Chereads / The Bastard's Crazy Desire / Chapter 1 - Part 1. Tragedy on Birthday

The Bastard's Crazy Desire

🇮🇩Kingwanati
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 14.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1. Tragedy on Birthday

Sayreville, New Jersey.

Malam di kota itu sangatlah dingin, tapi tidak mengurangi antusias orang-orang untuk pergi ke sebuah pesta perayaan ulang tahun seorang gadis cantik dari keluarga terpandang di kota tersebut.

Orang-orang berjalan di trotoar, membawa bingkisan di tangannya dan menuju ke arah yang sama. Mereka saling menyapa, berbincang dan bersenda gurau. Mereka memasuki sebuah rumah yang besar, pemiliknya adalah pasangan dokter hewan yang dermawan.

"Selamat ulang tahun, Adalyn."

"Selamat ulang tahun, Ms. Burton."

Semua orang mengucapkan selamat pada gadis muda bernetra hijau yang cantik. Gadis kecil yang selalu memamerkan senyum terbaiknya pada tamu undangan yang hadir.

"Adalyn! Selamat ulang tahun!" teriak seorang gadis sebayanya seraya berlari memeluk sang tuan rumah bernama Adalyn.

"Carol, jaga sikapmu!" tukas seorang wanita paruh baya yang datang bersama gadis muda seusia Adalyn.

"Maafkan aku, Mom. Aku terlalu merindukan Adalyn," balasnya pada sang ibu. "Adalyn, apa kamu merindukanku juga?" tanyanya pada sang tuan rumah. Adalyn mengangguk sambil terus memamerkan senyum terbaiknya.

"Adalyn selalu menunggu kunjunganmu, Carol," timpal seorang wanita cantik yang sejak tadi berdiri di samping Adalyn.

"Benarkah? Maafkan aku karena baru bisa mengunjungimu sekarang, Adalyn," gadis bernama Carol kembali memeluk Adalyn.

"Apa kabar, Mr. dan Mrs. Burton. Senang rasanya bisa mengunjungi Sayreville lagi," ujar ibu dari Carol.

"Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk datang, padahal Anda sendiri orang yang sibuk, Mrs. Gwen."

"Tidak masalah. Lagi pula saya juga merindukan Adalyn, saya merindukan senyumannya yang cantik itu," Mrs. Gwen mengelus pipi Adalyn. "Bagaimana rencana operasi pita suara untuk Adalyn, Mrs. Burton. Apakah persiapannya sudah berjalan?"

Wanita muda itu menggeleng lemah. "Kami kekurangan biaya, Mrs. Gwen. Mungkin kami harus menunggu beberapa tahun lagi," jawabnya seraya menunduk lesu.

Adalyn yang melihat ibunya tertunduk lesu segera mengambil sebuah note kecil yang menggantung di lehernya, jari-jari lentiknya menuliskan sesuatu di atas secarik kertas kecil itu. Setelah selesai Adalyn menyobeknya lalu memberikan pada ibunya.

Mrs. Burton mengambil secarik kertas yang diberikan putrinya lalu dibacanya. Mrs. Burton menghapus air matanya lalu memeluk putri kesayangannya.

"Mommy akan berjuang untukmu, sayang. Mommy dan dady berjanji Adalyn," bisiknya.

"Kamu tenang saja, Adalyn. Suatu hari nanti kamu pasti bisa bicara," timpal Carol.

Adalyn melepas pelukan ibunya lalu memeluk Carol secara tiba-tiba. Adalyn mengangguk di bahu Carol, ia juga menepuk pelan bahu sahabatnya. Carol yang mengerti gerakan Adalyn mengulas senyum cantiknya. "Tidak perlu sungkan. Aku adalah sahabatmu. Aku akan menemanimu sampai kapan pun," bisik Carol.

Pesta perayaan ulang tahun Adalyn yang ke lima belas berlangsung meriah namun tidak menghilangkan kehangatan sebuah keluarga. Pasangan Burton yang merupakan dokter hewan hanya mengundang tetangga dan beberapa kerabat yang ada di luar kota untuk memeriahkan pesta ulang tahun putri tercintanya.

"Adalyn, ucapkan keinginanmu sebelum meniup lilinnya," ujar Carol, sesaat setelah selesai menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Adalyn.

Adalyn mengangguk, tentu saja dengan senyuman yang tidak pudar dari wajahnya. Adalyn menyatukan kedua tangannya di depan dada disusul dengan kedua matanya yang tertutup. Belum Adalyn mengucapkan keinginannya di dalam hati, tiba-tiba saja pintu rumahnya didobrak dengan cukup keras hingga membuat semua orang terkejut.

Adalyn membuka mata melihat kegaduhan apa yang terjadi di acara ulang tahunnya, dan betapa terkejutnya Adalyn di hadapannya ada orang-orang asing yang mengarahkan senjata api pada semua tamu undangannya.

Tubuh Adalyn mendadak kaku saat sebuah tembakan mengenai salah seorang tamu undangannya.

"Tidak!" teriak Mrs. Burton di akhiri dengan tembakan membabi buta dari orang-orang bersenjata itu.

Mereka menembaki tamu undangan dengan begitu brutal. Dari anak kecil, orang dewasa hingga pasangan lansia, semua mereka habisi dengan brutalnya. Suasana malam itu sungguh mengerikan, suara teriakan serta tembakan saling bersahutan di dalam rumah keluarga Burton.

Sepasang mata Adalyn menangkap sebuah selongsong yang mengarah padanya, tapi Adalyn tidak menghindar. Tubuhnya mendadak kaku, saat itu Adalyn yang berusia lima belas tahun sudah siap jika harus mati. Namun, Mrs. Burton melindungi putri sematawayangnya dengan mengorbankan nyawanya sendiri.

Mrs. Burton mati tertembak di hadapan Adalyn. Melihat ibu yang dicintainya rela mati demi menyelamatkannya, Adalyn terduduk di lantai yang bersimbah darah, dia memangku kepala ibunya sambil berderai air mata.

"Pergi, Adalyn. Pergi dari sini," ujar Mrs. Burton di sisa-sisa kesadarannya.

Adalyn menggeleng kuat, gadis cantik itu mengguncang tubuh ibunya agar bangun. Namun, segala usahanya tidak membuahkan hasil. Mrs. Burton sudah meninggalkannya untuk selamanya.

"Adalyn! Cepat pergi dari sini. Pergi ke kamar Daddy. Di sana ada ruangan rahasia. Kamu sembunyi di sana sampai ada seseorang yang menyelamatkanmu. Cepat!" ujar Mr. Burton yang sudah terluka parah, dia bahkan harus merangkak agar bisa mendekati Adalyn.

Adalyn menggeleng sambil terus berurai air mata, bibirnya bergerak mengucapkan kata 'No' tanpa suara.

"Pergi Adalyn! Mereka akan menculikmu. Daddy mohon," ucapan terakhir Mr. Burton sebelum dia memuntahkan darah lalu tak sadarkan diri di samping jasad istrinya.

Kedua mata Adalyn terbelalak melihat ayahnya sudah tidak bergerak. Adalyn kembali mengguncang tubuh ayah dan ibunya, tapi hasilnya sama. Mereka sudah meninggal.

Takut, marah dan sedih. Itulah yang Adalyn rasakan saat ini. Melihat dengan jelas bagaimana orang-orang terdekatnya mati dengan cara yang begitu tragis.

Adalyn bergeming melihat lantai rumahnya yang selalu bersih sekarang sudah kotor oleh darah dari orang-orang terdekatnya. Tidak ada warna lantai yang sebenarnya, yang ada hanya warna merah pekat yang menguarkan bau khas darah.

Adalyn terkejut saat sebuah peluru menghantam kue ulang tahunnya, seolah tersadar dan teringat akan pesan kedua orangtuanya. Adalyn meletakan kepala ibunya di lantai dengan hati-hati, ia mencium pipi kedua orangtuanya sebelum akhirnya berlari menuju lantai dua di mana kamar orangtuanya berada.

Sayangnya, meski Adalyn sudah berhati-hati dalam bergerak, ada saja salah satu dari orang-orang bersenjata yang melihatnya. Alhasil Adalyn diikuti hingga ke lantai dua.

Adalyn yang ketakutan dan panik mencari sebuah ruangan rahasia yang dibicarakan ayahnya. Dengan tubuh yang bergetar hebat dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri, Adalyn berhasil menemukan sebuah ruangan rahasia yang ada di bawah meja kerja ayahnya.

Adalyn yang memiliki tubuh kecil tentu saja kesusahan untuk membuka pintu masuknya, ditambah pintu kamar itu sudah di tembaki oleh orang-orang dari luar, membuat Adalyn bertambah panik.

Beruntungnya, saat pintu kamarnya itu berhasil didobrak paksa, Adalyn juga berhasil masuk ke dalam ruangan rahasia milik ayahnya.

Saat Adalyn menutup pintunya agar tidak ditemukan oleh orang-orang bersenjata, dia merasakan dadanya sesak karena ruangan yang sempit dan cukup berdebu. Meski dalam kondisi yang buruk dan tidak ada cahaya yang cukup, Adalyn menelusuri lorong-lorong yang ada di ruangan itu.

Adalyn yang sedang melangkah dengan perlahan dan sangat berhati-hati terkejut saat mendengar suara keras dari atas tubuhnya. Suara itu adalah pintu masuk ke ruangan rahasia yang berhasil dihancurkan. Sontak saja Adalyn bergegas berjalan dengan tertatih.

"Hei! Miss, jangan lari. Kami tidak akan menyakitimu!"

"Miss, kami datang untuk menjemputmu!"

"Miss, kembalilah. Kami tidak bisa masuk karena lubangnya terlalu kecil!"

"Miss!"

Adalyn terus berlari mengabaikan teriakan orang-orang di atasnya. Beruntungnya lubang itu hanya cukup untuk tubuh kecil Adalyn sehingga orang-orang bersenjata itu tidak bisa mengikuti Adalyn.

Adalyn yang terus berlari akhirnya menemukan sebuah pintu kayu yang sudah rapuh, Adalyn hanya perlu menendang sedikit saja dan pintu itu sudah bisa terbuka.

Saat Adalyn keluar dari lorong yang pengap, gelap dan berdebu itu, Adalyn akhirnya bisa bernafas lega tatkala ia sudah berada di halaman belakang rumahnya. Adalyn bergegas berlari ke arah hutan yang berjarak beberapa meter dari halaman belakangnya.