Troy menepati janjinya pada Adalyn, pemuda itu membawakan ponsel bekas untuk Adalyn, tentu secara diam-diam.
"Bagaimana? Kamu suka?" tanya Troy sesaat setelah dia memberikan ponselnya pada Adalyn.
Adalyn yang masih terpesona dengan ponsel barunya hanya mengangguk dalam tanpa menoleh pada Troy sedikit pun. Bahkan kedua matanya tak berkedip melihat ponsel jadul berwarna merah muda yang memudar dan terdapat lecet di beberapa bagiannya.
"Tampaknya Adalyn sangat menyukai ponselnya, Troy," ujar wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya.
"Iya, Mom. Dia sampai tidak berkedip memandangi ponsel itu."
Wanita paruh baya itu terkekeh. Kemudian menepuk bahu Troy. "Mommy harus kembali sebelum Joy menyadarinya."
"Baik, Mom."
"Oh, ya. Katakan pada Adalyn, dia tidak perlu membantu Mommy membuat makan malam. Biarkan dia di sini bermain dengan ponselnya sebelum Joy mengetahuinya."
"Iya, Mom."
Wanita paruh baya itu melenggang pergi menuruni bukit, meninggalkan Troy dan Adalyn berdua saja.
Troy membiarkan Adalyn memandangi ponsel barunya dengan puas, sementara dirinya menunggu sambil duduk di bawah pohon.
Adalyn yang sudah puas memandangi ponselnya kemudian mengangkat wajahnya, gadis muda itu terlihat kebingungan karena tidak menemukan siapa pun di hadapannya. Dia berbalik menghadap ke pohon besar, dan di sanalah dia menemukan Troy yang sedang bersandar sambil memejamkan matanya.
Adalyn menghampiri Troy, dia duduk di samping Troy dengan begitu semangat hingga menggoyangkan tubuh Troy dan membuatnya membuka mata.
Adalyn menggerakan kedua tangannya membentuk sebuah isyarat.
'Di mana bibi Marie?'
"Sudah pergi untuk menyiapkan makan malam."
Adalyn tertegun, sedetik kemudian dia bergegas bangkit. Troy berhasil menahan lengan Adalyn sebelum gadis itu berlari.
"Dia bilang kamu tidak perlu membantunya."
'Kalau paman Joy tahu aku tidak membantu bibi Marie, dia akan marah.'
Troy menggeleng, pemuda itu menarik pelan lengan Adalyn agar kembali duduk di sampingnya, dan Adalyn menurutinya.
"Kamu tidak usah khawatir. Dia bisa mengatasinya. Lebih baik kamu beristirahat sejenak. Tubuhmu pasti masih terasa sakit setelah pertarungan semalam."
Adalyn sempat meragu, tapi akhirnya dia mengangguk menyetujui. Mereka terdiam, menyelami isi kepala masing-masing.
"Kamu mengantuk?" tanya Troy tatkala dia melihat Adalyn yang memejamkan mata sambil bersandar pada bahunya.
Adalyn mengangguk sebagai jawabannya.
"Kalau begitu tidurlah. Untuk hari ini latihanmu cukup sampai di sini."
Adalyn kembali mengangguk, gadis muda itu mencari posisi yang terbaik sambil bersandar pada Troy. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Adalyn pergi ke alam mimpi.
Waktu makan malam telah tiba, Adalyn dan Troy turun dari bukit untuk bergabung dengan Marie dan Joy yang sudah lebih dulu menyantap makan malam mereka.
"Kalian sudah datang. Cepat kemarilah," sambut Marie.
Adalyn dan Troy duduk di hadapan Joy dan Marie, mereka menyantap makan malam di meja makan yang terbuat seadanya dari kayu lusuh di halaman belakang rumah Joy yang kecil dan kumuh.
Marie mengisi piring Adalyn dengan telur, ubi dan sayuran dengan porsi sedikit. Sementara isi piring yang lainnya terdapat pasta, steak serta makanan cepat saji dan beberapa menu enak lainnya.
"Wah, hari ini kita makan enak!" seru Troy.
"Tentu saja. Ini perayaan kemenangan kita setelah mengalahkan tuan Malankov," jawab Joy dengan tawanya.
"Tapi kenapa isi piring Adalyn tidak berubah? Bukankah Adalyn juga harus merayakan kemenangannya?"
Joy terdiam sambil memandangi Adalyn sebelum akhir pria tua itu berdecih. "Dia tidak boleh makan makanan ini. Dia harus tetap menjaga ototnya agar bisa menjadi petarung hebat. Makanan ini tidak cocok untuk petarung sepertinya."
Adalyn menunduk, gadis muda itu bahkan tidak berani menatap Joy.
"Ini tidak adil, Joy. Adalyn juga harus mencoba makanan ini. Semua ini karena hasil kerja kerasnya," tukas Troy.
Joy mendelik tidak suka pada Troy sebelum dia memukul meja cukup keras.
"Joy," Marie mencoba menenangkan Joy, begitu pula dengan Adalyn yang memegang tangan Troy di bawah meja.
"Anak ini tidak boleh makan enak sebelum melunasi semua hutang-hutangnya padaku," ujar Joy dengan urat-urat menonjol di wajah senjanya.
Troy sangat ingin membalas ucapan Joy, tapi sayangnya Adalyn melarang hingga dia hanya bisa terdiam sambil menahan kekesalannya pada Joy.
Makan malam telah usai dan semua menu yang ada di meja makan telah habis tak tersisa, orang yang paling rakus memakan semua makanan itu adalah Joy, sementara Troy dan Marie tidak terlalu bernafsu saat melihat Adalyn yang tertunduk lesu sambil menyantap menu makan malamnya.
Setelah selesai, Adalyn membantu Marie membereskan piring kotor di dapur. Gadis itu bertugas mencuci piring.
"Adalyn, kamu masih lapar?" tanya Marie dari arah belakang tubuhnya.
Adalyn menoleh memberikan gelengan disertai senyuman tipis.
"Aku tahu kamu masih lapar," ujar Marie, wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah ayam goreng yang dibalut oleh tisu. "Aku menyembunyikan ini untukmu. Cepat makan sebelum Joy melihatnya," bisik Marie.
Adalyn berbinar melihat ayam goreng di hadapannya, gadis muda itu berbalik menghadap Marie.
'Ini untukku?'
Adalyn bertanya menggunakan bahasa isyarat pada Marie.
"Iya. Ini untukmu," Marie menaruh ayam gorengnya di tangan Adalyn. "Cepat makan sebelum Joy melihatnya."
Adalyn mengangguk, gadis itu segera memakan ayam goreng dengan lahapnya, Adalyn sampai terduduk di lantai dapur karena takut Joy dapat melihatnya dari jendela.
Marie mengulas senyum, dia mengambil alih pekerjaan Adalyn, sambil sesekali melihat Adalyn yang duduk di samping kakinya.
Melihat Adalyn yang begitu lahap memakan ayam goreng, tanpa sadar Marie meneteskan air mata. Setelah selesai mencuci piring, Marie berlutut di samping Adalyn. "Kamu mau minum?" tanya Marie.
Adalyn mengangguk, gadis itu hendak bangkit bertujuan untuk mengambil minum, tapi Marie lebih dulu menahannya. "Biar aku yang mengambilkannya untukmu," bisik Marie dengan raut aneh menurut Adalyn.
Marie bangkit, dia mengambil sesuatu dari kabinet usang lalu menyembunyikannya. Adaly tidak bisa melihat apa yang Marie ambil meski kabinet itu ada di hadapannya.
Marie kembali berlutut di hadapan Adalyn lalu mengeluarkan sesuatu yang dia ambil dari dalam kabinet. "Ini untukmu."
Adalyn terkejut, kedua matanya berbinar melihat kaleng soda yang ada di tangan Marie.
'Itu untukku?'
Marie mengangguk. "Iya. Ini untukmu. Aku sengaja menyembunyikannya. Cepat minum sebelum dia melihatnya," Marie membuka kaleng sodanya untuk Adalyn.
Adalyn meminum sodanya dengan sangat hati-hati, terlihat sekali kalau Adalyn begitu menghargai minuman itu agar tidak terjatuh setetes pun.
"Marie! Cepat ke sini!" teriakan Joy mengejutkan Adalyn dan Marie, bahkan Adalyn sampai tersedak dibuatnya.
"Habiskan minumannya lalu buang kalengnya dengan benar. Jangan sampai Joy tahu tentang ini," ujar Marie pada Adalyn dengan paniknya. "Iya aku datang!" Marie membalas teriakan Joy sebelum meninggalkan Adalyn.
Sepeninggalan Marie, Adalyn benar-benar mendengarkan perkataan Marie. Dia membuang tisu dan kaleng soda ke tempat sampah, bukan hanya sekedar membuangnya saja, Adalyn juga membungkus kedua benda itu menggunakan kantong bekas yang ada di dalam tempat sampah. Adalyn juga membersihkan lantai yang terdapat tetesan soda yang tadi sempat dia semburkan.
Merasa sudah bersih menghilangkan jejak kejahatannya, Adalyn tersenyum puas sambil berkacak pinggang.
"Adalyn!" teriakan Joy kembali terdengar, bergegas Adalyn berlari menghampiri Joy yang masih ada di halaman belakang.
Sesampainya di meja makan, Troy menyuruh Adalyn untuk duduk di sampingnya.
"Besok kita akan pindah ke New York," ujar Joy.
Adalyn terkejut sekaligus senang, sebab dirinya dan Troy sangat ingin pindah ke kota itu. Hingar bingar yang pernah di dengarnya dari orang-orang membuat Adalyn dan Troy merasa penasaran.
Adalyn menyungging senyum bahagia, dia menoleh pada Troy, tapi seketika senyumnya pudar melihat Troy yang tertunduk lesu.
Adalyn menggoyangkan tangan Troy yang ada di bawah meja.
'Ada apa?'
Troy mengulas senyum tipis yang dipaksakan pada Adalyn. "Tidak ada apa-apa," jawab Troy pelan.
Sayangnya Adalyn tidak mempercayai Troy begitu saja. Adalyn menatap Marie, seolah meminta penjelasan dari ibunya Troy tersebut. Namun, sayangnya Marie malah memalingkan wajahnya.
Adalyn kembali menggoyangkan tangan Troy untuk meminta penjelasan lagi, tapi Troy juga memalingkan wajahnya. Adalyn frustasi bahkan hampir menangis.
"Jangan menangis! Aku benci orang mudah menangis!" bentak Joy yang membuat Adalyn terkejut.
"Joy, bisa aku meminta waktu Adalyn sebentar. Aku akan menemuimu di kamar," ujar Marie sambil mengelus lengan Joy.
"Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Malam ini malam terakhir kita, Marie."
"Aku tahu."
Joy bangkit membawa minumannya meninggalkan ketiga orang yang saling terdiam di meja makan. Bahkan Adalyn sudah menunduk dalam saat Joy membentaknya.
"Adalyn," panggil Marie dengan suara lembut.
Perlahan Adalyn mengangkat wajahnya menatap Marie, terlihat jelas sekali kalau Adalyn berusaha kuat untuk tidak meneteskan air matanya.
'Kalian menyembunyikan sesuatu dariku?'
"Adalyn, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa ikut denganmu," ujar Troy.
Adalyn menoleh cepat dengan wajah terkejut bercampur kecewa dan sedih.
'Kenapa?'
"Aku dan mommy harus pergi ke rumah nenek," jawab Troy memelan.
Adalyn menoleh pada Marie meminta penjelasan dari wanita paruh baya itu. "Iya, Adalyn. Aku dan Troy harus pergi ke Mexico. Kami tidak bisa ikut dengan kalian."
'Tapi kenapa?'
Tangan Adalyn sedikit bergetar ketika sedang bertanya lagi pada Marie.
Marie menarik tangan Adalyn lalu menggenggamnya di atas meja. "Ibuku sudah tua, Adalyn. Dia membutuhkanku untuk merawatnya. Lagi pula di New York kami adalah penjahat. Mereka masih mengejar kami sebelum hutang-hutangnya lunas. Mexico adalah tempat teraman untuk kami, Adalyn," Marie menjelaskan dengan begitu tenang dan penuh kelembutan, dia berharap agar Adalyn mengerti.
Adalyn melepaskan tangannya, lalu kembali menggerakannya.
'Bibi bisa meminta paman Joy untuk melunasi hutang bibi. Paman Joy mendapatkan banyak uang dari pertandingan semalam.'
"Tidak bisa Adalyn," Troy yang menjawab. "Hutang yang dibuat ayahku terlalu banyak. Bahkan semua uang yang Joy terima belum cukup untuk melunasinya. Jalan satu-satunya agar kami masih bisa selamat dari penagih itu yaitu pindah ke Mexico."
Adalyn menggeleng, gadis itu sangat ingin menangis, tapi karena didikan yang keras dari Joy membuat Adalyn tidak bisa meneteskan air matanya meski dia sangat ingin.
'Jangan pergi.'
"Maafkan kami, Adalyn," Marie bersuara. Adalyn menoleh. "Kami harus pergi. Orang-orang itu sudah mengetahui kami berada di sini, jadi tempat ini juga tidak aman lagi. Joy memberikan kami uang untuk perjalanan menuju Mexico."
'Kalian akan meninggalkanku?'
"Maafkan kami, Adalyn. Tapi kami harus melindungi diri dari mereka."
Kedua tangan Adalyn mengepal kuat, dia menatap penuh kekecewaan pada Marie dan juga Troy.