Hotel Hilton Berlin, Jerman.
Ah!
Vian seketika tersentak dan segera tersadar, ketika wajah Aliysia memenuhi penglihatan. Ia tidak tahu kenapa dari banyak wanita yang menghiasinya, harus wajah si bocah yang muncul dan tiba-tiba memanggilnya dengan nada seperti itu.
"Sial, kenapa bisa seperti ini," umpatnya kesal, kemudian memutuskan untuk menyudahi acara berleha-leha pagi dan segera meninggalkan kamar setelah memakai jas.
Ia memasuki lift dan menunggu dengan sabar sambil berusaha melupakan bayang-bayang akan Aliysia, dengan memfokuskan diri kepada pekerjaan yang akan dijalani.
Ketika sampai di bawah, Vian yang berjalan terburu bias melihat seseorang duduk di sofa yang tersedia di area lobby, tepatnya seorang laki-laki yang pagi ini mengantarnya ke hotel. Pria tersebut berdiri dari duduknya, ketika melihat tamu perusahaan berjalan menghampirinya.
"Good Morning, Sir," sapanya ramah.
"Good morning," jawab Vian dengan anggukan kepala kecil.
Sebenarnya Vian sedikit bisa melafalkan bahasa Jerman. Namun, karena pria yang menjemputnya menyapa dengan bahasa inggris, ia pun memilih untuk mengikuti bahasa yang digunakan.
"Have you breakfast yet, Sir? (Apakah anda sudah makan, Pak)" tanyanya masih dengan ramah.
"Not yet, but it's okay. Let's go now, (Belum, tapi tidak apa-apa. Ayo pergi sekarang)" putus Vian menolak dengan gelengan kepala kecil, menuai anggukan kepala dari si pria yang menjemputnya. "Oh... Excuse me, tomorrow I have pick someone up. Can you take me to the airport? (Oh ... Permisi, besok aku harus menjemput seseorang. Bisakah anda mengantar saya ke bandara)" lanjutnya bertanya sebelum keduanya meninggalkan lobby.
"Of course, Sir. It's my job, to take you anywhere, (Tentu, Tuan. Sudah tagas saya, mengantar Tuan ke mana saja)"
"Thank you, Mr. Roy," sahut Vian senang, memanggil nama si pria dengan senyum tipis terulas.
"You are welcome, Sir." balas Roy, baru kemudian keduanya benar-benar meninggalkan lobby, berjalan menuju depan lobby di mana sudah menunggu sebuah mobil dengan petugas parkir valet menyerahkan kunci.
Brumm!
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dari hotel, mobil yang dikendarai Roy akhirnya sampai di pelataran sebuah gedung perkantoran dengan papan nama Pen Corp terpampang besar.
Vian turun dari dalam mobil, setelah Roy membukakan pintu dan mempersilakan masuk, di mana ada seorang wanita berpakaian kantor rapi menyambut. Sedangkan Roy, ia mengundurkan diri dan berkata akan menjemput Vian kembali jika urusan sudah selesai.
Penampilan si wanita tanpa cela, tapi Vian tidak melihat yang lain selain menatap tanpa ekspresi dan senyum tipis yang diulas sebagai formalitas.
"Good morning, nice to meet you, Mr. Geonandes. I'm Yeselen, Mr. Pen secretary. Please follow me, (Selamat pagi, senang bertemu dengan anda, Tuan Mahawira. Saya Yeselen, sekertaris Tuan Pen. Mari ikut dengan saya)" ujar seorang wanita yang memperkenalkan diri dengan nama Yeselen atau juga sekertaris dari seseorang yang akan bekerja sama dengan Vian kali ini.
"Good morning, nice to meet you too, Mrs. Yeselen," sahut Vian dengan sang sekretaris yang segera meralat panggilan.
Ah! Sepertinya si wanita muda tidak ingin dianggap sebagai wanita bersuami.
"Miss Yeselen. Mr. Mahawira," ulang Yeselen dengan senyum kecil, membuat Vian balas dengan senyum kecil sebagai ganti kata maaf.
"I'm sorry, Miss Yeselen, (Maaf, Nona Yeselen)" sahut Vian dengan nada tidak enak.
Seketika sang sekretaris menatap dengan senyum malu, membuat Vian terdiam bingung dengan senyuman tersebut, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tidak peduli ketika akhirnya si sekretaris mengajak pergi menuju ruang meeting berada.
"Emh ... Okay, please, Sir. (Emh ... Baik, silakan, Tuan)"
Keduanya pun menaiki lift dengan sedikit berbincang, Yeselen juga menanyakan bagaimana perjalanannya dari kota asal dan juga hotel tempat menginap. Hingga tidak terasa keduanya sampai di lantai tempat ruang meeting berada.
Ting!
"Ladys First," ujar Vian dengan Yeselen yang mengangguk dan berjalan lebih dulu, baru kemudian ia menyusul dan berjalan di belakang.
"Thank you."
"Hm."
Vian hanya bergumam, memperhatikan bagaimana koridor yang dilalui terasa sunyi meski ada hentakan sepatu yang beradu memenuhi pendengaran.
Yeselen membawa Vian ke sebuah ruangan, di mana ada beberapa orang yang sudah duduk dan berbincang. Juga beberapa lainnya yang berdiri di belakang dan ia menebak yang berdiri adalah sekertaris atau orang kepercayaan dari mereka yang duduk di kursi sana.
Dan aku hanya datang sendirian, batinku dengan senyum kecil, ketika mereka melihat ke arahnya seraya berdiri dari duduk.
"Mr. Geonandes, welcome to our company. Nice to meet you, (Tuan Geonandes, selamat datang di perusahaan kami. Senang bertemu dengan anda)" ujar Mr. Pen menyambut ramah, seraya mengulurkan tangan yang segera Vian sambut.
"Nice to meet you too, Mr. Pen." Vian menghentak dengan tegas genggaman tangan keduanya, menuai tawa senang dari Mr. Pen yang membawanya untuk mendekat ke arah partner bisnis lainn.
Dengan Mr. Pen sebagai perantara, mereka semua berkenalan dan berjabat tangan dengan akrab diiringi dengan tawa bisnis, ketika mereka memuji kerja keras Vian selama kerjasama dengan perusahaan si pemilik Pen Corp.
Sedangkan Vian yang dipuji hanya bisa mengangguk, menanggapi dengan senyum kecil, hingga akhirnya perkenalan singkat itu berlanjut dengan pembahasan pokok masalah, bisnis keduanya tentunya.
Pembahasan kali ini sedikit rumit, ketika banyak sekali peraturan dari mereka yang harus sama-sama disepakati. Namun, Vian akui pengalaman ini cukup bermanfaat, ketika melihat senior di atasnya membahas masalah yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pebisnis sepertinya.
Sampai waktu makan siang pertemuan belum juga mendapat titik terang. Meskipun sudah menemui beberapa hal yang disepakati, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menunda meeting dan akan melanjutkannya setelah istirahat siang.
Vian dan peserta pertemuan lainnya makan siang bersama, dengan obrolan ringan sesekali menggunakan bahasa pribumi yang untungnya diketahui artinya apa. Namun, di tengah-tengah obrolan kami yang ramai, Vian sebenarnya tidak benar-benar ada di antara mereka.
Vian justru tidak fokus, kerena sebenarnya saat ini hatinya sedang memikirkan seseorang yang ingin sekali dihubunginya.
Sedang apa dia, batinnya bertanya-tanya, tidak sadar melamun.
Hingga sebuah panggilan dari seseorang menyadarkan, membuat Vian segera menatapnya yang menatap balik dengan ekspresi bertanya dan bingung.
"Mr. Geonandes, are you okay?"
"Ah! I'm okay, i'm sorry Mr. Pen."
Menatap dengan senyum kaku ke arah mereka yang menatap dengan khawatir, Vian merutuki diri sendiri karena telah berbuat ceroboh dengan melamun di tengah-tengah obrolan saat ini.
Bodoh, sebaiknya kamu lupakan dulu. Fokus dengan apa yang di depanmu, batin Vian mengenyahkan segala macam pikiran dan mencoba untuk melupakan sejenak.
Ia kembali mengikuti obrolan, terlihat serius ketika membahas masalah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, melainkan tentang masalah ekonomi yang terjadi.
Huft.... Besok aku akan menjemputnya, batin Vian.
Bersambung.