Jalan yang Liliya tunjukkan tersembunyi dibalik celah gunung. Ketika berhasil melewatinya, terlihat jalanan yang rata dan halus, seperti buatan seseorang. Mereka mengikuti jalan setapak yang memutari gunung tersebut.
Udara semakin dingin saat jalanan semakin tinggi. Dari posisi mereka, Winfor tampak seperti sebuah miniatur kota. Menara kincir angin yang lebih tinggi dari pepohonan, tampak seukuran bidak catur.
***
"Woah, ini baru pertama kalinya aku mendaki gunung tanpa merasakan kedinginan sama sekali."
***
"Apa kau tak apa?" tanya Ashnard saat melihat Liliya yang menggigil kedinginan, meskipun ia sudah memakai sarung tangan dan pakaian yang tebal. "Kita bisa beristirahat dulu."
"Tidak. Lanjutkan saja. Kita harus terus menggerakkan tubuh kita," ujar gadis itu. Kepulan asap keluar dari mulutnya dan mulut Ashnard saat berbicara.
Suara kepakkan sayap naga terdengar di puncak gunung. Makhkuk-makhluk perkasa itu bergelora di langit, tapi mata dan cakar mereka selalu tertuju pada daratan. Pada mereka yang terkalahkan oleh kebesaran gunung dan gugur di hamparan salju.
Ashnard dan Liliya terus naik sambil menghindari tatapan para naga yang mengincar mereka. Menunduk di bayang-bayang dan celah gunung, hingga sampai di sebuah gua.
Di depan gua itu, Ekarios melompat-lompat dan berkuak saat melihat kedatangan Liliya. Liliya sama senangnya dengan burung itu, ia langsung berlari dan membenamkan tubuhnya dalam bulu hangat Ekarios.
Keberadaan Ekarios disini membuat mereka tenang, karena pastinya Sefenfor juga ada disini. Ashnard memasuki gua itu dan menemukan dua pria yang membelakanginya, sedang mengamati sesuatu di meja.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Lalu, kenapa dia mendatangimu?" tanya Sefenfor pada pria berjanggut disebelahnya yang bernama Reibo.
Reibo mendengus kecil. "Dia kan memang selalu seperti ini. Kalau ada masalah, pasti Nous akan selalu mendatangiku," jawabnya santai. "Mungkin dia masih ingat dengan tempatku, meskipun dipengaruhi kekuatan kegelapan dan meminta tolong padaku."
"Yah, kau memang orang yang paling dekat dengannya daripada aku."
Sebuah udara dingin, tiba-tiba menusuk Ashnard seperti ratusan pedang yang menembus seluruh tubuhnya. Ashnard tersungkur. Ada tekanan seperti tertimbun salju padat dan tebal yang membuatnya tak bisa bangkit.
Jemarinya bergetar hebat dan membiru. Ia berusaha bernafas untuk menenangkan diri, tapi setiap embusan nafasnya justru membuat suhu tubuhnya semakin menurun.
Sefenfor terkejut saat melihat Ashnard meringkih kesakitan di belakangnya. Begitu pula Reibo. "Siapa anak ini? Apa yang terjadi padanya?" tanya pria berjanggut itu.
"Ashnard. Dia memiliki kepekaan yang tinggi. Aku harus menenangkannya." Sefenfor lalu meniupkan angin ke tubuh Ashnard.
Tekanannya sudah hilang, namun sensasi dinginnya masih membuat Ashnard tak berkuasa untuk bangkit.
Liliya segera masuk dan membantu Ashnard berdiri. "Ada apa, Ash? Kau kedinginan?"
"Bawa dia ke dekat tungku pembakaran!" suruh Sefenfor, rautnya memperlihatkan ketidaksenangan akan keberadaan mereka berdua di sini.
Sesuai perintah Sefenfor, Liliya memapah Ashnard dan mendudukannya di depan tungku pembakaran yang menyala panas.
"Apa yang kalian lakukan disini?" Sefenfor tak memberi Ashnard waktu untuk istirahat. "Sudah kubilang aku tak bisa membantu kalian!"
Dengan suara yang gemetaran, Ashnard berkata, "Aku datang bukan untukmu. Tapi dia." Ashnard menunjuk ke pria berjanggut disebelah Sefenfor.
Janggut pria itu tampak lebat dan sangat mencolok. Janggut itu bahkan hampir menutupi sebagian tubuh gemuknya yang dilengkapi dengan pakaian kulit yang tebal. Wajahnya lebih menyeramkan saat Ashnard menunjuk ke arahnya.
Ashnard berbalik dan menunjukkan gagang pedang miliknya pada Reibo.
"Pedang ini ...." Matanya membulat begitu ia tersadar. "Kau putra Ebert?"
"Ya. Dia ayahku, dan aku datang kesini untuk meminta jawaban darimu. Kenapa ayahku memberikan pedang hanya gagangnya saja?"
"Itu benar. Ayahmu datang ke sini tiga tahun yang lalu. Ia memintaku untuk membuat sebuah pedang, pedang yang utuh. Ayahmu terburu-buru, tapi saat itu pedang ini masih belum jadi. Dia hanya mengambilnya bilahnya dan meninggalkan gagangnya yang belum jadi."
"Pedang apa itu sebenarnya?"
"Pedang yang bisa memotong kegelapan," jawab Reibo menggeram.
"Pertanyaannya sudah cukup," sergah Sefenfor memotong pembicaraan. "Ada hal yang lebih penting selain pedangmu itu."
Terlihat di meja, seorang pria dengan jubah terbaring. Rambutnya hitam panjang dan kulitnya pucat. Liliya mengenali sosok itu sebagai Nous, Penjaga Angin di Selatan.
"Itu Tuan Nous!? Apa yang terjadi padanya? Apa dia sudah mati?" tanya Liliya khawatir.
"Tidak, tapi dia sekarat. Kekuatan gelap sedang menggerogoti tubuhnya," ucap Sefenfor.
"Dia sebelumnya menyerang kami, tapi bukan karena kehendaknya. Kekuatan dari jurang itulah yang merusak pikirannya," tambah Reibo.
"Seharusnya itu tidak mungkin. Nous lebih kuat dari kami, dialah satu-satunya yang bisa melawan kekuatan gelap. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya," Sefenfor menambahi lagi.
"Lalu, bagaimana cara menyembuhkannya?" tanya Liliya.
Ashnard mencoba melihat jelas wajah mulus pria itu dari dekat. Kulitnya seputih kulit gadis yang bermandikan air susu. Terlihat urat-urat hitam yang menjalar di lehernya seperti akar pohon. Ia juga menemukan luka tusukan di bagian perutnya yang sudah mengering
Tanpa diduga, mata pria itu terbuka lebar, ia melirik Ashnard dan menarik kerah lehernya. "Pedangku ... ada yang melepas segelnya. Bantulah aku ... sebelum kegelapan menguasai tanah ini sekali lagi," bisiknya. Setelah itu ia kembali tak sadarkan diri lagi.
Ashnard merasa tercekik saat pria itu berbicara padanya. Bahkan, suaranya masih terbayang-bayang di kepala Ashnard seolah tak bisa dilupakan.
Tak berhenti di situ saja, perut Ashnard terasa seperti dipelintir. Ia berusaha bersandar pada Liliya, tapi seluruh tubuhnya mendadak tak berfungsi. Ashnard pingsan saat itu juga.
Pikirannya berhenti di dalam dunia yang gelap. Tapi, ia mendengar suara-suara yang menggema di dunia tersebut. Itu suara Liliya yang mengkhawatirkannya.
***
"Suara pria menakutkan tadi seperti aku juga mendengarnya dan bergema di sini," gumamnya.
Tiba-tiba, ilusi Ashnard yang awalnya berdiri kaku, bergerak dengan tak lazim. Seperti gerakannya terpotong-potong, kaku dan tak normal. Lalu, ilusi itu kembali berdiri seperti sebelumnya.
"Apa yang baru saja terjadi?"
***
"Kenapa kau tidak menggunakan kekuatanmu, Liliya?" tanya Reibo heran. "Kau tak bisa selamanya menyembunyikannya, kau tahu itu."
Lalu, Ashnard terbangun dengan sendirinya. Ia melihat air mata Liliya yang hampir tumpah. Ashnard lalu menatap Sefenfor dan Reibo dengan penasaran. "Apa kalian mendengarnya?"
"Dengar apa?"
"Nous. Nous tadi mengatakan sesuatu padaku. Apa kalian tidak melihatnya?"
"Itu tidak mungkin. Kami dari tadi di sebelah Nous, dia tak bergerak sedikitpun, membuka mata pun tidak," sanggah Reibo.
"Itu benar-benar suaranya. Percayalah padaku! Dia benar-benar berkata sesuatu padaku," Ashnard bersikeras.
Sefenfor menghampiri Ashnard dan bertanya, "Apa yang dia katakan?"
"Sesuatu tentang pedangnya ... dia membutuhkan bantuanku, dan kegelapan akan segera menguasai tanah ini lagi," jelas Ashnard.
Sefenfor dan Reibo saling melempar pandangan satu sama lain. Dari pandangan itu, mereka terkejut dan bingung. "Segel Nebulius telah tercabut? Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa?" gumam Reibo.
"Itukah kekuatan astral yang kau maksud?" Sefenfor melempar pertanyaan ke Ashnard yang berusaha bangkit dengan bantuan Liliya.
"Kekuatan astral?" Reibo juga memberikan pertanyaan pada Ashnard.
Ashnard melirik ke Liliya yang memapahnya. Seharusnya dia tak memberitahukan ini pada siapapun. Ashnard tak ingin memberitahukan soal kekuatannya ini pada Liliya. Tapi, sudah terlambat. Liliya ikut memandangnya penasaran. Rahasia tak bisa selamanya terpendam, suatu saat rahasia itu pasti akan terungkap dengan sendirinya.
Ashnard mengangguk, "Ya. Aku memiliki elemen astral."
Reibo mencengkeram kedua bahu anak itu dan menggoyangkannya. Wajahnya yang sebelumnya terlihat menyeramkan di mata Ashnard, sekarang tampak sangat gembira.
"Jika itu benar, segel telah terlepas dan kegelapan telah kembali, dunia akan dalam bahaya. Itu menjelaskan kenapa Nous menyerangku. Pikirannya telah tertelan oleh kegelapan. " Pria berjanggut itu lalu menatap penuh harapan pada anak lelaki berusia 15 tahun di depannya. "Jika Nous berharap padamu, maka, kita bisa melakukannya! Ashnard putra Ebert, kau akan mencari pedang itu dan menyelamatkan Winfor dari kegelapan."
Ashnard menatap dengan bingung. "Memangnya pedang apa itu?"
"Pedang Nebulius. Pedang yang bisa menaklukan kegelapan, sama seperti pedang ayahmu ... pedang itu juga bisa menyelamatkan Nous dari kegelapan."
Mengetahui bahwa ini bukanlah tujuannya datang ke sini, ia menolak, "Tidak. Aku tak mau! Aku tak bisa melakukannya!"
"Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi, hanya ini satu-satunya cara," desak Sefenfor.
Ashnard berbalik. "Kau bilang kau tak bisa membantuku, maka aku juga tak bisa membantumu."
"Jika kami sendiri bisa melakukannya, aku tak perlu memohon padamu, manusia kecil. Nous berharap padamu. Pada kekuatanmu. Itu berarti kemampuanmu kuat dan sangat dibutuhkan. Ini mungkin adalah takdirmu."
Saat Ashnard merasa tak ingin melakukannya, ia teringat akan petualangan Roc yang tetap ia lakukan, meskipun penuh dengan bahaya. Ia masih kecil, tidak seperti Roc yang dewasa, Ashnard berpikir jika ia tak akan bisa melakukan seperti Roc. Karena itu dia menolaknya.
"Jika kau tak melakukannya, rumahmu, kotamu, semua orang yang kau sayangi akan lenyap. Tanah ini, dunia yang indah ini akan hilang dan hanya tersisa kenangan saja. Kau tak mau hal itu terjadi, kan?"
Tentu saja. Ashnard tak mau jika ia tak bisa meraih mimpinya untuk berkeliling dunia. Ia tak ingin ibunya hilang, tak ingin Liliya hilang, tak ingin tempatnya untuk kembali dari perjalanannya yang panjang hilang. Sungguh rayuan yang sangat kuat. Akhirnya, Ashnard memilih untuk melakukannya demi keinginan kuatnya pada dunia.