Malam yang singkat sudah berlalu, sinar matahari mulai menyilaukan mata.
Raizel mulai menyadari bahwa hari sudah pagi, secara cepat ia teringat akan janjinya bersama teman-temannya, untuk saling berkumpul di depan halte bus.
Tanpa pikir panjang, Raizel beranjak dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.
Selesai mandi, ia bercermin untuk memakai crem wajah dan sunblok. Namun, yang begitu mengejutkannya ada titik kecil berwarna biru kristal yang terletak di antara kedua alisnya.
Ukurannya kecil, seperti tahi lalat. Sebenarnya tidak terlalu kecil, bila ada orang yang melihat wajahnya, maka ia pasti akan melihat tanda titik itu.
Raizel, mencoba menghilangkannya dengan berusaha menggosok kasar.
Namun, titik itu tidak hilang.
Karena tidak ada waktu untuk mengurusi hal kecil seperti itu, ia langsung berkemas, memasukan beberapa pakaian, sabun, cream wajah, sunblok, lotion, dan parfum kedalam tasnya.
Raizel memang laki-laki, tapi remaja pria seumuran mereka juga memakai skincare untuk tetap menjaga kulit. Ya. Walau sedikit lebih baik dari pada tidak, bahkan tidak ada seperempatnya skincare milik Diva, Caca dan Cindy.
Ia berpakaian bersiap secepat mungkin. Jam menunjukan pukul 08.37, apakah ia akan sempat atau tidak, mungkin Raizel akan terlambat.
Setelah semuanya siap, dia meraih tasnya dan berlari menuruni tangga untuk menemui orang tuanya.
"Ayah ... Bunda, aku berangkat dulu ya" pamit Raizel.
"Nak, uang sakunya udah ayah tranfer ke rekening kamu ya" kata David.
"Iya, Ayah, makasih."
Lalu, Raizel meminum setengah jus jambu milik Sarah, yang ada di meja makan.
"Pelan-pelan, Nak, buru-buru banget." ucap Sarah.
"Bun ... aku harus cepet-cepet! Temenku pasti udah pada nunggu" keluhnya.
"Ayo, Ayah sama Bunda anterin" tawar David.
Tentu Raizel menerimanya, dari pada harus menunggu taksi, mungkin itu akan bertambah lama.
David dan Sarah pergi berjalan menuju garasi, mendahului Raizel.
Saat itu Sarah dan David, akan pergi bekerja. Ya, mereka memang sekertaris dalam suatu perusahaan ternama.
Sembari menunggu ayahnya mengeluarkan mobil dari garasi,
Raizel masih diam duduk di ruang makan, ia berniat menghabiskan jus jambu milik Sarah, yang tadi sudah diminum setengah olehnya.
Tiba-tiba, satu tangan menyentuh pundak Raizel. Lumayan mengagetkan, dengan cepat ia menoleh ke arah tangan itu. Dan ternyata itu Isum.
"Bi ...," ucapnya heran, karena Isum menangis.
"Den ... Aden yakin mau pergi?" tanya Isum sambil menangis.
"Bibi tadi pagi nggak sengaja denger nyonya dan tuan ngobrol, kalo Aden mau pergi ke luar kota," jelasnya.
"Iya, Bi, aku bakal pergi dulu. Nanti aku juga pulang lagi" jawab Raizel, mencoba menenangkan Isum.
Lalu, Isum memeluk Raizel. Ia berkata sangat khawatir dan pasti akan merindukannya.
Ia memintanya untuk tidak terlalu lama berada di luar kota, dan tentu Raizel mengiyakan. Akan tetapi, dia masih saja menangis.
"Den, boleh Bibi cium kening Aden?" pintanya dengan penuh harap.
"Boleh, Bi" jawab Raizel tersenyum.
Kemudian. Raizel sedikit membungkuk.
Isum dengan kedua tangannya meraih kepala Raizel, lalu mencium keningnya.
Rasanya sama seperti Raizel kecil, menghangatkan hati.
"Terimakasih, Den. Cepet pulang ya" pesannya.
"Iya, Bi. Pasti, tolong titip ayah dan bunda ya, Bi.
Bibi juga jangan lupa jaga diri" balas Raizel berpesan.
"Pasti, Den."
Setelah itu. Klakson mobil terdengar dari luar halaman depan, orang tua Raizel memberikan isyarat bahwa sudah waktunya untuk berangkat.
Raizel berpamitan kepada Isum, dan ia tersenyum dengan air matanya yang terus saja keluar. Isum tidak rela bahwa Raizel pergi, bersama ransel di belakang tubuhnya, dia melambaikan tangan kepada Isum sambil berjalan keluar.
Secepat mungkin Raizel masuk kedalam mobil, dan duduk di kursi penumpang. Di belakang Ayah dan Bundanya.
Mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah Raizel.
"Habis pamitan sama Bi Isum ya?" tanya Sarah, sedikit menolehkan kepalanya pada Raizel.
"Iya, Bun."
"Iya, Bi Isum juga pasti sedih banget, buat pertama kalinya ngeliat kamu pergi jauh" tutur David.
"Bunda juga sedih banget tau. Ditinggal kamu, jangan lama-lama ya" imbuh Sarah.
"Iya, Bun. Nanti aku pasti bakal sering-sering telfon kok" jawab Raizel.
"Ini mau dianter kemana?" tanya David.
"Halte bus, depan toko buku. Yah."
"Ooh deket."
**********
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya sampai. Di sana sudah berkumpul semua teman-temannya, dengan wajah lega karena Raizel telah sampai.
Juga. Ransel besar, di masing-masing punggung mereka.
Di depan bus yang berhenti, terlihat satu orang kondektur bus menunggu di sana.
"Loh ... katanya cuma sama Egy, kok rame-rame?" tanya Sarah. Matanya melihat kumpulan teman-teman Raizel dari dalam mobil.
"Iya, Bun. Berubah rencana." ujarnya sambil membuka pintu mobil dan keluar.
Sarah membuka kaca mobil.
"Rai, inget hati-hati dan jaga diri baik-baik, sering-sering telfon ya" pesan Sarah.
"Iya, Bun" jawab Raizel tersenyum.
"Aku pamit ya, Bun, Ayah ...."
"Iya." Dengan tersenyum mereka menjawab satu kata.
Raizel langsung berlari menghampiri teman-temannya dan masuk ke dalam bus.
Saat sudah melihat anaknya masuk ke dalam bus, David kembali melajukan mobilnya menuju kantor seperti biasa bersama Sarah.
"Ayah, tadi itu di bawah kening Rai apa ya?" tanya Sarah menoleh kearah suaminya yang fokus menyetir.
"Yang di antara kedua alisnya itu?" jawab David, balik bertanya.
"Iya, Yah yang warna biru, biru biru muda bening itu" jelas Sarah sedikit bingung untuk menjelaskan.
"Nggak tau bun, tapi cocok ya sama Rai. Mungkin tato remaja zaman sekarang."
"Bisa jadi ya, Yah."
Di dalam bus. Raizel duduk bersampingan dengan Vano.
Caca dengan Egy, dan Cindy dengan Diva.
Bus pun berjalan, Raizel berharap semoga perjalanan ini akan lancar, dan membuahkan hasil.
"Rai. Gila lo, kita pikir tadi lo nggak akan dateng," ucap Vano yang duduk di sebelahnya.
"Sorry, gue tadi bangunnya telat."
"Tapi lo sempet mandi nggak?" tanya Vano lagi sedikit tersenyum ejek.
"Mandi lah! Ngaco nggak mandi" seru Raizel, dan Vano pun tertawa.
Tidak lama setelah mereka mengobrol datang seorang kondektur berseragam khusus, menghampiri Egy untuk menarik pembayaran, dan Egy membayarnya dengan uang skitar 350 ribu.
'Hah! Mahal banget ongkos bus satu orang 350 ribu, ngelebihin ongkos taksi' batin Raizel terheran.
Lalu, setelah kondektur itu memberikan kertas tanda pembayaran pada Egy, ia pergi begitu saja melewatinya dan Vano.
Karena Raizel dan Vano penasaran, mereka memutuskan untuk bertanya langsung pada Egy yang duduk di kursi sebrang, tepat di samping mereka berdua duduk.
"Gy. Kok kita nggak disuruh bayar?" tanya Vano.
"Hehe ... tenang, ongkos berangkat gue yang bayar" jawabnya tersenyum percaya diri.
Namun, Egy tercengang melihat tanda biru di antara alis Raizel.
"Eh ... Rai, sejak kapan lo punya tato?" tanya Egy menatapnya.
Karena itu juga, Vano, Diva, Cindy, Caca, menoleh kearah wajah Raizel dari tempat duduk mereka.