Udara di hutan semakin pekat dan menyengat seperti bau gosong, meskipun tak ada jejak kebakaran sama sekali. Bau yang menyelimuti hutan itu membuat para hewan ketakutan, berlari sejauh mungkin dari bau yang bisa membahayakan mereka.
Bau ini sudah mencemari desa. Sumber air yang awalnya bersih dan jernih, secara mengejutkan berwarna hitam dalam semalam. Menjadi kental dan berbau busuk.
Warga desa melaporkan hal ini kepada petugas kota, tapi keluh kesah mereka tak didengar. Anak laki-laki dari keluarga Asberion lah yang satu-satunya tertarik dan berniat untuk menyelidiki masalah ini sendiri. Tentu saja dengan bayaran yang akan membuat namanya terkenal.
Keluarga Asberion adalah keluarga bangsawan ternama di Winfor. Semua ksatria-ksatria hebat lahir dari keluarga ini, salah satunya pahlawan yang dijuluki Si Taring Merah. Kekuatan mereka sebagai Elemagnia tidak diragukan lagi, bahkan Kekaisaran Magnolia pun mengakui kemampuan bertarung mereka.
Setiap keturunan Asberion memiliki kisah mereka sendiri, tidak ada yang tidak. Peran mereka tercatat di setiap sejarah selama ratusan tahun. Setiap satu kisah terukir maka semakin terpandanglah keluarga Asberion di mata orang-orang. Semakin tinggi pula ekspetasi masyarakat.
Pandangan orang lain pada keluarga Asberion yang semakin meninggi, secara tak langsung menciptakan sebuah peraturan tak tertulis bagi para pemilik nama tersebut. Sebuah hukum yang telah menjadi kewajiban, sangat wajib hingga siapapun yang tak melakukannya akan mendapatkan hal yang lebih parah dari sekadar kematian.
"Para Asberion yang tak memiliki peran dan kisah mereka sendiri akan menjadi kegagalan, keburukan, dan dosa besar dalam sejarah, sebuah luka yang tak akan bisa disembuhkan."
Hal itulah yang mendasari Reinhard untuk menyelidiki masalah yang tak ditanggapi para prajurit kota. Ia tak ingin menjadi Asberion yang gagal. Ia tak ingin menjadi Asberion pertama yang tak memiliki kisahnya sendiri.
Untuk membuat kisahnya sendiri, Reinhard akhirnya datang ke hutan itu bersama temannya, Ulfang.
Ulfang sendiri berasal dari keluarga Ruishorn. Mereka mempercayai bahwa kekuatan di atas segalanya. Tapi, mereka tak pernah mengalahkan Asberion dalam hal apapun. Mengetahui jika mengalahkan Asberion adalah hal yang mustahil, mereka pun memutuskan untuk bersekutu dengan Asberion. Dengan begitu, tak akan ada siapapun yang berani menjatuhkan mereka.
Di hutan itu, Reinhard dan Ulfang mengikuti udara busuk yang mengantar mereka di sebuah sungai. Seperti yang warga desa katakan, sungai itu sudah tercemar dengan semacam cairan berwarna hitam.
"Menurutmu itu apa?" Reinhard mencolek cairan itu dengan ranting dan mengamatinya.
"Itu seperti tinta. Mungkin cumi-cumi raksasa?" duga lelaki dengan rambut yang dikuncir kuda, seperti para Ruishorn lainnya.
"Tidak mungkin ini cumi-cumi, ini pasti sesuatu yang lain," sanggah Reinhard.
"Bagaimana jika tidak?"
Reinhard bangkit dan menatap mata temannya yang ragu tersebut, "Kau tidak mempercayaiku, Ulfang? Ini adalah saatnya untuk membuktikan diriku sebagai Asberion. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Jika kau tidak ingin membantuku, tinggal pergi saja. Tak ada yang menghalangimu."
Ulfang tidak akan pergi. Kebersamaan mereka selama ini tidak akan membuat Ulfang mengabaikannya begitu saja. Ia juga memiliki ambisinya sendiri. Dengan membantu temannya itu, nama Ruishorn juga bisa berdiri berdampingan dengan Asberion di atas.
Reinhard menggunakan elemen anginnya untuk mencari bau yang lebih pekat, yang menurutnya merupakan sumber dari pencemaran ini. Sambil mengikuti arah angin, mereka menyusuri sungai.
Semakin terasa bau itu hingga ke ujung batang hidung mereka, semakin kental dan gelap sungainya tercemar. Sumber dari semua bau dan cairan ini, sedang tergeletak di sungai. Seekor makhluk bertubuh besar dengan bulu-bulu hitam yang runcing. Tubuhnya yang besar menghalau aliran sungai.
"Makhluk apa itu?" bisik Ulfang, tak ingin membuat makhluk itu mengetahui keberadaan mereka.
"Tidak tahu." Reinhard berjalan perlahan menuju makhluk itu.
Ulfang menghentikannya. Ia mencengkeram pundak Reinhard. "Sebaiknya kita kembali ke kota terlebih dulu. Kita tidak tahu makhluk apa itu."
"Kalau kau takut, lupakanlah membuat nama keluargamu bersinar. Aku akan melakukannya."
Reinhard memanggil sebuah angin di telapak tangannya dan bersiap. Meskipun mereka sudah begitu dekat, tapi makhluk itu tak bergerak. Reinhard dan Ulfang akhirnya sadar jika cairan hitam itu adalah darah dari makhluk yang sudah mati itu.
Mereka berusaha melihat lebih jelas lagi makhluk itu. Tampak sesosok menyerupai serigala raksasa dengan mata berjumlah enam. Cakar dan taringnya lebih besar dari serigala biasa. Terdapat sebuah luka tusukan tombak di lehernya, kemungkinan yang menyebabkan makhluk itu mati. Mereka bertanya-tanya, siapa yang telah membunuh makhluk itu?
Setelah Reinhard dan Ulfang menemukan mayat monster, mereka kembali ke kota dan melaporkannya. Kegemparan di kota yang disebabkan oleh raja dan para ksatrianya terjadi karena masalah ini.
Raja Heistiar pada saat itu sedang berjalan di kota, mencari udara segar sebelum para prajurit memberinya kabar yang mengejutkan.
Winfor memiliki empat dewa yang bertugas untuk mengatasi ancaman yang sangat berbahaya, salah satunya adalah makhluk yang ditemukan Reinhard dan Ulfang. Makhluk itu tak hanya ada satu, dan tak ada manusia yang bisa membunuhnya.
Disebutkan dalam catatan sejarah, bahwa makhluk itu bernama Raivolka. Monster mengerikan menyerupai serigala yang menguasai Winfor jauh sebelum Empat Dewa Angin datang. Mereka hidup di dasar jurang kegelapan yang dijaga oleh Nous. Dan sekarang, entah bagaimana mereka terbebas.
Raivolka seharusnya tak mungkin berkeliaran sangat dekat dengan pemukiman. Para dewa seharusnya mencegah makhluk itu untuk menyelinap keluar dari kegelapan. Tugas ini hanya para dewa lah yang bisa melakukannya. Tapi, seperti kata para prajurit, dewa yang bertugas menahan makhluk itu tak ada.
Raja panik dan kebingungan karena seharusnya ini bukan tugas untuk manusia. Keputusan yang ia bisa ambil hanyalah menunggu. Namun, pertanyaannya, menunggu sampai kapan?
Raivolka tidak akan menunggu dengan sabar di kegelapan sembari para dewa menghabiskan mereka satu per satu. Dengan insting untuk menguasai, mereka akan segera merangkak keluar dari jurang kegelapan dan memangsa semua kehidupan seperti dahulu kala.