Ditengah-tengah perdebatan kami, seorang laki-laki botak dengan seragam serba putih datang dari ruangan di mana Keyla diperiksa. Jujur aku sangat was-was, juga takut.
"Bagaimana, Dok? Keadaan istri saya," tanya Mas Reyhan kepada laki-laki yang berseragam tersebut.
"Maaf, Pak! Bisa ikut ke ruangan saya sebentar?" tutur Dokter itu membuat pikiranku semakin tidak menentu. Mas Reyhan pun mengikuti Dokter itu, memasuki ruangannya.
Sambil menunggu Mas Reyhan keluar dari ruangan Dokter itu, aku berjalan mondar mandir. Rasa takut dan was-was semakin merasuki hati dan pikiranku. Bagaimana jika sampai terjadi sesuatu dengan kandungan, Keyla? Mas Reyhan, sudah pasti akan menuntutku. "Ya, Allah, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Keyla, juga kandungannya?" aku berdoa ditengah ketakutanku.
"Sudah! Kamu tenang dulu," ucap Haris yang mencoba menenangkanku. Namun, itu semua tidak mempengaruhiku. Tetap saja rasa takut dan khawatirku terhadap Keyla tak berkurang. Meski aku membencinya, tapi rasaku sebagai manusia masih ada.
Kurang lebih sepuluh menit, Mas Reyhan keluar dari ruangan Dokter itu. Sorot matanya tajam menatapku, membuat aku seakan kehilangan tenaga. Aku dan Haris bergegas mendekatinya. "Bagaimana keadaan Keyla dengan bayinya, Mas Reyhan?" tanyaku penuh khawatir.
"Reyna, jangan pernah kamu sakiti istriku, juga calon jabang bayiku!" tegasnya. Aku mengangguk pasrah. "Untung keduanya baik-baik saja," imbuhnya. Ada rasa lega dalam hatiku, setelah melewati fase-fase menegangkan.
"Syukur, Mas! Alhamdulillah kalau Keyla baik-baik saja. Aku khawatir. Pasti Mas Reyhan akan marah besar kalau terjadi sesuatu pada kandungannya."
"Wajar kalau kamu berbuat seperti itu, karena Keyla tidak bisa menjaga ucapannya. Sudah! Ayo kita pulang!" sahut Haris.
Reyhan terlihat menahan amarah mendengar ucapannya, Haris. Wajahnya memerah dan kedua tangannya mengepal, siap untuk menonjok wajah, Haris.
"Iya, sudah, Mas! Kita pamit dulu ya?" pamitku pada Mas Reyhan.
"Reyna, tunggu!" cegah Mas Reyhan. Laki-laki itu memegang tanganku.
"Maaf, Reyna!" Mas Reyhan melepas tanganku.
"Kenapa, Mas?" tanyaku.
"Em...tak apa-apa. Kamu hati-hati di jalan!" ucapnya membuat aku sedikit terbelalak. Ada gurat aneh di wajahnya.
Aku dan Haris bergegas meninggalkan rumah sakit. Dan langsung meluncur menuju kantor.
******
"Reyna, hari Rabu setelah pertemuan dengan Pak Adit, kita juga akan mengadakan meeting," ucap Haris sesampainya ke ruangan.
"Siap, Pak!"
"Ini berkas permasalahannya, bisa kamu baca dan pelajari dari sekarang. Kamu pasti bisa," ucapnya lagi.
"Baik, Pak!" ucapku meraih berkas yang diletakkan di atas meja.
"Hmmm....," gumam Haris. Aku hanya tertawa untuk mencairkan suasana.
"Jangan khawatir, Pak! Masalah ini bisa ditangani dan menurutku ini sangat mudah." ucapku.
"Sudah ku duga, kamu pasti dapat menanganinya. Kamu memang cerdas, Reyna. Aku pastikan jabatan kamu akan naik menjadi Direktur Pemasaran di kantor ini," ucap Haris.
"Nanti siapa yang akan mendampingimu?" tanyaku.
"Kamu jangan pikirkan itu!" ucapnya.
"Kalau aku menjadi Direktur pemasaran, bagaimana dengan, Pak Marcel?" tanyaku kembali.
"Itu biar menjadi urusanku. Tugasmu saat ini adalah keluarkan semua ide dan pendapat yang kamu miliki di hadapan semua orang. Supaya mereka tahu, kalau kamu memang pantas untuk mendapatkan jabatan itu." ucap Haris. Aku tersenyum mendengarkan.
Tentang gambaran untuk menyikapi masalah perusahaan ini sudah ada dalam pikiranku. Bahkan, tak tik yang harus dilakukan ke depannya aku sudah tau. "Semangat! Reyna! Saatnya menunjukkan pada dunia, kalau kamu bisa!" batinku.
Ketika aku ingin melangkahkan kaki untuk keluar ruangan, tiba-tiba high heels yang aku kenakan seakan hilang keseimbangan. Hampir saja kakiku terkilir. Untung saja Haris dengan sigap menahan tubuhku.
"Reyna, hati-hati!" ucapnya. Aku hanya nyengir kuda dibuatnya. Laki-laki tampan yang menahan tubuhku, ternyata diam-diam terus memandangku.
"Ris, bukannya bantu aku berdiri. Malah ngeliatin aku terus," ujarku.
"Eh, maaf, Rey! Baru aku sadar ternyata kamu cantik banget," ucapnya sambil membantuku berdiri.
"Dasar gombal!" ucapku tertawa. "Nanti malam ada pertemuan dengan Pak Adit!" ucapku mengingatkan Haris.
"Hampir saja aku lupa, aku penasaran siapa yang akan menang dalam tender nanti malam," ucapnya. Membuat aku juga ikut penasaran.
******
POV REYHAN
Tepat pukul 17:00 aku sampai di istanaku. Sebab, tadi aku mampir ke toko perhiasan. Membeli satu set perhiasan, mencari tas branded, baju dan sepatu, Keyla. Dia harus tampil lebih cantik dipertemuan nanti malam. Aku tak sabar mengetahui siapa yang akan menang dalam tender nanti malam.
"Keyla! Sayang!" panggilku. Tak ada sahutan. Bergegas aku menuju kamar.
Krek!
Aku membuka pintu kamar, ternyata tidak dikunci. Terlihat Keyla sedang asyik dengan ponselnya.
"Sayang!" panggilku lagi.
"Coba lihat! Apa yang aku bawa?" ucapku.
Cup!
Aku kecup tengkuk leher jenjangnya. Aku hirup wangi tubuhnya dan aku peluk pinggangnya dari belakang.
"Ih,,, Mas! Nanti yang di bawah sana meronta loh," ucapnya. Kemudian membalikkan badannya.
"Itu artinya, dia enggak pernah bosan denganmu, sayang!" ucapku sembari menarik hidung mancungnya.
"Lihat apa yang aku bawa!" tunjukku pada barang belanjaan yang aku letakkan di atas sofa. Dia langsung bergegas menuju sofa. Mata dia terbelalak, raut wajahnya nampak sangat ceria setelah melihat semuanya.
"Ini semua untuk aku, Mas? Bagus banget," ujarnya.
"Iya, itu untuk kamu pakai nanti malam," ujarku.
"Makasih, Mas!" Aku hanya mengangguk dan mengulas senyum. Kenapa ingatanku kembali pada, Reyna? Dulu setiap aku belikan dia barang mewah, dia selalu memintaku untuk tidak boros! Entahlah, kenapa aku selalu ingat akan bayang-bayangnya. Padahal, sekarang aku sudah bersama, Keyla. Wanita yang aku idam-idamkan setahun terakhir, selama aku masih bersama, Reyna. Aku mencinta Keyla, tapi bayangan Reyna selalu menggangguku.
*******
POV REYNA
Waktu sudah menunjukkan pukul 19:00 malam. Aku segera bersiap untuk acara pertemuan malam ini. Ku kenakan gaun berwarna hitam, tas pesta mini, dan Stiletto heel berwarna silver. Rambut yang aku sanggul agar menampakkan set perhiasan cantik yang aku kenakan. Meski aku dari kalangan keluarga miskin, tapi aku tau bagaimana cara berhias dan cara berpenampilan wanita berkelas dalam acara tertentu. Mungkin dulu terbiasa mendampingi, Mas Reyhan.
"Nduk, kamu cantik banget! Mau kemana?" tanya Ibu yang baru keluar dari dapur.
"Reyna, cantik enggak, Bu?" tanyaku meyakinkan. "Tapi Ibu jangan bohong!" ucapku lagi.
"Masha Allah, nduk, Ibu enggak bohong! Anak Ibu cantik banget," ucap Ibu. Aku mengecup pipi Ibu dan Bapak. Aku pamit pada keduanya. Mereka mengulas senyum. "Hati-hati, Nduk!" ucap mereka bersamaan. Aku hanya mengangguk.
Tak berapa lama terdengar suara deru mobil Haris yang datang menjemputku. Bergegas aku keluar rumah.
"Waaah, kamu cantik banget, Reyna!" puji Haris dengan mata yang tak berkedip memandangku.
"Apa sih? Udah ayo kita berangkat! Dari dulu aku sudah cantik. Baru nyadar?" tanyaku sambil tertawa.
Aku segera membuka pintu mobil dan duduk di samping, Haris. Setelah aku memakai sabuk pengaman, Haris langsung menginjak pedal gas dan mengemudikannya. Sepanjang perjalanan kami tak berhenti bercerita dan tertawa.
Setengah jam berlalu. Kami sampai di tempat tujuan. Sepertinya pengumuman pemenang tender baru akan dimulai. Jujur, hatiku berdebar menunggu siapa yang akan menang dalam tender ini. Akankah Mas Reyhan yang menang?