Chereads / Merebut Jodoh / Chapter 5 - Bukan Sembarang Anak

Chapter 5 - Bukan Sembarang Anak

Kedua orang tua Sean sudah pergi meninggalkan rumah sakit, Sean sudah datang dari tempatnya bekerja.

Anthony berpikir keras, dia mau bisa hidup sendiri tapi sepeser pun dia tidak memiliki uang. Dia hanya mempunyai ponsel keluar terbaru hadiah ulang tahunnya 5 bulan yang lalu.

"Sean, apa kamu punya forum jual beli HP?"

Anthony bertanya, dia berniat untuk menjual ponselnya. Dia teringat bahwa dia mempunyai nenek dari ibunya yang ada di kampung. Anthony berencana tinggal bersama neneknya.

"Kenapa memangnya? Apa kamu akan menjual HP-mu?" Sean tampak tertarik mendengar jawaban Anthony, dia menggeser tempat duduk di dekatnya.

"Hehe. Iya, aku mau menjual telepon genggamku, Sean. Rencanaku ingin pulang kampung, aku ingin tinggal bersama nenekku," jawab Anthony.

"Ohhh!!! Jadi setelah ini kamu mau pulang kampung, kamu yakin??? Katamu dulu tidak suka hidup di kampung, Ton. Kenapa kamu jadi pengen kesana?" Sean sudah mulai curiga.

"Sean, maafkan aku. Aku tidak mau menjadi bebanmu, jadi tolong dukung keputusanku ya," pinta Anthony.

Sean terdiam, dia tidak mungkin menahannya lebih lama lagi di rumah. Di sisi lain dia juga tidak mau kehilangan sahabatnya.

"Baiklah, coba aku bantu jual ponselmu," jawab Sean, dia memilih mendukung keputusan Anthony.

Mereka pun tersenyum, malam itu untuk pertama kalinya Anthony mempunyai tekad menjalani hidup mandiri dan sukses.

Malam tampak habis waktunya, kesibukan malam menuliskan cerita di setiap detiknya. Masing-masing orang mempunyai ceritanya sendiri.

Pagi datang dengan sinar terangnya, mengajak semua orang untuk bersemangat menyambut hari.

Kunjungan dokter pagi itu memberikan kabar gembira. Bahwa aku sudah diperbolehkan pulang, lalu kami mengurus administrasinya.

Kami berjalan menuju ruang administrasi, tampak tidak begitu ramai antreannya. Apa mungkin masih pagi, kemungkinan yang paling umum.

Kini giliran Sean, untuk membayar biaya pengobatanku. Dia bertanya kepada petugas di sana.

"Pasien atas nama Anthony, berapa mbak tagihannya," tanya Sean ke petugas itu.

"Sebentar ya, Mas. Total biayanya 6 juta, yang 1 juta di awal sudah tidak dihitung ya, Mas," jawab petugas itu.

"Iya Mbak," sahut Sean cepat.

Sean dengan segera mengeluarkan kartu debitnya, dia membayar semua tagihannya.

Anthony mengingat besar tagihan itu, berharap penjual ponsel setara dengan 1 unit motor itu laku.

"Ayo Ton, kamu lapar tidak? Temani aku makan ya, aku pengen makan mie instan," ajak Sean.

"Boleh, Ayo!" jawabku.

Minimarket itu ternyata tidak jauh dari rumah sakit, setelah berjalan beberapa langkah. Kami sudah saja sampai di minimarket tersebut.

Kemudian kami duduk dengan mie sudah terseduh dengan botol minuman melengkapinya.

"Sean kamu tidak masuk kerja?" Aku bertanya, sambil menyantap mie tersebut.

"Aku libur, Ton. Ech tadi aku sempat lihat, ponselmu ditawar 10 juta. Gimana kamu kasih, nggak?" tanya Sean.

"Kasih saja Sean, aku lagi butuh cepat ni," jawabku. Aku sangat berharap pembeli itu serius.

"Wahh!!! Cepat sekali balasnya. Dia mau, Ton. Dia mengajak bertemu 30 menit lagi di depan kantor gubernur. Echh tapi, ponselmu dimana?"

Sean bertanya, dia juga ikut senang ponsel Anthony laku.

"Yaah!! Ponselku dirumah, Sean. Ayo buruan!!!"

Anthony mengajaknya untuk cepat mengambilnya, terpaksa mi panas itu kita makan mie nya saja dengan terburu-buru. Setelah itu kita melesat ke rumah Sean.

Perjalanan ke rumah itu memerlukan waktu 15 menit, demi bertemu dengan pembeli tersebut. Sean rela merogoh kocek untuk membayar taksi.

Taksi sudah sampai di depan rumah Sean, Anthony yang duduk di kursi penumpang itu berkata,

"Sean, tetaplah disini. Aku akan cepat mengambil ponselnya."

Anthony keluar mobil, dengan cepat dia berlari menuju kamar Sean. Dia melewati mama Sean yang sedang bersantai di teras rumah.

"Pagi Tante!! Saya permisi dulu ke kamar Sean, Tan," kata Anthony sambil berlari.

"Anthony!!! Kamu sudah sembuh??? Hati-hati baru sembuh, jangan berlari!!" Mama Sean cemas melihatnya berlari.

Anthony masuk kamar Sean yang tidak dikunci itu, dengan cepat dia mencari tas baju di sebelah ranjang Sean lalu dia mengobrak-abrik isi di dalamnya untuk mengambil ponsel lengkap bersama kotak pembungkusnya dari pabrik.

Kemudian dengan secepat kilat dia keluar kamar, dia menjawabnya pertanyaan mama Sean masih dengan berlari.

"Saya sudah sembuh, Tan. Saya keluar dulu, terimakasih."

Dia segera menuju Sean yang ada di dalam taksi sedang menunggu, lalu masuk ke dalamnya. Tony tampak mengatur napas untuk menenangkan diri.

"Pak, Ayo jalan!" perintah Sean ke sopir taksi itu.

Sopir taksi itu dengan segera membawa mereka menuju tempat berikutnya, jalanan terlihat lengang setelah jam berangkat para karyawan maupun anak sekolah usai.

Pas 30 menit, sampai di depan kantor Gubernur. Sean membayar tagihan taksi itu lalu mereka keluar secara bersamaan.

"Untung kita tidak terlambat ya, Sean. Pembelinya sudah sampai belum?" tanyaku penasaran.

"Sebentar aku akan mengiriminya pesan," sahut Sean, dia terlihat serius menatap ke layar ponselnya.

Aku melihat kantor Gubernur yang rindang dengan halaman luas, tertata berbagai macam kendaraan yang terparkir di halaman yang tersedia.

"Ton, pembeli itu bekerja di dalam. Tunggu apalagi, ayo masuk!!!"

Sean mengajakku masuk, dia berjalan mendahuluiku. Aku melangkahkan kaki dengan cepat untuk mengiringi langkahnya.

Sean berhenti dan bertanya kepada pegawai berbaju dinas untuk bertanya,

"Pak, saya ingin bertemu dengan Bapak Murti Kencana. Dimana saya bisa menemuinya?"

"Ohh!!! Pak Gubernur, jalan terus ke belakang ya Mas. Nanti terlihat papan petunjuk kantor Gubernur, ikuti saja. Pasti ketemu dengan kantor yang bangunannya paling besar," terang pegawai itu.

"Baik Pak, terimakasih," ucap Sean.

Sean berjalan sesuai arahan petugas tersebut, aku merasa pernah mendengar nama Gubernur dimana ya? Batinku.

Aku mengikuti Sean dengan berusaha keras mengingat nama Murti Kencana.

"Murti Kencana!!!" gumamku berulang-ulang.

Tidak terasa kami sudah sampai di depan kantornya, dengan rasa penasaran yang tinggi aku mengetuk pintu tersebut. Sebelum itu aku melihat Sean, untuk minta persetujuannya. Dengan bahasa tubuh, dia menangkap jelas maksudku dan mengangguk mantap. Aku pun mengatur napas untuk mempersiapkan diri.

Pintu itu terbuka, menampakkan Gubernur yang sedang menunggu di meja kerjanya.

"Tunggulah sebentar!!!" ucap pegawai itu.

Setelah kami disuruh masuk ke ruangan, lalu kami disuruh menunggu di tempat duduk tamu. Gubernur itu tampak serius dalam percakapannya di telepon.

"Penuhi saja syarat Vanya, Mi. Sudah dulu, saya ada tamu," kata penutup yang di ucapkan pak Gubernur itu.

Aku tersentak, pikiranku fokus dengan satu kata yang telah dia sebut yaitu, 'Vanya'. Apakah Vanya seorang wanita yang sama menemuiku di rumah sakit kemarin??

Benar tidak salah lagi, dia teringat lagi setelah pasien yang ada di ruangan kemarin menyebut papinya Vanya yaitu Murti Kencana.

Bukan main wanita itu anak pejabat yang lumayan tinggi jabatannya, Anthony masih sibuk dengan pikirannya. Dia tidak sadar bahwa pak Gubernur sedang mengajak bicara.