Chereads / My Journey with Mom (Bahasa Indonesia) / Chapter 6 - Mencoba kekuatan pemberian dewa

Chapter 6 - Mencoba kekuatan pemberian dewa

Di saat mencuci muka, terdengar suara gemercik air yang jatuh ke kolam, ini mengingatkan Rendy akan sesuatu. "Sudah berapa lama aku tidak pernah merasakan segarnya es?! Kira-kira, kemampuan Hand Made bisa mengubah air ini menjadi es tidak ya?!" Semenjak tekad ingin keluar dari zona nyaman mencuat, banyak ide yang sebelumnya tak pernah terpikirkan menjadi terpikirkan.

Rendy buru-buru mencoba idenya itu, tangan kanan dicelupkannya sedikit ke dalam kolam, sementara pikirannya membayangkan sebuah balok es berbentuk kubus sebesar kardus paket mi instan. "Create!" Kata kunci aktivasi kemampuan diucapkan, seketika di bawah telapak tangan kanannya muncul sebuah balok es mirip yang ada di otaknya.

Tangan disingkirkannya, es yang tadinya tertahan di dalam air, menyembul keluar, mengapung dengan tenang di permukaan. Menatap es itu, mulutnya melengkung membentuk senyuman, dari percobaan sederhana ini dia dapat menyimpulkan kesimpulan yang sangat penting, kemampuan pemberian Dewa Phoebe tidak membutuhkan Mana.

Ini terbukti, tubuhnya tidak merasakan apa-apa setelah mengeluarkan kemampuan itu. Bila membutuhkan Mana, tubuhnya akan mengalami kelainan, seperti tenaga yang berkurang.

"Sayang, kamu baik-baik saja di sana?! Kenapa lama sekali cuci mukanya?!" Saat asyik menjelajahi kemampuannya, terdengar suara teriakan ibunya yang memanggil.

Rendy menengok ke belakang, melihat ibunya yang sedang berdiri di tengah pintu gubuk. "Iya, Bu! Sebentar lagi! Tadi habis kencing makanya lama!" Menderang penjelasannya, ibunya menyuruh untuk tidak membuang waktu lebih banyak, sebelum masuk ke dalam lagi.

Kembali ke urusannya, tubuhnya yang kecil mustahil bisa mengangkat es batu yang besarnya bahkan hampir setubuhnya itu. Rendy memutuskan membuat empat lagi dalam ukuran yang lebih kecil, kira-kira seibu jari orang dewasa, dan buru-buru membawa es batu itu masuk ke dalam rumah, takut mencair terkena sinar matahari.

Masuk-masuk Rendy menaruh es yang dibawanya tadi ke gelas ibunya serta dirinya, lalu duduk di bangku kosong yang ada di sisi lain ibunya untuk menikmati minumannya yang telah bercampur es.

"Segar sekali!" Menaruh gelas kembali di atas meja, Rendy menatap ibunya yang masih belum menikmati minumannya, malah bengong dengan pandangan terpaku pada es di dalam gelas. "Kenapa tidak diminum, Ibu tidak suka es?!" Sabrina terbangun oleh perkataan Putranya.

"Jujur sama ibu, dari mana sayangku bisa mendapatkan es ini?!" Rasa ketakutan tidak bisa disembunyikan dari raut wajah Sabrina.

Di hutan ini hanya ada dua musim, kemarau dan hujan, mustahil akan ada es, kecuali ada seorang penyihir bertipe es sedang menggunakan kekuatannya. Ini tentu memunculkan ketakutan di dalam dirinya lantaran salah satu pelaku penyebab kematian suaminya merupakan pengguna kekuatan es.

Ekspresi yang ibunya tampilkan membuat Rendy kebingungan, meski begitu dia tetap menjelaskan bagaimana memperoleh es ini dengan menunjukkan kekuatan Hand Made, mengubah sumpit kayu yang ada di mangkuknya menjadi sebuah sendok.

Napas lega tak lagi terbendung, ternyata tak seperti yang ditakutkannya, dia pikir tempat persembunyiannya selama ini telah diketahui oleh para pengkhianat itu. "Sayangku selalu saja membuat ibu terkesan!" Ekspresi sebelumnya dengan cepat berganti senyum bahagia.

Bisa mengubah suatu objek benda menjadi objek lain tanpa merapalkan sebuah mantra, ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh sihir. Tebakannya tak jauh-jauh dari putranya yang terlahir dengan kekuatan khusus, dia menyebutnya anak titisan dewa, seperti yang terjadi ke beberapa rakyatnya yang beruntung. Ini juga bisa menjadi suatu penjelasan mengapa putranya begitu istimewa, lahir ke dunia tidak menangis, bisa berbicara dan membaca layaknya orang dewasa setelah 5 bulan kelahirannya, serta bisa berjalan sempurna di usia 1 tahun.

Jeda sebentar, Sabrina melanjutkan omongannya. "Jadi dari mana sayangku belajar sihir?! Diingat-ingat, ibu tidak punya buku sihir!" Putranya sangat pintar, dia sengaja berlagak bodoh agar identitasnya sebagai mantan ratu tidak diketahui putranya.

"Kayaknya itu bukan sihir deh, Bu! Entah sebutannya apa aku tidak tahu, pokoknya kekuatan itu begitu saja ada di dalam diriku, aku bisa merasakannya sejak bayi! Mungkin kekuatan ini merupakan anugerah Dewa sebagai modal diriku untuk mengubah nasib keluarga kita!" Penuh semangat Rendy menjelaskan kebohongan tentang kekuatannya, sementara ibunya yang sedang menyantap sarapannya, senyam-senyum mendengarkan kalimat terakhirnya.

Rendy tidak tahu, kebohongan yang dikarangnya merupakan kebenaran di telinga Sabrina. Apa yang diomongkannya adalah hal yang biasa diungkapkan oleh anak titisan dewa, sama persis, sehingga Sabrina tidak curiga bahwa penjelasan itu adalah omong kosong belaka.

"Ya ibu akan menunggu sampai hari di mana sayangku bisa mengubah nasib keluarga kita! Tapi sebelum itu, cepat dimakan sarapannya, jangan main-main mulu!" Bertepatan selesai mengucapkan kalimatnya, makanan di piring Sabrina sudah habis, lantas memperingatkan putranya yang sarapannya sama sekali belum disentuh. Tangannya malah asyik mempermainkan peralatan makan, mengubahnya menjadi berbagai macam bentuk.

Balasan dari Rendy hanya tawa malu, dan menghentikan tangannya untuk mulai menyantap sarapannya. Selesai dengan makanannya, dia pergi dari meja makan begitu saja, meninggalkan piring kotor yang sedang dibereskan ibunya.

Sementara ibunya membersihkan piring kotor, dia pergi ke samping gubuk, berinisiatif mengambil peralatan yang nantinya digunakan untuk mengumpulkan kayu. Peralatan itu bukan sesuatu yang canggih, hanya parang untuk memotong dan gerobak untuk mempermudah membawa kayunya.

Berhasil mendapatkan apa yang dibutuhkannya, dia berlari menyusul ibunya yang sedang mencuci piring di dekat kolam air tadi.

"Ayo berangkat, Bu!" Dari arah belakang ibunya, Rendy mendorong gerobak, dengan di punggungnya menggantung sebuah bilah parang yang tertutup sarung.

Pas, kedatangannya bersamaan dengan ibunya yang juga selesai mencuci piring, jadi tanpa perlu menunggu bisa langsung dilanjutkan pergi ke lokasi di mana cabang pohon sering berjatuhan.

Tidak terlalu jauh, hanya butuh beberapa menit untuk sampai. "Sepertinya pohon ini sudah mencapai batas usianya! Kira-kira menurut ibu, apakah akan ada monster yang bisa menerobos masuk?!" Menatap pohon super besar yang ada di depannya, yang tak lagi memiliki dedaunan hijau alias gundul, Rendy bertanya kepada ibunya yang ada di samping kanannya.

Pohon ini merupakan salah satu dari delapan pohon yang tumbuhnya kebetulan berjejer membentuk sebuah lingkaran. Tubuh pohon yang besar, serta kerenggangan antar pohon yang hanya bisa dilewati seorang manusia, menciptakan pagar alami bak benteng untuk keluarganya.

"Mustahil! Soalnya itu Pohon Iron, sekalinya mati, batangnya tidak akan pernah lapuk kemakan usia, malah akan jadi semakin keras sekeras besi baju tempur!" Tidak disadari Sabrina, mata putranya menyala waktu mendengar penjelasan itu. "Dah lah jangan ngurusin itu, mending kita mulai mencari kayu, nanti keburu siang jadinya malah panas!" Sabrina mengambil parang yang ada di punggung putranya, dan mulai memotong cabang pohon menjadi kecil-kecil.

Sementara ibunya sibuk hingga tidak memperhatikan dirinya, Rendy memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap pergi, melewati tumpukan cabang-cabang pohon untuk mendekat ke Pohon Iron yang mati.

"Uh, akhirnya sampai juga!" Napas Rendy ngos-ngosan, tubuhnya bersandar pada batang Pohon Iron untuk beristirahat, mengatur napas serta menenangkan jantungnya berdetak cepat.

Tubuhnya yang kecil dan gemuk benar-benar tidak cocok untuk melakukan aktivitas olah raga seperti berlari atau memanjat beberapa cabang pohon yang tergeletak menghalangi jalannya.

Di tengah istirahatnya, Rendy mendongak ke atas, menatap ujung pohon yang sangat jauh, saking jauhnya hingga tak terlihat. "Apa yang harus aku lakukan dengan pohon ini?!" Di otaknya sama sekali tidak ada ide, mahakarya apa yang bisa dibuatnya menggunakan bahan berupa kayu saja.

Sebenarnya ada satu, yaitu menjadikannya sebuah robot, masalahnya apa yang akan digunakannya untuk menggerakkan tubuhnya nanti. Dia membutuhkan bahan lain berupa berbagai macam jenis logam, karet, plastik untuk membuat mesin penggeraknya, dan itu mustahil bisa didapatkan hanya menggunakan tenaga dua orang saja, apalagi bahannya butuh dalam jumlah yang besar.

"Aha, mengapa tidak mencoba menjadikannya golem saja?!" Diam beberapa saat memunculkan sebuah ide.

Kebiasaan dirinya menonton serial donghua di bumi benar-benar sangat berguna sekarang. Dunia ini dengan dunia fantasi yang ada di donghua menurutnya sama, jadi sangat yakin idenya ini akan berhasil. Meski dia tidak tahu mantra yang digunakan untuk menggerakkan golem, masalah yang satu itu pasti dapat diatasi oleh kemampuan pemberian Dewa Phoebe.

Persiapan membuat golem segera dilakukannya, kedua telapak tangan menempel pada batang Pohon Iron, matanya terpejam agar mudah berkonsentrasi memikirkan desain golem rancangannya.

Untuk hal terakhir ini sungguh memakan waktu, dia sengaja mendesain bagian per bagian, terkecil hingga terbesar, supaya mendapatkan golem yang bisa bergerak bebas dan lentur, bukan kaku seperti robot jadul yang ketinggalan zaman.

Kurang lebih 15 menit kemudian desain rancangannya selesai, matanya terbuka dan disambung teriakannya. "CREATE!!!" Cahaya putih terang seketika menyelimuti seluruh bagian Pohon Iron.

Yang tidak disadari Rendy, cahaya putih terang yang muncul tiba-tiba mengagetkan monster-monster kelas rendah yang ada di sekitar, seperti jenis burung, babi hutan, rusa dan sebagainya. Mereka semua buru-buru menjauhi sumber cahaya itu, tentu saja dalam proses monster itu pergi, meninggalkan suara yang begitu gaduh sehingga mengundang monster kelas tinggi penunggu hutan itu untuk mendekat ke lokasi Rendy.

Kedatangan monster berlevel tinggi itulah yang dikhawatirkan Sabrina saat menyadari putranya menghilang. "Sayangku?!!!" Meninggalkan pekerjaannya, dia berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya cahaya itu karena dia tahu penyebab fenomena itu pasti putranya.