Vanya membuat janji dengan Anthony, dia merasa kebebasannya perlu dirayakan, meskipun dia hanya mendapat kebebasan itu selama 3 minggu.
"Kamu dimana, Ton?" tanya Vanya melalui panggilan telepon.
"Aku sudah di jalan depan area luar restoran," jawab Anthony.
"Aku mau mengajakmu ke perayaan atas hari kebebasanku. Baiklah, tunggu saja disitu!!" pinta Vanya.
Panggilan telepon itu berakhir, Anthony mengantongi ponsel itu kembali. Dia sengaja menunggu diluar agar tidak menarik perhatian karyawan yang lain.
Mobil Mercy putih berhenti di depannya, kaca jendela itu turun menampakkan wajah ceria Vanya.
"Ton, masuklah!!" pinta Vanya.
Anthony pun masuk, dia duduk di sebelah Vanya yang sedang mengemudikan mobil Anita. Anthony mengagumi dalam diam mobil keren yang dikendarai Vanya.
Bagus juga mobil tipe ini, Mercy memang selalu membuatku tertarik. Aku akan membelinya lagi, batin Anthony.
Anthony suka sekali dengan Mercy, waktu keluarganya masih kaya, dia mengendarai Mercy. Saking sukanya, mama dan papanya juga mengendarai mobil Mercy juga. Itu semua karena Anthony merayunya untuk membeli Mercy tipe yang lain, agar dia bisa berganti mobil dengan mereka sesuka hati.
"Kita kemana, Vanya? Hari ini kamu ingin merayakan apa?? Aku tadi tidak begitu mendengarnya," tanya Anthony.
Vanya menoleh ke arah Anthony untuk menjawab pertanyaannya, "Hari kebebasanku."
Vanya kembali memandang jalan yang ada di depannya, lalu dia melanjutkan perkataannya.
"Purnomo sedang melakukan perjalanan dinas selama 3 minggu, jadi selama 3 minggu aku bebas melakukan apapun tanpa takut. Aku menyebutnya hari kebebasanku. Hehe," terang Vanya terkekeh.
"Hahahaa ada-ada saja. Gimana, kamu sudah lihat barangnya di gudang?"
Anthony penasaran dengan tanggapan Vanya, setelah dia memberitahunya 2 hari yang lalu.
"Ternyata banyak sekali, dan lagi sudah tidak bisa dipakai. Jadi aku setuju saja kalau di ambil oleh tukang rosok," ucap Vanya.
"Diambil? Dijual ya, maksudmu?" tanya Anthony bingung, karena sayang sekali kalau diberikan begitu saja.
"Iya diambil. Aku berikan saja ke mereka gitu," jelas Vanya.
"Kenapa? Uangnya lumayan loh buat beli perabot baru, hitung-hitung bisa menambah pemasukan restoran," protes Anthony.
"Masak!! Ya sudah, kamu jual saja nanti uangnya buat kamu. Kamu harus mau menerimanya, sebagai tanda terima kasihku karena kamu mau berteman denganku," terang Vanya.
"Tapi ...,"
"Eits, tidak ada kata tapi. Jadi tolong terimalah ya, Ton. Please!!" mohon Vanya.
"Baiklah, jika itu maumu," jawab Anthony.
Sebenarnya Anthony keberatan, dia memang tulus ingin berteman dengannya dan tidak mau meminta imbalan, maupun materi. Tetapi setelah melihat kesungguhan Vanya yang tidak punya maksud apa-apa itu, Anthony baru mau menerimanya dengan berat hati.
Mereka sudah sampai di toko makanan manis favorit Vanya yang menyediakan banyak menu, seperti minuman, roti, kue, es krim dan lain sebagainya.
Kali ini Vanya memesan kue stroberi, es krim vanila karamel, puding buah dan moca latte sebagai minumannya. Sedangkan Anthony hanya memesan cappucino.
"Echh Ton, aku baru ingat sesuatu. Tadi waktu di dalam gudang, aku mendengar Dodit dan temannya sedang membicarakanmu,"
"Garis besarnya sih, dia disuruh Narwan untuk mengganggumu sampai tidak betah kerja lagi," terang Vanya.
"Kenapa Narwan melakukannya?" tanya Vanya bingung.
Ohh jadi itu yang mereka bicarakan. Narwan sudah bertindak, aku harus waspada, batin Anthony.
Vanya menunggu tanggapan Anthony yang tidak kunjung dia dapat.
"Anak ini kesambet apa sih??? Tiba-tiba diam saja!!" gerutu Vanya.
"Hei Ton!! Hallo, Anthony Baragav!!!"
Vanya memanggilnya sambil mengibaskan tangan di depan mata Anthony.
"Ehhh!! Emmm, aku juga tidak tahu. Apa mungkin kerjaku tidak bagus ya?" tanya Anthony balik.
"Hah!! Itu tidak mungkin. Buktinya pengunjung tadi memujimu. Alasan yang tidak masuk akal," protes Vanya.
Anthony hanya mengangkat bahu, dia juga tidak ingin Vanya tahu bahwa itu karena Narwan melarangnya untuk berteman dengan Vanya.
Pesanan mereka datang, Vanya sangat senang dan sudah tidak sabar untuk memakannya. Moment itu paling Anthony sukai, ketika melihat Vanya yang sedang makan kue seperti anak kecil yang tidak mempunyai beban. Anthony tidak pernah berhenti tersenyum, melihat keceriaan Vanya.
Satu jam sudah mereka di kafe langganan Vanya, Anthony berdiri terlebih dulu dan segera menuju kasir untuk membayarnya.
Vanya segera menyusul Anthony, dia berkata. "Jangan Mbak, biarkan saya saja yang bayar."
"Sudah Mbak, ambil uang saya ini," pinta Anthony.
"Jangan Mbak, pakai uang saya saja," seru Vanya.
Kasir tersebut jadi bingung melihat pertikaian mereka, Anthony yang melihat kasir kebingungan itu segera saja menaruh uang diatas keyboard.
Kemudian kasir itu melakukan transaksi, struk dan kembalian sudah dikasih lagi ke Anthony. Mereka pun berjalan keluar meninggalkan toko roti menuju parkir mobil.
Vanya tidak segera masuk mobil, dia tampak tersinggung dengan menyilangkan tangan di depan dada.
"Kamu kenapa, Vanya?" tanya Anthony.
"Aku sebal, Ton. Waktu itu kamu yang bayar, harusnya sekarang giliranku dong!!" protes Vanya sambil memonyongkan bibir.
"Ya sudah, aku minta maaf dah," ungkap Anthony.
"Oke aku terima, sebagai gantinya kamu yang bawa mobil," pinta Vanya.
"Baiklah Tuan Putri," sahut Anthony, lalu dia membuka pintu mobil dan mempersilahkan Vanya masuk.
Vanya masuk mobil tidak hati-hati, sehingga kepalanya terbentur atap mobil. Lalu dia berteriak kesakitan. Anthony yang cemas itu secara spontan mengusap kepala Vanya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Anthony kuatir
Vanya membuka mata, mereka pun saling tatap dalam diam. Getaran misterius dari mata itu terasa sampai hati, jantung Vanya pun berdebar.