Chereads / Merebut Jodoh / Chapter 4 - Impian Vanya

Chapter 4 - Impian Vanya

"Iya, terimakasih ucapan semangatnya. Tapi maaf, kamu siapa?" tanya Anthony.

Vanya diserang rasa bingung, kenapa pekerja papi tidak mengetahuinya. Padahal seluruh kampung sudah tahu identitasku, bahkan ratusan karyawan papi juga mengenalku. Siapa dia? Apa dia pekerja baru? Batin Vanya.

"Saya ..."

"Non Vanya!!" panggil pasien lain di ruang itu.

Pasien yang lain baru sadar, wanita yang masuk dalam ruangan itu adalah Vanya putri dari Murti Kencana yang merupakan juragan di tempatnya bekerja.

Vanya tambah bingung, dia menatap pria di depannya lalu kembali menatap pria di ujung yang berbeda.

"Non, anda salah orang!! Saya disini," serunya.

Haduh!!! Kenapa aku bisa salah orang, batin Vanya.

"Maafkan saya, jika mengganggu istirahat anda. Saya permisi dulu," ucap Vanya cepat, dia malu dengan segera berjalan menuju pasien itu tanpa menunggu tanggapan dari Anthony.

Aku merasa sedikit tersentuh, wanita yang bernama Vanya masih bisa tersenyum bahkan menyemangati orang lain walaupun dirinya seperti orang yang lagi menanggung beban berat.

Anthony belum bisa melepas pandangan ke Vanya, dia mengamati wanita itu yang terlihat tegar, mengumbar senyum ramah memberi semangat.

Setelah Vanya selesai dengan urusan dari rumah sakit, dia keluar ruangan. Selang beberapa menit Sean datang menghampiriku.

"Ton, akhirnya kamu siuman juga. Aku sangat kuatir sekali, kamu tadi mencariku nggak?"

Sean seperti mengajak bicara sama pohon, yang hanya diam tanpa tanggapan. Dia melihat sahabatnya itu yang menatap pintu keluar.

"Ton!! Halo ....!" seru Sean.

"Ech!! Iya Sean, kamu tadi bilang apa?"

Aku yang fokus ke wanita itu, jadi tidak bisa mendengar perkataan Sean.

"Kamu lihat apa sih? Sampai terhanyut seperti itu?"

Sean juga melihat ke arah pintu, dia tidak melihat siapa pun disana.

"Kamu tadi lihat tidak cewek yang baru saja keluar barengan waktu kamu masuk tadi?" tanya Anthony.

"Cewek!! Tidak tahu? Wah!!! Kamu sudah sembuh, Bro!!! Baguslah, ayo cepat keluar dari sini!"

Sean sangat senang sekali, hasrat untuk hidup sahabatnya sudah kembali pulih. Dia berharap dia bisa melawan kesedihannya.

"Ahhh!!! Sayang sekali. Ayo, apa boleh keluar sekarang?"

Aku sudah tidak sabar untuk sembuh, kalau bisa ingin menemukan kesempatan lagi bertemu dengan Vanya. Vanya anak Murti Kencana, aku harus mengingatnya, batinku.

"Nggak tahu!!! He..he," sahut Sean.

"Sean, aku berhutang nyawa kepadamu. Terimakasih sudah menyelamatkan dan menampungku. Kamu memang sohib terkeren yang pernah aku miliki," ungkapku.

Anthony dengan kehidupan yang dulu tidak menampik fakta bahwa banyak teman yang mengerumuninya. Dia sudah tidak heran bahwa mereka hanya suka dengan uangnya, bukan pribadi yang tulus untuk menjadikan sahabat selamanya.

"Tidak usah dipikirin, Ton. Yang terpenting sekarang, kamu harus semangat hidup untuk membayarnya," ungkap Sean.

Aku sudah paham, Sean sekarang bahagia melihat semangatku untuk hidup. Aku mengangguk dengan tersenyum menyetujui jawabannya.

Vanya sudah dalam perjalanan makan siang, maminya sudah menunggu di suatu tempat yang sudah ditentukan. Di dalam mobil dia teringat kembali dengan kesalahan yang dia perbuat.

"Payah!!! Kenapa aku bisa salah orang, sih. Memalukan sekali," gumam Vanya.

"Iya Non. Non Vanya sedang bicara kepada, Bapak?" tanya sopir yang membawanya.

"Oh tidak, Pak. Saya hanya sedikit mengeluh merasa capek saja,"

Vanya menjawabnya sambil tersenyum, dia berkelit untuk menutupi kesalahannya.

Mobil itu melaju, berbaris di jalanan. Mereka tanpa lelah menghantar tuannya dengan setia.

Restoran yang berkonsep Jepang, mobil yang membawa Vanya berhenti. Dia turun lalu menuju tempat dimana maminya berada.

"Kamu datang telat 5 menit, mami tidak bisa membiarkannya kalau terjadi lagi. Kenapa kamu lama sekali?" tanya maminya.

"Ahh!!! Itu Mi, jalanan macet. Iya macet sekali, mungkin orang-orang pada makan siang,"

Vanya mengarang jawaban agar lolos dari hukuman maminya, dia sangat heran dengan maminya sendiri, hanya lebih 5 menit saja sudah dibilang terlambat.

Hidangan sudah tersaji diatas meja, semua makanan yang paling tidak disukai Vanya. Mie Ramen mungkin masih diterima perut Vanya, alhasil Vanya hanya menikmati teh dan buah pencuci mulut.

"Vanya, tentang pernikahan dengan Purnomo. Kamu tidak bisa menolak, karena tanggal sudah ditentukan 3 bulan sebelum jabatan papimu dipromosikan,"

"Mami tidak menerima penolakan darimu, sadarlah kamu adalah keluarga Kencana. Kamu harus menunjukkan kegunaanmu," ungkap maminya.

Napas Vanya mulai tersekat, dia tidak sanggup menjalani hidupnya. Jika dia bisa memilih orang tua mungkin dia tidak ingin dilahirkan oleh maminya.

"Mi, apakah Vanya tidak punya hak atas hidup saya sendiri? Apakah Vanya hanya sebagai barang untuk diperalat mami dan papi?"

Vanya bertanya, dia mulai menjatuhkan air matanya.

"Vanya!! Ketahui lah, kami menganggapmu anak. Anak harus membuktikan baktinya kepada orang tuanya, kan?"

Sonya mencoba membujuk anaknya dengan lembut, dia tidak mau rencana ini gagal. Karena suaminya akan marah besar terhadapnya.

Sonya mendekati Vanya, lalu memeluknya seakan dia memahami perasaan Vanya dan mengambil hatinya.

Tapi dugaan dia salah, Vanya tahu sifat maminya diluar kepala. Vanya mengajukan perjanjian kepada maminya.

"Mi, aku mau menikahi Purnomo tapi Vanya ingin mengajukan syarat,"

Vanya ingin kebebasan, dia ingin meletakkan semua kemewahannya dan menjadi orang biasa tanpa menyandang nama Kencana.

Sonya tampak berpikir keras, dia ingin melakukan segala cara untuk membuatnya berhasil.

"Coba katakan apa syarat darimu?" jawab mami Vanya.

"Setelah menikah dengan Purnomo, Vanya ingin keluar dari daftar keluarga Kencana, semua yang saya lakukan sudah tidak ada urusannya dengan keluarga Kencana. Bagaimana, Mi?" tantang Vanya.

Sonya pusing, tapi tidak ada pilihan lagi selain menurutinya. Sonya pun menyanggupi syarat dari Vanya.

"Baiklah jika itu maumu, mami harap kamu tidak menyesal dengan keputusanmu," ungkap Sonya.

Vanya sedikit punya harapan untuk hidup, dia ingin berbakti untuk terakhir kalinya lalu dia akan membuka lembaran baru untuk hidup bebas.

Makan siang itu menguntungkan kedua belah pihak, Sonya sedikit ragu untuk menyanggupinya. Tapi yang dia pikir sekarang yang terpenting adalah tujuannya, masalah syarat dia akan bicarakan dengan suaminya.

Selesai makan, mereka kembali disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Vanya masih menjalani kuliah setelahnya.

Kuliah adalah tempat terbebas yang dia punya. Sayangnya, kini sudah dikurangi jam belajarnya karena Sonya selalu mengikutsertakan Vanya di berbagai pertemuan.

Tidak tahu bagaimana cara Sonya bisa mengurangi jam kuliahnya, dia mempunyai seribu 1 cara untuk mencapai tujuannya.

***

Di rumah sakit, Anthony mau bangun dari tidur tapi tidak jadi karena, dia mendengar orang tua Sean berbicara.

"Pa, Kapan Tony bisa keluar rumah sakit ya? Mama kasihan dengan Sean, dia harus merelakan tabungannya untuk pengobatan Tony," ungkap mama Sean.

"Sudahlah Ma, tidak usah dipikirkan. Hormatilah keputusan Sean," jawab papa Sean.

Anthony yang mendengarkan dalam diam itu, merasa tidak enak kepada Sean terutama kepada orang tuanya.