Hari-hari yang damai, lebih tenang dan cerah. Ashnard menuruni anak tangga dengan senyuman lebar, hatinya berbunga-bunga seperti telah mencapai tujuan utama dalam kehidupan. Ia lalu menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar dan sibuk memandangi keindahan langit yang biru.
Ia bersenandung bersama burung-burung pagi, menyapa para pelayan dengan ramah, membantu membersihkan taman, dan menyiapkan sarapan pagi.
Edda yang melihat putranya tidak seperti biasanya, menatap dengan heran dan penuh curiga. "Ash, apa kau memakai obat-obatan?"
"Tidak perlu obat-obatan untuk membuatku bahagia, bu," jawab Ashnard yang sedang merapikan pagar semak sambil menggoyangkan pinggulnya.
"Lalu, apa?"
Senyuman Ashnard yang ditujukan pada ibunya, bermaksud agar wanita itu sendiri yang menebaknya.
"Ohhh ... Ibu paham." Edda menyipitkan matanya. "Pasti soal Liliya, ya? Apa yang sudah kalian lakukan?"
Ashnard mendengus, "Kami memandangi malam bersama di puncak kincir angin."
Edda mengesah kecewa. Wanita itu merasa jika ia terlalu dini untuk berharap pada putranya. Padahal, ia percaya jika Ashnard pasti bisa mendapatkan hati seorang gadis, hanya saja Ashnard yang masih belum siap. Yang Edda takutkan, jika Ashnard terlambat dan tak bisa memutar kembali waktu yang sudah terlewat
Sesuai janji, siang ini Liliya dan Ashnard akan menemui Sefenfor. Mereka bertemu di tempat yang sudah seperti tempat penuh makna bagi mereka, yaitu padang bunga.
Liliya datang lebih awal dan terlihat sedang mengobrol dengan Sefenfor. Tidak seperti sebelumnya, tak ada kabut. Langit benar-benar tampak jelas dan cerah dengan bunga yang mewarnai penglihatan Ashnard.
Sefenfor menunggunya. "Jadi, kau masih tetap bersikeras dan berharap untuk dilatih olehku agar menjadi kuat?"
"Tidak, kali ini berbeda." Ashnard menyerahkan gagang pedang pemberian ayahnya yang dia bawa ke Sefenfor.
"Apa itu?"
"Perhatikan baik-baik."
Sefenfor mengambil gagang itu dan mengamatinya. "Sebuah gagang tanpa bilah? Hm, cukup menarik ... lalu ukiran ini ... Reibo? Ini benar-benar buatan Reibo! Aku mengenalnya!" Sefenfor menatap Ashnard tak percaya. "Bagaimana kau memilikinya?"
"Itu hadiah pemberian ayahku yang sudah lama pergi."
Lalu, Sefenfor menunjukkan pedang peraknya. Gagangnya memiliki sebuah ukiran yang sama, sebuah pria berjanggut. Saat sarung pedang itu dibuka, suaranya begitu nyaring seperti pekikan seekor elang, dan kilatan perak bilahnya sangat mempesona mata Ashnard.
"Cantik, bukan? Reibo adalah seniman yang hebat. Jenius! Aku, Nous, dan Zefiria tak pernah kecewa dengan hasil karyanya."
"Ya, ya, terserah. Bisakah kau antarkan kami padanya? Aku ingin lebih tahu tentang pedang ini. Dengan begitu, aku bisa memahami apa maksud ayahku memberikan hadiah seperti ini."
Tatapan di matanya menyiratkan keinginan yang sangat dalam, seorang putra yang ingin mengenal ayahnya. Sefenfor memang berkata kalau ia tak akan membantunya untuk mencari kekuatan, yang dimana pedang itu adalah salah satu alasan. Tapi, entah mengapa, ia tak bisa menolaknya. Liliya yang juga memohon padanya, membuat Sefenfor tak memiliki pilihan lain.
Para Penjaga Angin memiliki sebuah dua relik suci yang memiliki kekuatan dahsyat. Sebuah senjata yang mewakili kemampuan mereka dan sebuah terompet. Terompet itu disebut Pemanggil Angin.
Pemanggil Angin digunakan Para Penjaga Angin untuk mengatur siklus perputaran angin di Winfor. Setiap 3 bulan sekali, akan terdengar sebuah tiupan terompet di langit yang menandakan pergantian angin dan musim. Tak pernah terlambat atau berubah sedikitpun.
Pemanggil Angin juga digunakan sebagai alat komunikasi antar Para Penjaga Angin. Dalam komunikasi melalui terompet ini, tidak semua orang bisa mendengarnya. Hanya mereka yang diizinkan agar terhindar dari kebingungan di antara warga.
"Kami semua sudah lama sekali tak bertemu kembali. Tapi, akan kucoba." Sefenfor menggunakan terompetnya yang terbuat dari logam untuk memanggil temannya yang bersemayam di gua gunung bersalju. Bunyi lantang dan tampak gagah yang hanya bisa didengar oleh peniup dan pendengar yang dituju itu merambat melewati langit dan bergema di pegunungan.
Suaranya berlangsung lama, kemudian senyap. Sefenfor berdiam diri, menunggu balasan dari Reibo.
Tak ada respon, bahkan langit hanya terdengar sangat sunyi. Sefenfor yang telah menunggu cukup lama menjadi resah.
"Apa yang terjadi?" tanya Ashnard penasaran melihat wajah gelisah Sefenfor.
"Ia tak meresponnya. Reibo tak merespon panggilanku. Ada sesuatu yang tak beres," tebak Sefenfor. "Kalian kembalilah ke rumah. Aku akan memeriksanya."
"Tidak! Tunggu, biarkan kami ikut-"
Sefenfor mengabaikan ucapan Ashnard, dan dengan menaiki Ekarios ia langsung melesat menuju ke pegunungan. Meninggalkan Ashnard dan Liliya yang tak mendapatkan jawaban.
"Bagaimana sekarang? Apa kita tunggu di sini sampai Tuan Sefenfor pulang?" tanya Liliya.
Yang Ashnard bisa dapatkan hanyalah kebenaran tentang pembuat senjata ini. Tapi, itu masih belum cukup baginya. Ia menginginkan lebih banyak kebenaran dan jawaban. Memikirkan Sefenfor yang tiba-tiba saja meninggalkannya, membuat pikirannya pusing.
Semakin ia terlarut memikirkan pesan dari ayahnya, ia mendapatkan sesuatu.
"Kau sendirilah yang harus mencari bilah pedangmu." Pesan itu tertulis di kertas yang berada di dalam kotak itu, bersamaan dengan isi hadiahnya.
Ashnard memahami maksud dari pesan itu, jika ia ingin jawaban dari pedang dan pesan ayahnya maka dirinya sendirilah yang harus mencari jawabannya. Jika ingin segera sampai di tujuannya, maka dia harus bergerak melakukannya. Sangat sederhana.
Menyadari hal itu, Ashnard bertanya pada Liliya, "Apa kau juga kenal dengan Reibo?"
"Ya, aku juga pernah mengunjungi bengkelnya di gunung, walaupun tak sesering di sini. Aku juga pernah mengunjungi Tuan Nous dan Nyonya Zefiria," jawab Liliya. "Memangnya kenapa?"
Ashnard bangkit dan memegang pundak Liliya. "Kau yang terbaik, Liliya. Baiklah, kita akan menuju ke tempat Reibo."
"Tunggu. Tuan Sefenfor bilang terjadi sesuatu di gunung. Sebaiknya kita tak pergi ke sana, Ash."
"Aku sendirilah yang harus mencari bilah pedangnya, itulah pesan yang ingin disampaikan ayahku padaku. Aku sendirilah yang harus mencari jawabannya." Ashnard lalu menatap Liliya dengan serius. "Kau akan membantuku, bukan?"
"Ya ... t-tapi, bagaimana jika benar terjadi sesuatu di sana?"
"Jika terjadi sesuatu, aku akan melindungimu," tegas Ashnard.
Senyuman di wajah lelaki itu, membuat Liliya sedikit tenang. Memberikan sebuah keberanian di dirinya yang sempat takut pada apa yang akan menimpanya jika tetap melakukannya. Daripada ia menunggu di rumah dengan segala peraturan ketat ayahnya, ia lebih memilih untuk mempercayai Ashnard dan membantunya mendapatkan jawaban.
"Baiklah. Aku akan membantumu."
***
"Pertanyaan cepat, apa nama kekuatan yang kau miliki?" Ia menatap sangat dekat pada ilusi Ashnard. "Apa? Air dan astral? Tet tot! Salah! Jawabannya adalah aku!
"Tidak masuk akal? Apa maksudmu tidak masuk akal? Jika aku tak mengiyakan untuk dihidupkan kembali maka kau tidak akan mengalami semua ini.
Ia lalu berhenti ketika menyadari sesuatu. "Tunggu, bagaimana jika kau tetap akan mengalami semua ini meskipun tanpa aku. Jika itu benar, lalu apa tujuanku di alam semesta yang luas ini? Apakah semua tindakan yang kulakukan tidak akan berpengaruh pada materi atau alam di luar sana? Apakah aku hanyalah zat yang sesungguhnya tidaklah nyata sehingga segala tindakanku tidak akan berpengaruh karena aku bukanlah bagian dari dunia ini? Otakku akan meledak."