Chereads / Pengendali Elemen Terkuat / Chapter 5 - Satu Hari Bersamamu (pt.2)

Chapter 5 - Satu Hari Bersamamu (pt.2)

Liliya berkata jika dia ingin bermain dengan hewan, tapi tak menyebutkan hewan apa. Ashnard tak menyangka bahwa hewan yang dimaksudnya adalah kuda.

Kuda di istal adalah kuda yang jinak. Tidak semua kuda di sini adalah kuda perang, malahan ada beberapa kuda khusus hanya untuk perayaan. Kuda itu akan menarik empat orang berkostum seperti Empat Dewa Angin di atas kereta yang dihias berbagai dekorasi cantik, mengelilingi kota dan diiringi pawai musik.

Menaiki kuda untuk pertama kalinya adalah pengalaman yang menegangkan. Ashnard yang tak pernah menaiki kuda sebelumnya, ditertawakan oleh Liliya karena rasa takutnya yang berlebihan.

Ashnard berpikir jika gadis itulah yang sebenarnya gila. Burung seukuran gajah sekalipun tidak akan membuatnya takut, justru menganggapnya selayaknya boneka perempuan yang tak berbahaya.

Ashnard dan Liliya berlarian mengambil jerami untuk pakan kuda, mengambil ember air dan memandikannya, lalu membersihkan kandang kuda yang baunya membuat Ashnard ingin memuntahkan roti buatan nenek toko bunga.

Istal kota menjadi ramai karena keberadaan Ashnard dan Liliya di sana. Tak jarang Liliya menjahili Ashnard dengan kotoran kuda atau menggelitik telinga Ashnard dengan ujung jerami. Tingkah laku mereka membuat para penjaga istal terhibur dan mengajak mereka untuk lebih sering bermain di sini.

Hari perlahan menjadi gelap. Tinggal satu tujuan terakhir untuk menutup kebersamaan mereka hari ini. Saat mereka menuju tujuan selanjutnya, ada keramaian yang menarik perhatian mereka, terutama pada salah satu sosok di antara keramaian tersebut.

Dengan mahkota yang berkilauan, siapapun sudah tahu kalau itu adalah sang raja. Raja dengan beberapa prajurit berzirah lengkap tampak membicarakan sesuatu di tengah jalan yang membuat para warga penasaran.

Di kerumunan itu, juga ada pria berambut pirang sama seperti Liliya. Pria itu adalah ayah Liliya yang sontak menghampirinya saat melihatnya. "Liliya, apa yang kau lakukan di sini?" Wajah pria itu tampak pucat, begitu pula raja dan ksatrianya.

"Ada apa, yah? Kenapa raja ada di sini?" tanya Liliya.

"Kenapa kamu di luar? Cepatlah pulang ke rumah dan jangan bermain di luar lagi," perintah ayahnya, tapi terdengar sedikit nada yang penuh emosi.

"Tidak mau. Aku ingin bermain sebentar lagi." Liliya menepis tangan ayahnya.

"Apa yang kau lakukan, Liliya!? Berani sekali kau tak menuruti ayah!" Urat di wajah pria itu menegang. Nyala api di matanya yang melebar membawa tangannya untuk mencengkeram pundak Liliya sangat kuat.

Liliya berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dan menjauh. Sementara Ashnard memfokuskan dirinya pada hal lain. Hal yang dibicarakan raja dan sempat tertangkap telinganya.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah Nous yang berkuasa di sana? Tidak mungkin dia membiarkan makhluk itu merayap keluar dari jurang, kan?"

"Kami sudah berusaha mencarinya, Yang Mulia, tapi ia menghilang, tanpa tanda yang ditinggalkan, tanpa jejak," kata salah satu prajurit.

"Bagaimana salah satu Penjaga Angin menghilang begitu saja? Apa yang membuat ia melupakan tugas-tugasnya dan melanggar sumpah yang telah dibuat ribuan tahun yang lalu?" Raja bertanya-tanya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Yang Mulia?"

"Lebih baik kita tunggu saja kabar dari Penjaga Angin lainnya. Kalian berjaga di sekitar kota saja. Jangan sampai ada warga kota yang menjadi korban."

"Bagaimana jika tidak ada kabar dari mereka?"

"Kalau begitu ... kita harus berjuang sendiri."

Mata Ashnard dan sang raja sempat bertatapan, sebelum Liliya menariknya dan membawanya pergi menjauhi kerumunan. Menjauhi ayahnya yang berdiri berang di tengah kegelisahan para ksatria, tapi tak mengejarnya.

Memandangi seluruh kota yang berkilauan saat malam dari atas adalah tujuan terakhir Liliya. Ia membawa Ashnard ke puncak menara kincir angin yang lebih tinggi daripada bangunan apapun di kota.

Kerlap-kerlip cahaya kota memberikan keindahan yang sebanding dengan langit berbintang. Kakinya berayun di ketinggian sambil bersandar pada pagar menara, gadis itu merenung selama beberapa saat sebelum menyadari bahwa Ashnard memandanginya sedari tadi.

"Ada apa?" tanya gadis itu.

"Tidak, aku hanya penasaran, apakah hal yang tak kau sukai itu adalah ayahmu?" Ashnard merujuk pada kejadian di kota.

"Kau benar. Aku tak menyukai di rumah, karena itu aku selalu bermain di luar. Ayahku selalu mengatur kehidupanku, membuatku merasa seperti di penjara dengan segala peraturannya," ungkap Liliya. Angin malam mengibarkan rambutnya, mengungkapkan wajah muram gadis itu.

"Jadi, itu alasanmu mengajakku keluar seharian? Menjauhi ayahmu."

Liliya hanyalah gadis yang penuh rasa penasaran pada dunia luar saja. Keluarga bangsawan memang penuh akan etika dan peraturan yang ketat, bertentangan dengan keinginan Liliya untuk bebas.

"Aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu, jadi kau tak perlu khawatir." Liliya menyadari kekhawatiran Ashnard tanpa sedikitpun melihatnya.

"Kau pintar mencari tempat yang bagus, ya," puji Ashnard, mengubah pembicaraan.

"Aku masih tahu banyak, lho. Mau mengunjunginya bersamaku lain kali?" Gadis itu tersenyum kembali seperti sedia kala.

"Tentu. Dengan senang hati."

Liliya tersentak, tapi bukan karena angin dingin, "Aku baru ingat! Tak lama lagi aku harus menyiapkan diriku untuk masuk ke Evernia. Karena aku pasti sibuk nantinya, bagaimana jika pergi dalam waktu dekat ini?"

"Evernia?"

"Kau tidak tahu? Itu adalah Akademi Evernia. Sekolah elemagnia terbesar dan paling terkenal. Di sekolah itu, kamu juga akan diajari seni sihir dan ilmu pedang. Kau tak ingin bersekolah di sana?"

"Kurasa tidak. Aku tidak memikirkannya."

"Yah, soalnya kau hanya memikirkan soal petualangan Roc saja, kan?" Liliya tersenyum jahil.

Bulan semakin meninggi dan tepat di atas mereka, menandakan malam semakin malam. Ashnard dan Liliya terus memandangi lautan cahaya kota dan segala aktivitasnya yang masih berlangsung.

Malam biasanya membawa kesan yang gelap, misterius dan menakutkan. Keberadaan bintang dan bulan sekalipun tak bisa menghapus kesan malam yang menyeramkan. Akan tetapi, di kota ini, pada hari ini, malam terasa begitu romantis.

Ashnard meraba-raba saku celananya. Lalu, berpikir apa ia harus melakukan ini atau tidak?

Sensasi panas menjalar di sekujur tubuhnya, berasal dari satu titik yang terus memompa perasaan ini, kemudian menyebarkannya ke segala inderanya. Ashnard menarik nafasnya, menyiapkan diri selagi gadis itu masih memandang malam.

"Seorang pria suatu saat harus bisa mengalahkan rasa takutnya." Kata-kata dari kisah petualangan Roc itu menguatkan tekadnya.

Secara perlahan, Ashnard mengeluarkan sekuntum bunga lily berwarna putih yang sudah layu. Secara perlahan juga, ia menyerahkannya pada gadis yang duduk di sebelahnya itu.

"Ini untukmu," kata Ashnard dengan tulus. "Maaf, bunganya sudah layu. Aku berniat memberikannya saat di sungai, tapi tak jadi."

Awalnya, gadis itu mengambil bunganya, pipinya tampak dengan jelas merona dibawah lampu malam, lalu senyuman muncul, dan terakhir ia tertawa. "Terima kasih, Ash. Aku menyukainya."