet sambil mengelap keringat di pelipis dan lehernya menggunakan handuk kecil.
"Iya, Pak. Bapak namanya siapa?" jawab Raizel sekalian bertanya.
"Nama bapak, Saleh. Aden dan Neng bisa manggil saya Pak Saleh" jelasnya.
"Oh iya pak Saleh, dawetnya enak banget pak. Di kota kami jarang banget ada yang kaya gini, sekali ada mahal 15000an" imbuh Caca.
"Oh ya? Alhamdulilah Neng, kalo enak. Dari pagi bapak jualan belum ada yang beli, baru Aden dan Neng yang beli" ungkapnya.
'Dawetnya enak seperti ini, kenapa tidak ada yang beli?' batin Raizel.
"Padahal enak dawet bapak" ucap Caca.
"Iya alhamdulilah Neng, namanya rezeki memang kadang nggak diduga-duga" ucapnya bersyukur dan tersenyum ramah.
Sambil menghabiskan es dawet, dan seraya menunggu bus tujuan datang. Raizel dan teman-temannya menghabiskan waktu mengobrol bersama penjual dawet yang bernama Saleh.
Bertanya macam-macam hal, bercanda. Seketika mereka merasa nyaman berbincang bersamanya.
Saleh mengatakan, mempunyai anak gadis bernama Winda dan Nita yang berusia 18 dan 19 tahun.
Ia harus berkerja keras di kota itu, untuk terus menafkahi istri dan anak-anaknya, kedua anak gadisnya juga tidak melanjutkan sekolah, karena tidak ada biaya. Jadi mereka membantunya mencari uang.
Winda bisa menjahit sedangkan Nita mengurus Rumah. Mereka saling membantu dalam berbagai hal. Kadang Winda juga membantu Nita mengerjakan tugas rumah meringankan Ibunya.
"Lalu, Aden dan Neng. Mau kemana?" tanya Saleh.
"Kami mau Ke desa Bagaharuni, Pak" jawab Egy.
"Bagaharuni? Itu desa bapak" jawabnya dengan mata yang membulat senang.
Mereka pun terkejut mendengar penyataan Pak Saleh, sungguh begitu kebetulan.
"Bapak kapan mau pulang?" Tanya Egy.
"Bapak nggak tau kapan pulangnya, kayaknya 1 bulan lagi. Soalnya bapak harus ngumpulin uang buat ongkos dan buat istri" jawabnya sedih.