Pegunungan Putih terletak di utara, membatasi Negara Winfor dan Negara Albens Puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi itu menjadi tempat hunian para Naga Putih.
Iklimnya sangat dingin dan medannya sulit untuk dilewati. Naga dan makhluk berbahaya lainnya berkeliaran di tempat ini sebagai tempat bermain mereka. Oleh karena itu, pegunungan ini di sebut sebagai tempat yang sangat berbahaya.
Liliya berkata kalau dia cukup beruntung melewati semua bahaya itu dan bertemu Reibo. Ia hanya memakai pakaian tebal dan mengikuti instingnya saja. Berbekal ingatannya itu, ia sangat optimis bisa menuntun Ashnard. Sementara Ashnard hanya bisa percaya padanya.
Setelah mereka selesai bersiap-siap: memakai pakaian yang tebal, membawa lentera, makanan dan minuman, mereka pun siap berangkat.
Ashnard tak memberi tahu siapapun tentang keberangkatannya, begitu juga Liliya. Mereka menggunakan lubang di dinding kota untuk keluar secara diam-diam.
Baru beberapa saat mereka keluar dari kota, terdengar seruan seseorang yang berniat menghentikan mereka. "Apa yang kalian lakukan?" Reinhard dan Ulfang mendekati mereka dengan pandangan yang penuh pertanyaan.
"Tidak ada," jawab Ashnard, berusaha tenang agar tidak ketahuan.
"Lubang di dinding kota itu, apa kalian yang membuatnya?" tanya Reinhard.
"Aku menemukannya sudah lama seperti itu," jawab Liliya.
"Kenapa kalian keluar dari kota secara diam-diam? Mau ke mana sebenarnya kalian dengan pakaian seperti itu?" Reinhard terus menghujani pertanyaan, berharap ia mendapat apa yang ia inginkan.
"Kami ingin mendaki gunung, ya kan?" Ashnard menatap Liliya, memberikan kode. Liliya mengangguk.
Reinhard mendengus tak percaya, "Sepertinya kalian hanya ingin cari mati saja. Ya sudah, aku juga tidak akan peduli, tapi Liliya ...." Reinhard berjalan perlahan mendekati Liliya. "Aku diminta ayahmu untuk membawamu pulang. Ia mencarimu."
"Katakan pada ayahku, aku akan pulang nanti."
Saat Liliya berbalik dan ingin pergi, Reinhard mencengkeram tangan Liliya dengan kuat. "Kau tidak boleh pergi. Ini perintah ayahmu." Ia lalu mendekat dan berbisik ke Liliya, "Aku tahu rahasiamu, Liliya. Rahasia keluargamu. Jika kau tidak mematuhiku, tak lama itu akan semua orang akan tahu. Kau tak mau itu terjadi, kan?"
Ashnard segera melepaskan tangan Reinhard. "Dia bilang, dia tidak ingin pergi."
Reinhard mendengus sekali lagi, "Bersikap seperti ksatria penjaganya. Apa masalahmu, Tuan Ksatria? Apa kau tak memiliki teman hingga memaksa Liliya untuk bermain bersamamu?"
Ashnard terpancing dengan ucapannya. Emosinya menguasai hatinya, ia berpaling ke Reinhard dan mengerutkan keningnya. "Aku tak memiliki masalah apapun denganmu. Biarkan Liliya pergi dan melakukan apapun yang dia suka. Menyerahlah! Ini keinginannya, kau tak bisa melakukan apapun."
Reinhard yang dilahirkan sebagai seseorang yang patuh terhadap prinsip keluarga Asberion, tak terima jika melepaskan tugas yang sudah diberikan padanya. Tugas yang membantunya untuk mendapatkan kisahnya sendiri.
Ambisinya itu berkobar menjadi api, api itu menyala saat amarahnya meluap, seperti cairan panas yang tak bisa didinginkan oleh apapun. Terbentuk oleh rasa takut, iri dan sebuah paksaan.
Amarahnya itu terwujud pada sebuah tinju yang dilayangkan tepat mengenai rahang kiri Ashnard. Angin melapisi tinjunya dan membuat Ashnard terpental ke belakang.
Dalam detik-detik sebelum kesadarannya yang menghilang, Ashnard merasakan benturan yang sangat keras. Tidak hanya melukai rahangnya saja, tapi juga kepalanya.
Benturan itu seolah-olah membuat dunia berguncang, langit seperti runtuh dan awan terlihat meluruh. Dengungan menguasai pikiran Ashnard sebelum ia mendengar suara bisikan.
***
Benturan itu juga membuat getaran pada ilusi Ashnard di ruang kosong.
"Dasar payah! Kenapa kau kalah darinya? Jangan bikin tubuh milikku ini kelihatan lemah. Ayo bangun, Ash. Cepat bangunlah!"
***
Bisikan itu terdengar seperti suara orang-orang yang mengelilinginya, padahal ia ingat betul tak ada orang di luar kecuali Liliya dan dua orang yang menjengkelkan itu.
"Baiklah, hentikan!" teriak Liliya. "Baiklah, aku akan menerima perjanjiannya, tapi dengan syarat ... jangan beritahu ayahku soal ini."
Mata Reinhard berbinar. "Kau menyetujuinya? Sepakat! Aku tidak akan memberitahu ayahmu dan melepaskan bocah itu," ucapnya. "Aku tak sabar menantikannya, Liliya." Reinhard dan Ulfang pun pergi meninggalkan Liliya dan Ashnard yang tergeletak tak sadarkan diri.
Kesadarannya pun kembali setelah beberapa menit kemudian. Ia merasakan tanah yang tidak lagi keras, melainkan empuk. Saat Ashnard membuka kembali matanya, ia melihat wajah khawatir Liliya yang begitu dekat. Ashnard menyadari jika dia tertidur di pangkuan Liliya.
"Kau sudah bangun, Ash?" Senyuman indahnya menjadi pemandangan pertama yang Ashnard lihat.
Ashnard perlahan mengangkat tubuhnya, yang dibantu oleh Liliya, lalu duduk.
"Aku tadi mendengar suara orang-orang, Liliya," gumam Ashnard sambil mengusap pipi kirinya yang masih terasa perih.
"Suara orang-orang? Tapi, tidak ada siapapun di sini."
"Aku tahu itu. Hanya saja aku benar-benar mendengarnya," ucap lelaki itu. "Omong-omong, dimana mereka?" Ashnard menyapu pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan Reinhard dan Ulfang.
"Mereka langsung pergi setelah kau tak sadarkan diri."
"Aku tak percaya aku kalah dalam sekali pukulan saja, apalagi dengan orang sepertinya. Sangat memalukan." Ashnard mengesah kecewa.
"Itu wajar saja. Dia kan berasal dari keluarga Asberion. Tak mungkin kau bisa mengalahkannya."
"Aku akan memasukannya ke daftar orang yang akan menjadi pembalasan dendamku."
"Dasar, kau ini." Liliya menyikut lengan Ashnard. "Bagaimana sekarang, Ash? Apa kau masih ingin lanjut?"
Ashnard tersenyum padanya. Jawaban yang seharusnya gadis itu sudah ketahui. Tak ada yang bisa menghentikannya, kecuali kematian itu sendiri. Ashnard dan Liliya pun bangkit dan bergerak menuju ke pegunungan.
Sebuah barisan raksasa batu menjulang tinggi di langit. Tak bergerak seinci pun, tapi melihatnya saja sudah membuat semua orang tunduk. Selimut putih melapisi seluruh punggungnya seperti sebuah zirah. Di salah satu badannya, ada sebuah gua dengan cahaya kemerahan.
Sefenfor pun mendaratkan elangnya di sekitar gua itu. Obor dan lentera di pintu gua masih menyala hangat, tapi ia tak melihat jejak keberadaan kawannya.
Di gua itu tersimpan akan berbagai macam senjata, meja kerja, perlatan menempa, dan tungku pembakaran yang dibangun di dinding gua.
Sudah memeriksa berbagai sudut gua, ia tak menemukan sahabatnya, Reibo. Sefenfor semakin merasa cemas. Ia keluar dari gua dan mencoba memikirkan apa pun yang bisa ia dapatkan. Saat itulah ia mendengar sebuah dentingan senjata yang menggema di antara pegunungan. Sefenfor segara menaiki Ekarios dan menuju sumber suara itu.
Sefenfor melihat sejumlah Naga Putih terbang berputar-putar di satu tempat. Di sebuah celah datar yang dihimpit dinding pegunungan itu, dua orang tampak sedang dalam pertempuran yang sengit.
Mengetahui jika salah satunya adalah Reibo, Sefenfor melompat dari elangnya di ketinggian. Menghunuskan pedang peraknya pada sosok misterius berjubah yang menjadi lawan Reibo itu. Dentuman hebat hampir mengguncang gunung dan membuat longsor. Sosok itu berhasil menangkis serangan Sefenfor dengan sebuah pisau.
Sefenfor lalu menghampiri Reibo. "Apa yang terjadi di sini? Siapa dia?"
"Kau tidak mengenalnya?" Reibo bertanya balik pada Sefenfor.
Memotong pembicaraan kedua pria itu, sosok berjubah mengeluarkan sebuah kepulan asap gelap dari balik jubahnya. Asap hitam itu bergerak ke arah Sefenfor seperti memiliki kesadaran.
Sefenfor dengan cepat menebaskan angin yang menghapus asap hitam. "Kekuatan ini ... berasal dari jurang!"
Reibo mendengus mengejek, melihat kebingungan pada wajah Sefenfor. "Kau akan lebih terkejut saat mengetahui wajah orang itu."
Sefenfor dan Reibo pun bergerak bersamaan, menyerang sosok berjubah dari kedua sisi. Kapak Reibo dan Pedang Sefenfor beradu menimbulkan angin kencang lainnya.
Saat di udara, sosok berjubah membuat sebuah proyektil hitam yang mengincar Sefenfor. Sefenfor terus menghindar dan menangkisnya dengan sekuat tenaga. Karena ia sadar jika terkena serangan itu maka dipastikan dirinya akan terluka parah.
Reibo memutar kapaknya di udara, menarik angin pegunungan yang menusuk. Kapak yang terbuat dari tanduk Naga Putih berputar semakin kencang, badai salju tercipta di sekitarnya.
Meskipun dalam zirah peraknya, Sefenfor dapat bergerak cepat dan lincah karena bantuan angin. Dia melapisi pedangnya dengan angin, lalu dalam satu kedipan mata, ia melesat sangat cepat, membenamkan pedangnya pada perut sosok berjubah itu.
Sefenfor terus mendorongnya, hingga pedang yang menembus sosok berjubah itu tertanam dalam dinding gunung. Terkunci dalam tikaman pedang perak dan gunung, sosok itu tak berkutik.
Sefenfor segera menghindar saat badai salju dahsyat dilepaskan dari kapak Reibo. Menghantam dengan kekuatan setara badai salju asli, membuat para gunung bergetar sesaat. Sosok itu pun akhirnya kalah.
Sefenfor bergerak perlahan mendekati sosok berjubah itu. Mata Sefenfor melebar penuh ketidakpercayaan saat kegelapan melepas wajah yang tak berdaya di balik tudungnya. Itu adalah wajah Nous, temannya, dan salah satu dari Empat Penjaga Angin.