Di kamar hotel, Vanya membuka mata dari tidurnya yang panjang. Perasaan Vanya sudah merasa baikkan, dia bangun segera menuju kamar mandi untuk mengguyur badannya.
Setelah 30 menit, dia sudah berpakaian. Dia baru sadar bahwa tidak ada Anita di ruangan kamar yang besar itu. Namun, dia berhenti memikirkan Anita ketika perutnya keroncongan dan sangat lapar sekali.
"Aku lapar sekali!!" gumam Vanya.
Vanya pun berdiri sambil menyambar ponsel diatas meja riasnya, lalu berjalan menuju sebuah restoran yang tersedia di hotel. Karena menurut dia terlalu lama jika memanggil staff hotel untuk membawakannya makanan.
Seperti biasa, setiap dia melangkah di sudut hotel semua staff yang berpapasan dengan Vanya akan membungkuk dan memberi salam.
Vanya sudah masuk restoran, dia langsung menghampiri menu sarapan yang sudah disediakan secara prasmanan.
"Ech!! Pak. Bukannya itu nyonya Vanya?" tanya staff hotel yang masih muda.
Staff senior yang bertugas di restoran sedang menggelap piring itu, lalu dia menghentikan kegiatannya, kemudian dia mencari sosok nyonya muda yang baru dikatakan juniornya.
"Wahh!! Iya, tumben tidak minta dibawakan makanan ke ruangannya," timpal staff senior.
"Tidak tahu!!" sahut staff Junior, dia tidak melepas pandangannya dari Vanya, karena dari kejauhan saja aura Vanya terpancar dan memikat siapa saja yang tidak sengaja memandangnya.
"Nyonya Vanya cantik sekali!!!!" gumam staff junior itu.
Serbet yang baru saja dipakai mengelap piring tadi sama seniornya dipakai untuk mengelap muka staff junior.
"Blehh...Bleh!! Apa-apaan ini, Pak?" protes staff junior.
"Wajah kamu perlu dilap biar sadar. Nyonya Vanya itu tidak bisa disentuh, dia istri pak Purnomo pemilik hotel ini," terang staff senior.
"Iya saya tahu, Pak. Saya hanya mengaguminya saja, tidak mungkin saya akan merebutnya," jawab staff junior itu kesal.
"Terserah apa katamu!!! Cepat selesaikan pekerjaanmu!!!" perintah staff senior itu.
Vanya duduk, lalu dia menyantap menu yang sudah dipilihnya. Dia makan dengan lahap yang diselingi dengan minum air.
"Ehmm!! Makanan di hotel tidak begitu buruk, aku menyukainya," gumam Vanya.
"Nah!!! Waktunya makan makanan manis!!" seru Vanya dengan suara pelan.
Vanya mengambil 3 potong puding sekaligus yang berbeda rasa, dia menyendoknya satu persatu hingga tandas. Kemudian dia minum air mineral, dia merasa sangat kenyang sekali sambil mengelus perutnya.
"Sekarang!! Kamu tidak boleh protes lagi ya!!!" gumam Vanya terkekeh.
Setelah selesai sarapan, Vanya berjalan-jalan di area hotel. Dia mengagumi dalam diam setiap sudut bangunannya, mata dia tertarik ketika melewati jendela kaca yang lebar menyajikan pemandangan kolam renang yang airnya jernih, di samping kanan dan kirinya ditumbuhi pohon kamboja, ada pohon palem juga.
Vanya pun mencari pintu untuk bisa sampai ke kolam renang tersebut, dia langsung mengambil tempat duduk khas pantai.
"Ehmm!!! Nyamannya!!" gumam Vanya, semilir angin pagi menerpa wajah Vanya. Dia merasa hidupnya sangat bebas tanpa beban saat ini.
Kenyamanan itu terganggu oleh bunyi dering ponsel miliknya. Vanya pun merogoh kantong celana bahannya, lalu dia menjawab sambungan telepon itu tanpa melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya.
"Hallo!!"
"Hallo, Vanya!! Apakah kamu sakit? 3 hari ini aku tidak melihatmu di restoran?" tanya Anthony.
Vanya membuka matanya, lalu dia menjauhkan ponsel dari telinganya, dia membaca nama kontak tersebut.
"Anthony!!" gumam Vanya.
Dengan cepat Vanya menempelkan ponsel di telinganya, dia menjawab pertanyaan Anthony.
"Hai, Ton. Kamu mencemaskan aku?" tanya Vanya balik.
"Iya, kamu sakit apa, Vanya? Dimana aku bisa menjengukmu?" tanya Anthony cemas.
"Hemmm!!! Hatiku yang sakit, Ton. Aku habis mengalami hal yang paling buruk dalam hidupku,"
Vanya menjawab lirih, dia menundukkan kepala sambil mengasihani dirinya sendiri. Ucapan Vanya yang terdengar menyedihkan itu membuat Anthony merasakan perih hatinya.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk menghiburmu, Vanya?"
Anthony akan melakukan apa saja yang bisa membuat Vanya kembali ceria, dia ingin sekali menemuinya.
Vanya menarik napas dalam, dia ingin mempersiapkan hati untuk mengingat lagi mimpi buruknya. Mungkin itu salah satu cara agar rasa sakit hatinya berkurang, Vanya pun mulai bercerita.
"Purnomo bejat itu mengikat tangan dan kakiku di ranjang, dia memaksaku untuk melakukan hubungan intim,"
"Purnomo sudah melepas baju atasku, dan ...," Vanya tidak sanggup menceritakannya, bulir airmata turun membasahi pipinya.
Anthony menjauhkan ponsel, dia mengumpat kelakuan Purnomo.
"Brengsek!! Bandot Tua itu minta dihajar!!!"
Anthony mengepal tangannya, dia meninju pohon pisang yang ada di kebun neneknya. Setelah puas dia mengambil nafas dan menenangkan diri, lalu dia kembali mendengar cerita Vanya. Rupanya Vanya masih menangis dan belum mengatakan apa-apa.
"Maafkan aku Vanya jika aku mengingatkan kejadian itu," ungkap Anthony.
"Tidak Ton, ini keinginanku sendiri. Tetapi untungnya dia tidak sampai memperkosaku, karena aku diselamatkan oleh mbak Anita. Istri pertama Purnomo yang sangat baik sekali kepadaku," terang Vanya, suara serak Vanya sudah kembali normal.
Anthony ikut lega mendengarkannya, tapi dia masih menyisakan rasa sakit hatinya setelah Vanya mendapatkan perlakuan seperti itu.
Panggilan telepon masuk mengganggu pembicaraan mereka, Vanya melihat orang yang menghubunginya di layar ponsel.
"Mbak Anita!!!" seru Vanya.
"Aku tutup dulu ya, Ton. Mbak Anita sedang menelepon, dia mungkin sedang mencariku," beber Vanya.
"Ahh!! Oke!!" jawab Anthony.
Vanya menutup sambungan telepon Anthony, lalu dia mengangkat panggilan telepon Anita. Sayangnya terlambat, kemudian ganti Vanya yang menghubungi Anita. Belum sempat Vanya menyapa Anita, Anita sudah berkata terlebih dahulu.
"Hallo Vanya, pulanglah sekarang!!!"
Panggilan itu berakhir, dan membuat Vanya penasaran. Kenapa mbak Anita menyuruhku pulang ke rumah?