Hujan turun begitu deras malam ini. Petir menyambar dan udara terasa sangat dingin. Bryan mengambil gitarnya di samping meja belajar. Akhir akhir ini Bryan sanggup menyukai lagu milik Ariana Grande yang berjudul Into You.
Di hadapan Bryan ada sosok Bella yang duduk manis menatapnya. Namun Bryan tak peduli, ia pasti akan mencari perhatian Bryan seperti biasa.
Bryan mulai menyanyikan lagu itu. Sementara Bella tampak mengganggunya dengan tingkah anehnya. Mulai dari membunyikan meja belajar, mengetuk pintu kamar Bryan, sampai memainkan manik manik yang menggantung di kamar Bryan.
Semua itu ia lakukan hanya untuk mencari perhatian dari Bryan.
Namun Bryan tetak saja bersikap dingin dan cuek.
Sampai Bryan selesai menyanyikan lagu itu, Bella masih terus menatapnya dengan heran. Bagaimana bisa laki-laki ini begitu cuek dan terus mengabaikannya?
Hantu Belanda itu merasa sangat jengkel sekarang.
Tetapi setiap malam ketika Bryan sudah terlelap, Bella selalu merebahkan tubuhnya di samping Bryan hanya untuk memandangi wajahnya dalam waktu yang lama.
Entah kenapa dirinya merasa bahagia ketika bisa melihat wajah Bryan lebih lama. Ia tidak bisa melakukan itu jika Bryan sudah bangun. Maka dari itu Bella selalu berharap dirinya bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari Bryan.
"Oh iya besok gue akan pulang telat. Jadi lo jangan khawatir," ucap Bryan dengan wajah datarnya.
"Sama siapa?" tanya Bella jadi merasa ingin tahu. Makhluk tak kasat mata itu melihat ada sesuatu yang berbeda pada Bryan. Wajahnya tampak tersenyum meskipun sangat tipis. Bella jadi merasa senang, ketika melihat Bryan bisa tersenyum dan membuat wajahnya jadi semakin tampan. Selama ini ia memang jarang sekali untuk tersenyum.
"Sama teman," sahut Bryan singkat. Namun senyum itu masih terus memancar dari wajah Bryan. Bella jadi merasa penasaran, siapa teman yang ja maksud dan telah membuat Bryan jadi tersenyum? Meskipun sebenarnya Bella senang melihat Bryan tersenyum, tapi ia juga sedih karena ada seseorang yang mampu mengisi hatinya sekarang.
Tapi meskipun hati Bella terasa panas, ia merasa tidak berhak untuk melarang Bryan melakukan apapun termasuk jika ia memang menyukai seseorang.
Bella sadar dirinya hanyalah makhluk tak kasat mata yang sering kali membuat orang merasa ketakutan jika melihatnya.
Cinta? Iya, memang bisa dikatakan Bella mencintai Bryan. Namun Bryan hanya menganggap Bella sebagai penghuni asli rumah ini. Tak lebih dari itu.
***
Sepulang sekolah, Bryan mengajak Amara ke cafe tempat dirinya bekerja. Ia ingin menepati janjinya kepada Amara untuk pergi makan siang. Tadinya Dennis ingin ikut, tapi ia takut akan menganggu keduanya yang sedang makan siang bersama.
Amara dan Bryan tampak sudah menunggu makanan yang mereka pesan.
"Bryan, gue mau tanya sesuatu sama lo boleh nggak?" tanya Amara dengan wajah yang sangat serius.
Pria itu hanya menganggukkan kepalanya.
"Gimana sih rasanya jadi anak indigo?" tanya Amara dengan sangat berhati-hati.
Bryan hanya menghela nafasnya. Ia merasa kesal karena gadis ini sudah tahu tentang kelebihan yang Bryan miliki. Pasti Dennis yang sudah membocorkan masalah ini.
'Awas aja lo ya Den, kalau ketemu nanti gue habisin,' cuman Bryan yang merasa kesal.
"Lo yakin mau tahu? Kalau gue ceritakan nanti ll pasti nggak bakal bisa tidur. Karena lo nggak akan bisa membayangkan apa yang gue rasakan." Pria itu tampak enggan untuk menceritakan hal itu kepada Amara.
Namun Amara tidak menyerah begitu saja.
Ia tetap ingin tahu apa yang dialami Bryan selama menjadi anak indigo.
"Gue memang nggak pernah merasakan apa yang lo rasakan. Tapi gue percaya kalau alam gahib itu memang ada."
Bryan hanya mengukir senyumnya yang tipis. Seolah senyum itu menandakan bahwa ia malas membicarakan hal ini. Namun Bryan juga tidak mau membuat Amara kecewa. Lagipuka Bryan percaya bahwa Amara adalah orang yang bisa dipercaya.
"Apa lo tahu gimana rasanya bisa melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ingin lo lihat?" tanya Bryan menatapnya dengan tajam.
Amara hanya menggelengkan kepala.
"Gue nggak tahu, tapi gue tahu itu pasti berat."
Bryan menghela nafasnya panjang, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Duduk bersandar di kursi dengan wajah yang pasrah.
"Lebih dari berat. Takut, depresi, marah, dan semua perasaan negatif lainnya bercampur jadi satu. Semua itu gue rasakan dan gue nggak bisa mengontrolnya selama bertahun tahun."
Amara tampak terdiam mendengar cerita Bryan dengan seksama.
"Selama itu juga gue selalu dikucilkan, dibully, dan nggak ada yang mau berteman sama gue."
Bryan melanjutkan dengan tatapan mata yang kosong.
Amara jadi merasa iba, lalu ia menepuk bahu Bryan.
"Nggak usah khawatir. Gue akan jadi teman baik lo," katanya dengan begitu tulus.
Bryan jadi menatap ke arah Amara. Baru kali ini ia merasakan ketulusan dari seseorang yang baru ia kenal. Entah kenapa Bryan merasa nyaman dan yakin kalau Amara memang tulus.
Masih duduk menunggu pesanan makanan mereka datang, tiba-tiba Bryan memejamkan matanya. Ia melihat sesuatu sebentar lagi akan terjadi di meja ini.
Bryan melihat seorang pelayan yang sedang membawa pesanan makanan dan minuman akan terjatuh.
Lalu beberapa detik sebelum pelayan itu melewati meja mereka, Bryan menundukkan badannya di depan Amara sehingga membuat wajah mereka kini sangat dekat.
Dan Bryan merasa punggungnya kini telah basah. Semua jus yang dibawa pelayan itu tumpah ke badan Bryan.
Namun Bryan tak menghiraukan hal itu, ia justru lebih fokus ke hadapan matanya yang saat ini sedang memandang mata Amara dengan sangat dekat. Mereka saling bertatapan dan memandang satu sama lain.
"Eh sorry Bryan, gue nggak sengaja tadi," kata Sandi, pelayan yang menumpahkan minuman itu sekaligus rekan kerja Bryan di cafe ini. Bryan malah tak mempedulikan perkataan Sandi. Ia lebih memilih melepas jaketnya yang basah lalu kembali ke tempat duduknya. Bryan mencoba menyembunyikan rasa gugupnya karena tadi sempat berpandangan dengan Amara bahkan hampir berciuman.
"Lo ngapain sih tadi? Lihat jaket lo basah semua. Biar gue bantu keringkan ya!" kata Amara mendekat ke arah Bryan dan mencoba mengeringkan jaket Bryan menggunakan jaket yang menempel di badannya.
Bryan jadi semakin merasa gugup. Entah kenapa ia bisa merasakan hal ini. Jantungnya juga berdetak sangat kencang ketika Amara berada di dekatnya seperti sekarang.
Perasaan Bryan jadi tak karuan, ada apa dengannya sebenarnya? Apa ia sedang merasa jatuh cinta kepada gadis yang sekarang ada di dekatnya itu?
"Nggak usah, ini nggak apa-apa hanya basah sedikit aja. Biar aku bersihkan sendiri saja," kata Bryan untuk menyembunyikan rasa gugupnya ketika berhadapan dengan wajah Amara.