Joy menyeret tangan kecil Adalyn untuk meninggalkan kediamannya yang lusuh, mungkin lebih tepatnya meninggalkan Troy yang sedang melambaikan tangan padanya.
Joy mendorong Adalyn untuk masuk ke dalam mobil yang sudah di pesannya untuk perjalanan ke New York.
"Masuk! Jangan membantahku, Adalyn!" bentak Joy.
Bentakan Joy merupakan kelemahan Adalyn, dia menjadi takut dan akhirnya selalu tunduk pada pria tua itu.
Joy duduk di samping Adalyn dengan angkuhnya. "Jalan!" titahnya pada supir.
Mobil yang mereka tumpangi perlahan mulai meninggalkan rumah mereka, dan Adalyn selalu setia melihat ke jendela belakang di mana satu-satunya jalan dia bisa melihat Troy dan Marie yang semakin mengecil dari pandangannya.
Adalyn masih melihat ke belakang meskipun Troy dan Marie sudah tidak terlihat lagi, hingga sebuah kobaran api yang tinggi terlihat di titik yang sama di mana rumahnya berada. Tentu saja Adalyn terkejut, dia menggoyangkan lengan Joy menyuruh pria tua itu untuk melihat ke belakang.
Joy tidak mempedulikan Adalyn, pria itu hanya sibuk dengan botol minuman di tangannya. Hingga disuatu titik kesabarannya habis karena minumannya tumpah oleh Adalyn, barulah Joy menoleh pada Adalyn, bukan untuk menanyakan kenapa, tapi untuk menampar pipi mulus Adalyn sampai sudut bibir gadis itu robek.
"Ada apa denganmu itu, dasar cacat! Minumanku jadi tumpah!" bentak Joy.
Adalyn memegangi pipinya yang sudah pasti meninggalkan bekas memerah. Namun, rasa sakitnya bisa dia kesampingkan untuk saat itu.
Adalyn kembali menggoyangkan lengan Joy sambil menunjuk ke arah belakang, berharap Joy dapat melihatnya sebelum mobil mereka semakin menjauh.
"Ada apa?!" lagi, Joy membentak Adalyn.
Adalyn sempat terperanjat, tapi gadis muda itu berhasil mengendalikan diri. Adalyn kembali menunjuk ke arah belakang dan akhirnya sambil mengumpat keras Joy menoleh ke belakang. Namun, hanya sebentar dan pria itu kembali bersikap santai dan meneguk minumannya.
Adalyn terdiam saat melihat reaksi Joy yang menurutnya aneh.
"Sudah jangan dipikirkan. Rumah itu memang sengaja aku bakar," ujar Joy dan ucapannya berhasil membuat Adalyn kembali terkejut.
'Kenapa?'
Adalyn menggerakan tangannya untuk bertanya pada Joy.
"Untuk menghilangkan jejak," jawab Joy yang sepertinya mengerti apa yang ingin diucapkan Adalyn.
Adalyn merasa belum puas dengan jawaban yang diberikan Joy, gadis itu merasa khawatir dengan Troy dan Merie. Adalyn kembali menggoyangkan lengan Joy sambil sesekali menggerakan tangannya membentuk sebuah bahasa isyarat, tapi sayangnya Joy tidak sedang menoleh padanya.
"Sudah diam!" bentak Joy sambil mendorong kepala Adalyn hingga membentur pintu mobil. "Duduk yang manis dan diamlah!"
Adalyn terperanjat saat Joy membentaknya sebelum akhirnya dia diam sambil menunduk dalam menyembunyikan wajahnya, mengabaikan juga rasa khawatirnya pada Troy dan Marie.
Selama hampir dua jam perjalanan dari Trenton menuju New York, Adalyn masih menunduk dalam menyembunyikan wajah sedihnya dari Joy.
Mobil yang ditumpangi Joy sampai di pemukiman kumuh, banyak gelandangan yang tidur di pinggiran, orang-orang bertato sedang bertransaksi dan juga banyak wanita dan pria yang terang-terangan bercumbu di sekitar blok itu.
Adalyn mungkin akan bersembunyi di belakang tubuh Troy saat melihat orang yang memiliki tato berada di dekatnya, tapi karena dirinya bersama Joy, Adalyn berusaha kuat untuk melawan ketakutannya agar Joy tidak memarahinya lagi. Ada alasan kuat dibalik ketakutannya pada pria yang memiliki tato.
Semua orang menatap Joy dan Adalyn yang berjalan di trotoar, meski matahari masih berada di atas kepala, tapi blok tersebut terlihat menakutkan dan berbahaya.
Joy memasuki sebuah apartemen yang kumuh, saat dirinya masuk tidak ada lift yang mengantarkan mereka hingga ke unitnya. "Astaga, aku harus mendapatkan uang lebih banyak agar bisa membeli apartemen yang memiliki lift," gerutu Joy. Dia memberikan koper yang ada di tangannya pada Adalyn. "Bawa koperku. Kita harus menaiki tangga."
Adalyn mengangguk, gadis bertubuh mungil itu membawa koper berisi barang-barang milik Joy, sementara dirinya hanya membawa tas ransel yang tidak terlalu besar.
Lantai sebelas, akhirnya Adalyn bisa bernafas lega ketika sudah sampai di unitnya, dia merasa kehilangan tenaganya karena harus membawa koper Joy yang berat. Namun, Adalyn tidak bisa semudah itu untuk cepat-cepat beristirahat, karena saat Joy membuka pintu apartemennya, debu berterbangan hingga membuatnya sesak, alhasil Joy memerintahkan Adalyn untuk membersihkan unitnya sementara pria itu menunggu di luar apartemen.
Keberadaannya yang seorang diri di manfaatkan Adalyn untuk menghubungi Troy menggunakan ponsel pemberian pemuda itu. Setelah mengingat apa yang Troy ajarkan padanya tentang pengoperasian ponselnya, Adalyn sedikit mahir dan berhasil mengirim pesan pada Troy.
Adalyn : Troy, aku sudah sampai di New York. Paman Joy sedang keluar sementara dia menyuruhku untuk membersihkan apartemennya.
Setelah mengirimkan pesan pada Troy, Adalyn mulai membersihkan apartemen sambil menunggu balasan dari Troy.
Troy : Baguslah. Aku juga sedang dalam perjalanan menuju perbatasan. Kamu sudah bisa menggunakan ponselnya?
Adalyn mengulas senyum mendapatkan balasan pesan dari Troy.
Adalyn : Aku bisa. Aku melihat rumah terbakar, kata paman Joy itu untuk menghilangkan jejak. Aku sungguh khawatir padamu dan bibi Marie.
Adalyn kembali melanjutkan pekerjaannya, tentu saja sambil sesekali melirik ponselnya yang ada di atas meja.
Troy : Kami baik-baik saja. Rumahnya memang sengaja aku bakar.
Adalyn merasa lega, ketakutannya tentang Troy dan Marie hilang seketika.
Adalyn : Berhati-hatilah. Nanti aku akan menghubungimu lagi.
Adalyn menyembunyikan ponselnya ke dalam ransel, jika Joy tahu dia memiliki ponsel, bisa dipastikan Adalyn akan mendapatkan hukuman dari Joy, dan yang lebih parahnya lagi ponsel pemberian Troy akan langsung dihancurkan saat itu juga.
Joy masuk ke dalam unitnya tepat saat Adalyn selesai membersihkan seluruh penjuru ruangan, dan Joy memberikan pujian pada Adalyn.
"Ternyata kamu berguna juga selain untuk menjadi petarung, kecacatanmu bisa tertutupi dengan menjadi orang berguna saat ini. Setelah ini kamu harus latihan karena nanti malam aku akan memperkenalkanmu pada petarung di New York."
Adalyn menyunggingkan senyum tipis mendapatkan pujian dari Joy, meski pujian itu sebenarnya lebih terdengar seperti menghina secara halus.
Joy dan Adalyn tengah berada di sebuah gedung tak terpakai yang tak jauh dari apartemennya. Di dalam ruangan gedung yang luas itu banyak gelandangan yang memperhatikannya, gedung itu memang menjadi tempat singgah para gelandangan.
"Joy!" teriakan dari seorang pria menggema di seluruh penjuru ruangan itu.
"Clark!" balas Joy, pria tua itu berlari pelan menghampiri seseorang yang memanggil namanya.
Joy dan pria tua lainnya yang bernama Clark saling berpelukan, mereka terlihat sedang melepaskan kerinduan.
"Astaga! Lihat dirimu! Kau sungguh terlihat seperti gelandangan," ujar Clark.
Joy tidak marah, pria itu malah tertawa. "Nasibku sungguh sial saat kau meninggalkanku di Trenton, Clark. Ditambah aku harus mengurusi bocah itu," balasnya.
"Oh, ya. Di mana dia? Aku ingin melihatnya."
Joy menunjuk Adalyn yang berdiri di tengah ruangan. "Itu dia."
Clark membulatkan mata melihat Adalyn, pria itu terlihat licik dan mencurigakan ketika menyeringai. "Meskipun sudah ditutupi oleh lumpur dan kotoran, anak itu masih terlihat seperti Sicario. Gennya memang kuat."
"Sst! Pelankan suaramu. Anak itu bisa mendengarnya," Joy terlihat panik.
"Ah, astaga. Maafkan aku Joy, aku terlalu terpesona dengan gadis Sicario itu."
"Adalyn Burton. Itulah namanya sekarang. Ingat jangan sampai salah menyebut namanya."
"Baiklah, baiklah."
"Di mana petarungmu? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawanya."
"Dia sedang beristirahat. Semalam dia sudah memenangkan pertandingan dua ratus ribu dollar," jawab Clark dengan bangganya.
"Kau sungguh hebat, Clark. Lalu bagaimana Adalyn bisa berlatih tanpa petarungmu."
"Kamu tenang saja. Aku sudah menyiapkan lawan untuk anak itu," ujar Clark, pria itu menoleh ke belakang sambil bersiul, tak lama munculah pria-pria berbadan besar. "Kalahkan anak itu," titahnya pada pria-pria berbadan besar.
Joy bertepuk tangan melihat pria-pria itu. "Ini akan menjadi latihan paling menyenangkan," ujar Joy seraya tertawa puas.
Melihat pria-pria berbadan besar menghampirinya, Adalyn mulai memasang kuda-kuda, mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka, tentu saja mengabaikan rasa takutnya dengan badan yang besar bahkan bisa tiga kali lipat dari ukuran tubuhnya sendiri.