Adalyn tidak ingat apa pun, terakhir kali yang ingat hanya dirinya di kepung dan setelahnya hanya gelap. Sekarang tiba-tiba saja dirinya terbangun di sebuah ruangan yang cukup luas, apalagi kasur yang di duduki sangat empuk dan lembut, membuatnya enggan untuk bangkit dari sana. Namun, ia tetap harus mencari tahu di mana sekarang dirinya berada dan lagi, alasan kenapa dirinya memakai pakaian yang tidak pernah ia pakai sebelumnya.
Sebuah dress putih dengan belahan dada yang rendah dan memiliki panjang hanya sebatas paha. Adalyn tidak ingat kapan terakhir kali ia memakai pakaian wanita, mungkin ketika ia masih kecil saat masih tinggal bersama kedua orangtuanya.
Adalyn akhirnya bangkit dari tempat yang memuatnya terlena, ia berjalan ke seluruh penjuru ruangan itu. Ia yakin kalau ia sedang berada di dalam sebuah kamar, atau kamar hotel.
Adalyn masuk ke kamar mandi dengan sikap waspada, perlahan ia membuka pintu dan yang ia temukan adalah bayangan dirinya di hadapan cermin. Adalyn terkesiap begitu melihat penampilan barunya yang menurutnya sangat feminim.
Adalyn masuk, ia malah mematut diri di hadapan cermin seolah sedang memastikan kalau yang ada di depan cermin adalah dirinya sendiri.
Aku…bisa secantik ini? Pakaian ini membuatku tampak cantik. Cantik seperti mommy dan bibi Marie. Pikir Adalyn.
Merasa sudah puas memuji penampilan barunya, Adalyn keluar dari kamar mandi untuk kembali menjelajah penjuru ruangan itu. Langkahnya berhenti tepat di depan jendela yang cukup besar. Adalyn membuka sedikit gordennya dan betapa terkesannya ia melihat pemandangan kota New York dari atas ketinggian.
Di mana aku?. Adalyn bertanya pada dirinya sendiri.
Adalyn terlena, kedua matanya bahkan berbinar melihat keindahan kota New York dari atas ketinggian. Lampu-lampu di bawah sana begitu memanjakan mata Adalyn yang hanya biasanya hanya memandangi padang ilalang atau tanah tandus bekas peternakan. Setiap malam yang bisa ia lihat keindahannya hanyalah bintang-bintang yang bertabur di atas langit. Hanya sebatas itu.
Adalyn menempelkan telapak tangannya pada kaca jendela, seolah ia sangat ingin menyentuh lampu-lampu indah itu dengan tangannya sendiri.
Terbuai dengan keindahan yang baru dilihatnya, Adalyn sampai tidak menyadari kalau ada seseorang yang sudah berdiri di belakangnya. Seorang pria tampan dengan tatapan dan seringai iblisnya.
"Keindahan di bawah sana tidak bisa mengalahkan keindahan tubuhmu, Holy Girl," ucap pria itu dengan suara berat dan dalam.
Adalyn terkejut, ia mendapatkan kembali kesadarannya. Saat itu ia melihat bayangan pria di belakangnya dari pantulan kaca jendela. Sontak saja ia berbalik dengan sikap waspada.
Si-siapa dia?. Adalyn takut.
Tentu saja Adalyn takut, pria di hadapannya tengah membuka tuxedo mahal yang melekat di tubuhnya yang atletis. Pria itu juga menatap Adalyn bagaikan predator yang siap menerkam mangsanya.
Adalyn menelan ludah, tubuhnya bergetar melihat pria itu mendekat ke arahnya. Tidak bisa dipungkiri meski dirinya pandai bertarung, tapi ia juga masih memiliki sisi penakutnya.
Adalyn mundur saat pria itu mendekatinya, karena tidak memiliki ruang yang cukup luas, punggung Adalyn akhirnya menyentuh kaca jendela.
Adalyan panik, dia tidak bisa untuk menghindar lagi saat pria itu semakin dekat dengannya. Sisi kirinya hanya dinding dan hanya sisi kanannyalah yang memungkinkan dirinya untuk lari dan itu benar-benar digunakan oleh Adalyn.
Saat pria itu satu langkah lagi di hadapannya, Adalyn berlari ke sisi kanan, meski tangannya hampir dicekal, tapi Adalyn berhasil menghempaskannya hingga terlepas.
Adalyn berlari menuju pintu, ia mencoba memutar knopnya yang sulit untuk dibuka sambil sesekali menoleh ke belakang.
"Kau tidak akan bisa lari, Holy Girl," ucap pria itu dengan seringai iblis yang terus ia pamerkan, sambil berjalan mendekati Adalyn yang mulai ketakutan.
Apa yang ingin dia lakukan padaku? A-apakah dia akan memperkosaku?. Pikiran Adalyn bertambah panik.
Adalyn terus bekerja keras agar pintunya terbuka. Menarik, mendorong sampai memukulnya, tapi pintu itu tidak bergerak sama sekali, apalagi pria itu sudah semakin dekat dengannya.
Aku mohon terbukalah. Apakah tidak ada orang di luar sana. Paniknya.
"Kena kau, Holy Girl!"
Adalyn terkejut begitu sebuah tangan kekar mengukungnya, perlahan ia menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan wajah pria itu sedang menghirup aroma di lehernya.
"Tubuhmu mungil sekali, Holy Girl. Aku sampai harus menunduk jika ingin menciummu," bisik pria itu membuat tubuh Adalyn menjadi kaku.
'A-apa yang ingin kau lakukan padaku, Tu-tuan?' Adalyn menggerakan tangan dan bibirnya meski terkesan kaku.
Pria itu tertegun, dahinya berkerut samar begitu melihat ada yang berbeda dari gadis di hadapannya. Ia menarik tangan serta tubuhnya dari Adalyn lalu mundur sedikit untuk memberikan jarak antara dirinya dan Adalyn.
"Memutarlah," titahnya.
Adalyn memutar tubuhnya perlahan, gadis itu tetap merapatkan tubuhnya pada daun pintu.
"Kau tidak bisa bicara?" tanya pria itu.
Adalyn mengangguk.
Sudut bibir pria itu tertarik. "Astaga. Pantas saja sejak tadi aku tidak mendengar suaramu," dia tertawa, tawa yang membuat Adalyn semakin takut. "Hey, jangan takut Holy Girl. Aku tidak akan menyakitimu, justru aku akan memberikanmu kenikmatan."
Meski Adalyn tinggal di desa dan hanya Troylah satu-satunya teman prianya, tapi Adalyn tahu apa maksud perkataan pria itu.
'Jangan. Saya mohon, Tuan.' Adalyn menggerakan tangannya kembali.
"Aku tidak mengerti bahasa isyaratmu, Holy Girl. Karena aku tidak peduli," ucapnya dengan suara rendah. Detik selanjutnya ia sudah menarik tangan Adalyn, menyeretnya menuju ranjang.
Adalyn memberontak, tapi entah kenapa tubuhnya seolah tidak memiliki daya untuk melawan, alhasil dengan mudahnya ia digiring ke atas ranjang, bahkan pria itu mendorong tubuhnya ke atas sana.
Adalyn beringsut mundur begitu melihat pria itu membuka resleting celananya, tapi pria itu berhasil menarik kaki Adalyn.
"Tidak akan sakit, Holy Girl. Justru ini akan terasa nikmat," bisiknya.
Pria itu memegang kedua tangan Adalyn dengan sebelah tangannya lalu menguncinya di atas kepala Adalyn, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk merobek dress yang dipakai Adalyn. Adalyn memberontak keras saat bagian depan dressnya sudah robek, apalagi dadanya terpampang jelas.
"Oh, ini sangat menggoda. Ranum dan masih polos," bisik pria itu seraya meletakkan tangannya di atas gumpalan daging yang menggoda itu.
Adalyn menggigit bibirnya saat tangan pria itu meremas payudaranya secara bergantian. Kasar dan brutal, itulah yang dirasakan Adalyn sampai ia merasakan asetnya terasa sakit dan perih.
Terlalu panik kadang itulah kelemahan Adalyn sampai-sampai ia tidak bisa memutar otak untuk bisa melepaskan diri dan seolah terlihat pasrah. Namun, kadang ada kalanya ketakutan yang dirasakan Adalyn bisa memicu keberaniannya, seperti yang baru saja terjadi.
Adalyn menggunakan kakinya untuk menendang area sensitif pria itu hingga pria itu tersungkur ke atasnya, beruntungnya Adalyn segera menggulingkan diri hingga pria itu tidak benar-benar menindih tubuhnya.
Adalyn bangkit, ia hendak berlari menjauh, tapi pria itu berhasil mencekal lengannya.
"Apa yang kau lakukan, sialan!" teriaknya dengan marah.
Adalyn memelintir tangan pria itu lalu menguncinya, membuat pria itu kesakitan. Namun, ternyata pria itu tidak gampang menyerah, dia kembali melakukan perlawana dan berakhir pada kekalahannya.
Pria itu tergeletak di lantai dengan luka lebam di wajah, perut dan area sensitifnya yang masih terasa sakit.
Adalyn merasa cukup lega bisa berhasil lolos dari pria itu, sekarang yang sedang ia pikirkan adalah caranya keluar dari kamar itu.
Adalyn mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang bisa menutupi dadanya yang terlihat, pandangannya menemukan jas pria itu yang berada di atas sebuah sofa. Bergegas Adalyn berlari mengambilnya kemudian memakainya.
"Kau akan terima akibatnya, Holy Girl!" umpat pria itu, tapi Adalyn tidak mempedulikannya.
Adalyn berlari hendak menuju pintu, tapi ia berhenti tepat di hadapan pria itu. Adalyn menatap iba pada pria yang sudah ia lukai, tapi ia tidak merasa bersalah meski telah melakukan itu.
"Apa?! Setelah kau menyakitiku kau malah menatapku dengan kasihan?! Dasar kau sialan! Kau akan terima akibatnya," pria itu terus mengumpat.
Adalyn berbalik meninggalkan pria itu, seketika langkahnya terhenti dan tubuhnya mendadak kaku begitu mendengar pria itu menyebutkan sebuah nama.
"Gregori! Cepat masuk!" teriak pria itu pada ponselnya.
Adalyn membalikan tubuhnya dan melihat pria itu sedang menghubungi seseorang.
"Kau tidak akan bisa lari lagi, Holy Girl," desis pria itu dibarengi dengan pintu kamarnya yang terbuka dan muncullah pria-pria berbadan kekar. Namun ada yang menarik perhatian Adalyn di antara pria itu. Ia adalah seorang pria berbadan kekar yang bernama Gregori.