Trenton, New Jersey.
Beberapa tahun kemudian.
Di sebuah peternakan yang sudah tidak beroperasi lagi, terdapat sebuah rumah kecil dan kumuh, bahkan jendela pun hanya ditutupi balok kayu yang dipaku di antara kedua sisinya.
Di teras rumah yang kecil itu, terdapat seorang pria tua yang duduk di kursi goyang dengan senapan dan botol minuman di kedua tangannya. Tatapannya mengarah pada seorang gadis muda bertubuh mungil yang sedang berlari-lari kecil di halaman yang luas itu.
"Adalyn! Di mana Troy?!" teriaknya pada gadis muda itu.
Gadis bernama Adalyn menghentikan larinya, ia menggelengkan kepala seraya mengangkat kedua bahunya.
"Panggilkan dia sekarang. Nanti malam kau harus bertanding!"
Adalyn mengangguk, gadis cantik itu berlari menjauhi rumah gubuk yang tidak pantas disebut rumah.
Tak lama Adalyn datang bersama seorang pria muda dan seorang wanita paruh baya. Wanita paruh baya itu menghampiri sang pria tua lalu duduk di atas pangkuannya. Sementara Adalyn dan pria muda yang bersamanya langsung memasang kuda-kuda di halaman yang luas.
"Troy! Siapa lawannya nanti malam?!" tanya pria tua itu, tentu dengan suara tinggi hampir seperti teriakan.
"Salah satu petarung milik tuan Malankov!" jawab pemuda bernama Troy setengah berteriak pula.
"Pastikan Adalyn menang nanti malam! Tuan Malankov pasti akan mengeluarkan uang banyak nanti malam!"
"Baik!"
Adalyn bersama Troy memulai sesi latihan mereka, latihan yang Adalyn jalani hampir setiap hari tanpa adanya waktu untuk beristirahat.
Troy menyerang dan Adalyn menangkis, meski tubuh Adalyn mungil, tapi gadis itu begitu lihai dalam hal menangkis dan menghindari serangan yang dilakukan Troy.
Di tengah-tengah sesi latihan mereka, tiba-tiba saja tubuh Adalyn terasa lemas, dadanya sesak dan seketika pandangannya kabur. Troy yang menyadari perubahan pada Adalyn segera menghentikan serangannya.
"Adalyn," Troy menghampiri Adalyn dengan panik. "Kamu harus istirahat."
Adalyn menggeleng sambil mengusap air matanya secara kasar.
"Tapi kamu sudah hampir melewati batasanmu. Kamu bisa terluka, Adalyn," Troy begitu khawatir.
Adalyn menggerakan kedua tangannya, memberikan isyarat pada Troy kalau dirinya baik-baik saja.
"Jangan membohongku, Adalyn," Troy geram, pemuda itu membantu Adalyn berdiri lalu menoleh pada wanita paruh baya yang duduk di atas pangkuan pria tua.
Troy memberikan sebuah kode lewat anggukan kepalanya pada wanita paruh itu. Wanita itu membalasnya dengan sebuah anggukan juga.
Tak lama terlihat wanita paruh baya itu menarik manja lengan pria tua untuk memasuki rumah.
"Troy! Latih dia dengan keras. Jangan sampai nanti malam dia kalah!" teriak pria tua itu sebelum memasuki rumah bersama wanita paruh baya tersebut.
Setelah pintu rumah tersebut tertutup, barulah Troy menggendong Adalyn ala bridal style, membawanya meninggalkan tempat latihan mereka.
Di dalam gendongan Troy, Adalyn memberikan isyarat agar Troy menurunkannya, tapi Troy tidak mempedulikan permintaan Adalyn. Pemuda itu terus melangkah menaiki sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.
Troy baru menurunkan Adalyn di atas bukit, dia menurunkan Adalyn tepat di bawah pohon yang cukup rindang. Troy duduk di bawahnya dan Adalyn mengikuti.
"Nanti malam tuan Malankov akan menurunkan petarungnya. Aku pernah mendengar kehebatannya," ujar Troy, dari caranya bicara terdengar jelas kalau pemuda itu khawatir.
Adalyn yang menatap Troy dari samping dapat melihatnya juga, bahkan melihat Troy yang khawatir membuat dirinya juga merasakan demikian.
Adalyn mengambil ponsel milik Troy yang ada di saku celananya, dan Troy membiarkan Adalyn berbuat sesukanya karena ia tahu apa yang akan Adalyn lakukan.
Adalyn mengetikan sesuatu di ponsel Troy lalu menunjukannya pada pemuda itu.
'Aku pernah mengalahkan Carpenter. Jangan khawatir aku juga pasti bisa mengalahkan orang itu.'
Troy mengulas senyum sambil mengusap kepala Adalyn setelah membaca pesan yang ditulis Adalyn.
"Aku tidak mungkin melupakan moment itu, Adalyn. Kamu petarung muda yang bisa mengalahkan seorang Carpenter. Tentu saja aku tidak akan melupakan pertarungan itu."
Adalyn mengulas senyum, ia kembali mengetikan sesuatu di ponsel Troy lalu menunjukannya lagi.
'Aku akan mempertahankan posisiku sebagai petarung hebat, seperti keinginan paman Joy. Aku tidak akan kalah dari orang selanjutnya.'
Lagi-lagi Troy mengulas senyum sambil mengelus kepala Adalyn. "Aku percaya padamu," ujar Troy terkesan memelan.
Adalyn menurunkan ponselnya, ia bersandar pada bahu Troy. Mereka saling terdiam dengan sebuah kekhawatiran terlihat jelas dari wajah mereka. Kini Adalyn sudah tidak menyembunyikan kekhawatirannya lagi seperti saat berhadapan dengan Troy.
Malam telah tiba begitu cepat, Troy sedang mempersiapkan Adalyn yang sebentar lagi akan menaiki ring.
"Jangan sampai kalah, Adalyn. Karena jika kamu kalah, kamu akan mati di tangan mereka," ujar Troy yang sedang membantu Adalyn mengikat rambutnya.
Adalyn berbalik setelah Troy selesai mengikat rambutnya, ia mengambil ponsel Troy yang ada di saku celananya lalu mengetikan sesuatu dan kembali menunjukannya pada pemuda itu.
'Aku tahu, Troy. Aku tidak akan kalah sebelum melunasi hutangku pada paman Joy.'
Troy mengambil ponselnya lalu memeluk Adalyn, di belakang pandangan Adalyn, Troy memejamkan kedua matanya menahan kekhawatiran yang tidak ingin ia tunjukan pada Adalyn.
"Aku akan membelikanmu ponsel bekas setelah pertandingan ini," bisik Troy sebelum melepaskan pelukannya.
Adalyn mengangkat ibu jarinya seraya tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Setelahnya ia beranjak meninggalkan Troy yang masih menatapnya penuh kekhawatiran.
Di atas Ring, Adalyn sempat terlihat menelan ludah melihat lawannya yang cukup menyeramkan. Tubuh kekar dan besar serta beberapa tato yang menutupi seluruh tubuh serta sebagian wajahnya adalah alasan utama yang membuat Adalyn sedikit takut pada lawannya.
Pertandingan dimulai dan penonton bersorak menyebutkan nama Adalyn. Di antara para penonton, terdapat pria tua yang Adalyn panggil dengan sebutan paman Joy. Pria tua itu tengah memperhatikan setiap pergerakan Adalyn.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Adalyn mengalahkan lawannya. Meski di awal gadis itu dibuat takut dengan tato yang dimiliki lawannya, tapi Adalyn bisa mengatasi rasa takutnya tersebut dan berakhir pada kemenangannya.
Kemenangan Adalyn disambut sorak sorai penonton yang bertaruh atas kemenangannya. Tak terkecuali pria tua bernama Joy yang langsung meloncat dari kursinya, melakukan selebrasi atas kemenangan Adalyn.
"Kau kaya, Joy! Kau kaya!" teriak seorang pria bertubuh gempal yang duduk di samping Joy.
"Ya! Aku kaya! Aku kaya!" Joy tertawa puas.
Di balik sorak sorai penonton untuk kemenangannya, Adalyn merasa kedua tangannya bergetar hebat, bahkan ia harus mengepal kuat agar tidak ada orang yang menyadarinya.
Saat Adalyn turun dari ring, Troy orang pertama yang langsung memeluk Adalyn. Pemuda itu juga membantu Adalyn membersihkan luka yang ia terima.
"Menang atau kalah, kamu tetap saja akan mendapatkan luka ini," ujar Troy disela-sela ia membersihkan luka Adalyn.
Adalyn mengangkat kedua bahunya seraya menyunggingkan senyum terbaiknya pada Troy. Adalyn mengangkat kedua tangannya memberikan sebuah isyarat pada Troy.
'Aku menunggu ponselnya. Besok kamu sudah harus memberikannya padaku.'
Troy terkekeh pelan. "Baiklah. Besok siang aku pasti akan memberikannya padamu."
'Terima kasih, Troy.'
Troy mengulas senyum terbaiknya sebelum ia memeluk Adalyn dengan penuh kehangatan. "Apakah sudah membaik?" bisik Troy di atas kepala Adalyn.
Adalyn mengangguk lemah dan Troy melepas pelukannya.
'Dia menyeramkan.'
Troy mengangguk. "Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau lawanmu kali ini memiliki banyak tato di tubuhnya."
'Tidak apa-apa. Yang penting kita menang sekarang.'
"Lain kali aku akan memastikan dulu lawanmu. Aku berjanji ini adalah kelalaianku yang terakhir kalinya."