Berjalan di dalam kegelapan dengan Harold yang memeluk pinggangnya, Adalyn rasa tidak cukup untuk membuatnya lebih berani. Nyalinya tetap saja menciut saat akan melangkah memasuki kegelapan.
Adalyn melepaskan tangan Harold dari pinggangnya, kemudian ia memeluk lengan Harold begitu erat, hingga Harold dapat merasakan detak jantung Adalyn dengan sangat jelas.
Harold selalu menyunggingkan senyum tipis sambil sesekali melirik Adalyn di dalam kegelapan. Menurutnya Adalyn gadis super unik yang baru ia temui, petarung hebat yang takut akan hantu.
Harold membawa Adalyn lebih jauh memasuki perpustakaan, melewati rak-rak yang tersusun rapi. Tak jauh dari hadapan mereka, ada sebuah cahaya yang cukup untuk menerangi satu meja, dan di sanalah akhir dari langkah mereka.
Harold mendudukkan Adalyn di kursi di depan cahaya tersebut dengan dirinya yang mengambil duduk di samping Adalyn.
'Anda selalu berada di dalam kegelapan ini, Tuan?'
Adalyn bertanya menggunakan bahasanya dan tidak lagi menggunakan ponselnya.
Harold mengangguk, pria itu menarik kursinya lebih dekat dengan Adalyn. "Aku lebih suka seperti ini. Membuatku bisa lebih fokus."
'Anda tidak takut kalau ada hantu yang mengawasi Anda?'
Harold tertawa seraya menyentuh anak rambut Adalyn kemudian diselipkannya di belakang telinga gadis itu. "Tidak ada hantu, Adalyn. Aku lebih takut pada manusia, mereka lebih menakutkan daripada hantu dan iblis."
Adalyn memandangi Harold dengan dahi berkerut samar. Melihat hal itu, Harold terkekeh pelan seraya mengusap kerutan di dahi Adalyn.
"Sudahlah jangan dipikirkan. Sekarang kita mulai sesi belajarnya," lanjutnya.
Harold mengajari Adalyn apa pun yang ingin gadis itu pelajari, dengan sabar dan telaten Harold memberikan pengertian pada gadis itu hingga pandai.
Adalyn merasa kepalanya sudah lelah dan ingin istirahat sejenak dari segela pelajaran yang ia dapatkan. Adalyn meletakan kepalanya di atas meja dengan menghadap Harold.
Harold terkekeh melihat Adalyn. "Kamu lelah, Adalyn?"
Adalyn mengangguk disusul dengan bibirnya yang terbuka karena menguap.
"Kamu mengantuk?"
Adalyn mengangkat sebelah tangannya memberikan sebuah isyarat pada Harold.
'Sedikit.'
Harold ikut menaruh kepalanya di atas meja, ia menghadap Adalyn. Keduanya saling berhadapan dengan tatapan yang bertaut namun dengan pancaran yang berbeda. Adalyn dengan tatapan polosnya sedangkan Harold dengan sesuatu yang ia sembunyikan di balik matanya.
"Adalyn," panggil Harold dengan suara pelan. "Siapa itu Troy?"
Adalyn mengangkat kepalanya, begitu pula dengan Harold.
'Dia temanku sejak kecil, Tuan. Aku dibesarkan bersamanya oleh paman Joy dan bibi Maria.'
"Dia yang mengajarimu caranya bertarung?"
Adalyn mengangguk.
'Aku tidak bisa bertarung dengan gaya bertarung paman Joy. Troy mantan petarung jalanan, dia sama sepertiku. Dia berhenti dan lebih memilih untuk mengajariku caranya bertarung. Aku cocok dengan gaya bertarungnya.'
"Ke mana dia sekarang?"
Adalyn terdiam sejenak.
'Pergi ke Mexico.'
"Kenapa kalian berpisah?"
'Bibi Maria ingin hidup di sana bersama keluarganya.'
"Kamu merindukannya?"
'Iya, Tuan. Aku merindukannya.'
Harold menyentuh kepala Adalyn, memberikan usapan pelan di sana. "Maafkan aku karena membuang ponselmu."
Adalyn mengulas senyum.
'Tidak apa-apa, Tuan.'
Harold menarik tangannya dari kepala Adalyn. "Kamu ingin belajar yang lain?"
'Apa itu?'
Harold meletakkan kertas origami ke atas meja. "Melatih kemampuan otakmu."
Adalyn mengangguk antusias. Mereka berdua menghabiskan waktu yang lebih lama dari sesi belajar sebelumnya.
Canda dan tawa mengiringi sesi belajar seni yang Harold katakan, tatkala saat Adalyn selalu salah saat membuat origaminya sendiri.
Adalyn menghentikan tawanya, ia juga menghentikan tangannya yang melipat kertas, saat Adalyn merasakan ada sesuatu atau mungkin seseorang yang sedang berdiri di dalam kegelapan di hadapannya.
Adalyn terus memandangi ke arah kegelapan di hadapannya, bulu romanya seketika berdiri saat mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat namun tidak ada wujudnya.
Adalyn melempar kertas di tangannya, ia memeluk lengan Harold cukup kuat.
"Ada apa, Adalyn?" Harold bingung dengan sikap Adalyn yang terlihat ketakutan.
Adalyn menunjuk ke arah kegelapan di hadapan mereka tanpa berani membuka matanya.
"Ada apa? Tidak ada apa-apa di depan sana," Harold mencoba menenangkan Adalyn. Menariknya dari lengannya. Harold memegang kedua bahu Adalyn, ditatapnya gadis yang sedang ketakutan itu. "Ada apa?"
Adalyn menatap Harold dengan ketakutan, ia menggerakan tangannya memberikan sebuah isyarat pada Harold.
'Ada hantu di dalam kegelapan. Aku mendengar suara langkah kakinya yang semakin mendekat. Aku takut.'
Dahi Harold berkerut samar, ia menajamkan pendengarannya seraya mengedarkan pandangannya. "Tidak ada apa-apa, Adalyn. Tidak ada langkah kaki."
'Aku mendengarnya, Tuan. Tadi aku mendengarnya.'
Harold kembali menajamkan pendengaran serta penglihatannya. Namun, ia tidak menemukan apa pun. Harold menarik Adalyn ke dalam pelukannya. "Tidak ada hantu, Adalyn. Tidak ada yang namanya hantu. Itu hanya ketakutanmu saja."
Adalyn meremas baju yang dipakai Harold, gadis itu memejamkan mata serta menyusupkan wajahnya ke dada Harold. Ia terlalu takut untuk melihat ke dalam kegelapan.
Harold sempat terkekeh pelan saat Adalyn meringsek lebih dalam kepelukannya. Pria itu memeluk erat Adalyn berharap bisa menenangkannya.
"Tidak ada hantu, Adalyn. Percayalah padaku," ucap Harold.
"Jadi dia mengataiku hantu!" sebuah suara berat dan dalam terdengar dari arah kegelapan, membuat Adalyn tersentak kemudian lebih dekat dengan Harold karena takut.
Sedangkan Harold menoleh ke sumber suara, pria itu terlihat biasa saja karena ia mengenali suara tersebut.
Ellard keluar dari dalam kegelapan dengan langkah berat yang menampilkan ketegasannya. Pria dominan itu menatap Harold dan Adalyn dengan tatapan tajam.
"Apa yang kalian lakukan di dalam ruangan yang gelap ini?!" suara Ellard semakin berat dan dalam, pria itu seolah sedang menunjukan ketidaksukaannya.
"Aku hanya membantu Adalyn belajar," jawab Harold.
"Lalu apa yang sedang kamu lakukan dengan gadis itu di dalam pelukanmu?!" desis Ellard.
Harold melirik Adalyn sekilas. "Dia ketakutan. Dia mengira kamu adalah hantu."
Ellard menggeram, dia berjalan cepat mendekati Adalyn, kemudian menarik gadis itu agar terlepas dari pelukan Harold.
Adalyn tersentak, karena perlakuan Ellard yang secara tiba-tiba. Gadis itu masih memejamkan mata karena ketakutan, tangannya juga ikut menutup matanya sendiri.
Ellard mendengus kasar melihat Adalyn yang memejamkan kedua matanya. "Buka matamu, Holy Girl! Ini aku, bukan hantu!"
Membutuhkan beberapa detik untuk Adalyn memberanikan diri untuk menurunkan tangan dari wajahnya. Adalyn membuka matanya perlahan dan masih terlihat ragu-ragu, hal itu membuat Ellard merasa geram.
"Buka saja matamu, Adalyn. Ini aku Ellard! Bukan hantu!" ucapnya dengan suara meninggi.
Adalyn kembali tersentak, gadis itu spontan membuka mata sepenuhnya. Adalyn menelan saliva seraya tersenyum kaku pada Ellard yang menatapnya tajam.
"Kau mengataiku hantu?!"
Adalyn menggeleng cepat dengan wajah polosnya.
"Jangan mengelaknya lagi. Telingaku masih berfungsi dengan baik."
Lagi-lagi Adalyn menggeleng, dia menggerakan tangannya memberikan pernyataan pada Ellard. Namun, sayang ia melupakan kalau Ellard bukanlah Harold.
Ellard mendengus begitu tidak mengerti apa yang coba Adalyn sampaikan padanya. Harold yang menyadari kalau saudaranya tidak mengerti lantas terkekeh pelan.
"Adalyn mengatakan, dia tidak mengataimu hantu. Dia pikir yang berada di dalam kegelapan itu bukanlah dirimu," Harold bersuara menerjemahkan ucapan Adalyn.
Dahi Ellard berkerut samar dengan tatapan aneh yang diberikan pada Harold. "Kau mengerti ucapannya?" tanya Ellard dengan suara penuh intimidasi.
Harold mengangguk tanpa terpengaruh dengan suara intimidasi dari Ellard. "Aku belajar agar bisa memahami apa yang coba Adalyn sampaikan."
Ellard menyipitkan matanya, sangat jelas kalau pria dominan itu tidak suka dengan keunggulan Harold.
Ellard mencengkram tangan Adalyn kemudian menariknya agar gadis itu bangkit. "Ikut denganku!" titahnya seraya menarik tangan Adalyn.