"Ton!!!"
Panggil Sean yang duduk di sebelah, lalu dia menyenggol pundak Anthony untuk menyadarkannya.
"Iya, Pak. Maaf bisa minta tolong ulangi perkataan Anda??" pinta Anthony.
"Jangan buang-buang waktuku!!! Sini lihat mana handphone-mu?" pinta Murti sambil memperingatkan Anthony.
Murti melihat handphone yang baru saja dia minta dari Anthony, lalu dia mengecek di setiap sisi dan dia suka karena handphone dalam kondisi bagus.
"10 juta kan?" Murti bertanya lagi untuk memastikan harganya.
"Iya, Pak," sahut Anthony cepat.
Murti menarik laci mejanya, lalu mengambil amplop coklat dan mengambil 10 juta dari amplop tersebut. Kemudian dia menyerahkan uang ke Anthony.
"Coba dihitung kembali!!" pinta Murti.
Anthony yang menerima uang tersebut dengan segera menghitungnya dan dibantu Sean.
"Uangnya pas, Pak. 10 juta. Terimakasih" jawab Anthony.
"Kalau sudah, cepat pergilah dari sini. Aku tidak punya banyak waktu untuk kalian," ketus Murti.
Kami berdiri untuk keluar dari ruangan, Sean membuka pintu dan aku mengikutinya dari belakang. Ketika aku mau menutup pintu terdengar Murti memberi perintah kepada anak buahnya.
"Cepat bersihkan kursi bekas dua gembel yang baru keluar tadi!!!" perintah Murti.
Kemudian Anthony menutup pintu yang membatasi penglihatannya.
Sombong sekali!! Jauh dari perkiraanku, dia tidak seperti anaknya. Anthony membatin untuk membandingkan perilaku anak dan ayah itu, lalu dia mengantongi uang hasil penjualan handphone-nya.
Kami sudah keluar kantor Gubernur sampai di pinggir jalan untuk mencari transportasi umum. Kebetulan ada angkutan umum berhenti, kami pun naik ke dalamnya.
"Ton, kenapa kamu tadi Mendadak bengong seperti itu di ruangan Gubernur?" tanya Sean penasaran.
"Pak Gubernur tadi, adalah ayah wanita yang menemuiku di rumah sakit waktu itu,"
Anthony menjawab dan menceritakan pertemuannya dengan Vanya yang salah menjenguk orang.
"Ohhh seperti itu ceritanya. Kayak apa sih orangnya, aku jadi penasaran,"
Sean lalu mengambil ponsel yang ada di kantong celananya, lalu dia mencari nama Vanya anak pak Murti Kencana. Hasil dari pencarian hanya memunculkan 2 foto waktu Vanya menghadiri acara pesta besar pelantikan papinya menjabat sebagai Gubernur.
"Wahhh!! Cantik, Ton. Kamu beruntung sekali bisa bicara dengannya?" ungkap Sean.
"Mana, coba lihat Sean!! Jelek ah!!" celetuk Anthony.
"Lihat pakai mata, Ton. Cewek cantik gini kok, dibilang jelek. Standarmu buruk sekali!!!" cibir Sean.
"Iya jelek, Sean. Lebih cantik kalau melihatnya secara langsung, hehe!" sahut Anthony.
"Ahhh kamu, Ton. Orang lagi serius juga," keluh Sean.
Tidak terasa mereka sudah sampai di depan rumah Sean, mereka turun lalu berjalan masuk rumah.
"Sepi sekali rumah, Sean?" tanya Anthony masuk rumah melihat tidak ada orangtua Sean.
"Mungkin lagi belanja bulanan, Ton," jawab Sean.
Anthony mengeluarkan uang sejumlah 7 juta, lalu dia menyerahkan ke Sean dan berkata,
"Sean, uang untuk biaya rumah sakit ya."
"Apa ni Ton, nggak usah. Buat kamu saja, untuk memulai hidup baru," Sean mendorong tangan Anthony yang memegang uang.
"Tolong lah terima, Sean. Aku masih ada sisa kok, tenang hidup di kampung mah, cukup dengan sisa yang aku punya, Sean,"
Kata Anthony untuk meyakinkan Sean, dia tahu betul betapa susahnya mencari uang. Apalagi kehilangan uang seperti yang baru dia alami, rasanya mau mati. Iya memang uang tidak dibawa mati, akan tetapi hidup itu memerlukan uang juga.
"Ini benar untuk aku, ni?" tanya Sean, dia sebenarnya ikhlas. Dibayar ya diterima kalau tidak ya tidak papa.
Anthony tersenyum dan kemudian berkata, "Iya Sean, terimalah."
Akhirnya Sean menerimanya, dia juga ikut tersenyum. Dia sangat bersyukur sekali, melihat Anthony yang sudah berdamai dengan hatinya.
"Terimakasih ya, Sean. Aku akan selalu berhutang budi kepadamu," ungkap Anthony.
"Iya, tidak usah terlalu dipikirkan. Yang terpenting kita harus menjaga persahabatan kita ya," ungkap Sean.
Anthony mengangguk mantap, dia bersyukur sekali setidaknya ada 1 orang yang masih peduli dengannya.
Setelah cukup lama membahas tentang uang, mereka naik ke kamar. Sean merebahkan diri ke ranjang, sedangkan Anthony mandi.
Anthony sudah lama rasanya tidak menyentuh air, segar sekali setelah mandi menambah mood suasana hatinya.
"Kamu jadi tinggal di kampung, Ton? Yakin nggak kamu pikirkan dulu?" tanya Sean.
"Yakin. Kenapa? Kamu takut aku nggak bisa hidup di kampung?? Tenang saja Sean, aku pasti bisa," jawab Anthony yakin.
"Sini catat nomormu, Sean. Mumpung ingat!!" imbuh Anthony.
Anthony menyerahkan kertas sekalian pena yang dia dapat dari meja Sean. Setelah Sean selesai menulisnya, dia menyerahkan balik ke Anthony.
"Sean!! Tony!!! Ayo makan malam dulu," panggil mama Sean.
"Wah!! Mama tu, sudah pulang ya. Tahu saja kalau aku lapar," celetuk Sean.
"Ayo, Sean. Aku juga sudah lapar. Hehe," ajak Anthony.
Mereka keluar kamar menuju ruang makan yang mama dan papa Sean sudah menunggu. Terlihat banyak sekali menu yang sudah disiapkan mama, dan salah satunya ada menu favorit Anthony yaitu sambal terong.
Mama Sean ingat sekali, pertama makan malam di rumahnya, dia memasak sambal terong dan ternyata Anthony suka.
"Ada pesta, Ma? Banyak sekali makanan di meja?" tanya Sean.
"Iya, pesta kecil merayakan kesembuhan Anthony, Sean," ucap mama Sean dengan tersenyum.
"Makasih ya Tante," ucap Anthony.
Aku pasti akan merindukan momen kehangatan seperti ini, tapi aku tidak mau jika menjadi beban. Biarlah ini menjadi alasan untuk kita bisa saling bertemu lagi, batin Anthony.
Makan malam yang hangat itu berakhir, mereka meneruskan kegiatan masing-masing. Anthony dan Sean masuk kamar, mereka sedang menonton film tayang perdana di aplikasi langganan.
Setelah merasa puas menonton beberapa film, Sean tertidur. Anthony masih terjaga, dia mengemasi barangnya ke dalam tas jinjing dan tidak lupa nomor telepon Sean. Dia berencana besok akan berangkat ke kampung halamannya.
Berberes sudah, Anthony juga merebahkan diri ke ranjang dengan beradu punggung dengan Sean. Dia mengingat kembali wajah Vanya, wajah yang cantik dengan dagu dan bibir terbelah, terdapat tahi lalat di pangkal alis sebelah kiri yang membuat siapa pun tak jemu memandangnya.
"Tunggu aku, Vanya. Aku akan tunjukan semangat hidupku kepadamu," lirih Anthony, lalu dia pun terlelap.
Suara burung berkicau di pohon trembesi, menandakan matahari sudah bersinar dengan gagahnya menyinari alam sampai di penghujung malam.
Sean bangun, lalu mandi. Aku pun juga sudah bangun untuk merenggangkan badan. Setelah Sean selesai, aku ganti masuk ke dalam kamar mandi.
"Masuk pagi, Sean?" tanya Anthony.
"Iya, aku masuk jam 08.00. Kalau kamu bosan, ikut saja denganku. Disana kamu bisa jalan-jalan sambil menungguku pulang," ungkap Sean.
Anthony hanya tersenyum menanggapinya, dia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30.
Mereka keluar kamar, lalu menuju ke ruang makan untuk sarapan. Mama dan papa Sean sudah berada di kursinya. Kami pun mulai makan, di pertengahan acara makan aku mengutarakan niatku untuk pergi dari rumah hari ini juga.
"Om, Tante. Hari ini saya mau tinggal di kampung bersama nenek, saya sangat berterimakasih sekali atas bantuan om dan tante selama ini," ungkap Anthony.
"Loh!! Ton. Mendadak sekali, apa kamu sudah ada persiapan?" tanya mama Sean.
"Sudah Tan. Tante tidak usah kuatir," jawab Anthony tersenyum.
Tante mulai meneteskan airmata, dia tidak menyangka akan berpisah dengan Anthony secepat itu dan lagi dia senang melihat Anthony yang sudah semangat menjalani hidupnya.
"Om juga kaget, Ton. Om harap kamu bisa lebih bersemangat lagi, jangan takut akan kegagalan jadikanlah sebagai pelajaran dan jangan lupa bangkit lagi. Dan satu hal lagi, pintu kami akan selalu terbuka untukmu," terang papa Sean.
"Baik Om, akan saya ingat. Terimakasih," jawab Anthony tersenyum.
Sean hanya terdiam, lalu dia melanjutkan sarapannya. Setelah sarapan selesai, mereka saling tukar doa. Mama Sean memeluk Anthony, dia merasa sudah seperti kakak bagi Sean.
Kemudian Sean dan Anthony masuk kamar, Sean mengambil tas ranselnya untuk bersiap berangkat.
"Sean!!! Tidak ada teman rasa saudara seperti dirimu. Aku sangat beruntung mempunyai teman sepertimu," ungkap Anthony.
"Ton, aku tidak mau memelukmu untuk mengucapkan selamat tinggal. Hehe," ucap Sean.
"Tidak masalah!!! Biarkan aku yang memelukmu. Hahaa..," kelakar Anthony.
Sean tidak mau, dia terus menghindar dan merasa canggung. Namun, akhirnya Anthony bisa memeluknya sebentar.
"Terimakasih, Sean," ucap Anthony, dia rasanya tidak cukup walaupun sudah berkali-kali mengucapkan terimakasih.
"Jaga dirimu, Ton. Jangan lupa sering tukar kabar ya!!!" pinta Sean.
"Siap 86!!!" sahut Anthony.
Mereka pun tertawa, kepergian Anthony dari rumah Sean menjadi langkah awalnya. Apakah Anthony bisa hidup di kampung??