Hotel Hilton Berlin, Jerman.
Pagi datang dengan cepat, seperti yang Vian katakan semalam jika ia tidak membalas pesan dari Aliysia, termasuk pesan berikutnya saat si wanita benar-benar akan take off. Maka ia sama sekali tidak menyentuh gawai, meski hanya untuk melirik pesan dari istri kontraknya.
Sebenarnya ia khawatir akan keselamatan Aliysia, tapi entahlah ego dalam hati tidak mengizinkan untuk menghancurkan dinding yang susah payah dibangun untuk batasan, tepatnya berulang dibangunnya kembali.
Aku dan dia hanya sebatas kerjasama, itu saja, titik, batin Vian menegaskan.
Bukannya apa, Vian juga tidak ingin Aliysia melupakan cita-cita, yang ingin menjadi penyanyi sopran profesional karena cinta sesaat ini.
Ia tidak mau konsentrasi Aliysia terbagi antara beban perasaan yang diberikannya dan cita-cita, itu saja.
Namun, Vian tidak tahu bagaimana Tuhan akan mempermainkan perannya. Ia tidak tahu sampai kapan bisa menahan, ketika nanti bertemu dengan Aliysia. Ia sampai mengutuk diri, karena menjadi pria yang tidak memiliki pengendalian diri.
Padahal, dulu ia merasa tidak seperti ini terhadap wanita, tapi Aliysia, kenapa seperti ini?
"Aku lupa kalau Aliysia bukan wanita," gumam Vian sambil menggeleng.
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Hari ini kebetulan masih ada meeting bersama Mr. Pen dan sepertinya setelah menjemput, Vian akan meninggalkan Aliysia sendiri di hotel, hingga masalah kerjaan selesai dan bisa bebas menjalani aktivitas bulan madu palsu bersama istri kontraknya.
"Baiklah, ini sudah waktunya menjemput Lysia," gumam Vian, setelah melihat lagi jadwal penerbangan yang dipesan untuk Aliysia.
Mobil yang di kendarai Mr. Roy juga sudah siap di bawah, sesuai dengan permintaan yang kemarin ia katakan saat akan pergi ke perusahaan Mr. Pen.
Kini, ia jalan menuju lobby di mana sang sopir berada, kemudian berbasa-basi sedikit dengan obrolan biasa berbahasa jerman yang fasih diucapkan olehnya. Hingga tak lama kemudian, keduanya jalan beriringan sama-sama meninggalkan lobby hotel.
Tidak butuh waktu banyak untuk Mr. Roy mengantarku ke bandara, sang sopir mengendarai dengan santai meski cepat disaat bersamaan.
Entahlah Vian tidak yakin, karena ia sendiri bukan hanya duduk diam di dalam mobil, melainkan sesekali memeriksa berkas juga jadwal pesawat yang di tumpangi Aliysia.
Sesungguhnya, meski katanya tidak ingin mengingkari, tetap saja ia tidak ingin Aliysia menunggu di tengah keramain dan tempat asing seperti Berlin. Ia tidak ingin ada orang asing dengan niat aneh menganggu si bocah, apalagi sampai berbuat jahat.
"Mr. Roy, you can wait in the parking lot. I'll call later, if I'm already on my way to the exit, (Roy, Anda bisa menunggu di tempat parkir. Saya akan menelepon nanti, jika sudah dalam perjalanan ke pintu keluar)" ucap Vian sebelum turun dari dalam mobil.
" I understand, Sir. (Saya mengerti, Tuan)"
Ceklek!
Blam!
Tujuan Vian saat ini adalah pintu kedatangan. Dengan mata tajam memandang sekeliling, ia mencari keberadaan seorang wanita muda yang gemar sekali memakai celana ripped jeans.
"Apa pesawatnya belum landing," gumamnya masih dengan mata mencari ke sana-kemari.
Vian mulai khawatir karena waktu landing dan sekarang sudah beda hampir sepuluh menit. Namun, rasa khawatir hilang ketika ia mendengar panggilan atas namanya dari arah depan sana, disusul dengan penampakan seorang wanita yang membuatnya seketika terdiam, dimana jantung berdetak semakin cepat.
"Vian!"
Deg! Deg! Deg!
Tunggu.... Ini, ini bukan suara jantungku 'kan? batin Vian bertanya dengan rasa panas menjalar cepat ke wajah.
Percayalah, Vian yakin, jika saat ini wajahnya pasti sudah memerah.
Sial!
Sebelumnya….
Perjalanan udara Aliysia tidak semembosankan yang dikira. Pesawat yang ditumpangi saat ini sedang landing, sehingga ia dengan segera memeriksa kembali beberapa barang yang sempat dikeluarkan.
Wanita dan keperluannya, semua pasti tahu dan tidak perlu heran dengan itu.
Aliysia juga sudah mengganti pakaian yang kemarin dikenakan, dengan sebuah dress bertali tipis yang memperlihatkan punggung. Rambut yang biasa diikat ekor kuda kini terurai, menjuntai dengan bebas tanpa jepit sebagai pemanis.
Satu per satu penumpang keluar dari pesawat, termasuk Aliysia yang keluar dari jalur khusus dengan sebuah mobil bandara menjemput, mengantar hingga bagian arrival gate bandara internasional Berlin, Jerman.
Dari sini Aliysia kambali berjalan keluar, sambil menyeret koper dan juga wajah menoleh kanan-kiri mencari seseorang yang katanya akan menjemput. Meskipun tidak ada pesan yang mengatakan jika nanti akan dijemput, tapi ia tahu jika Vian tidak akan mengingkari janji yang diucapkan saat keduanya merencanakan perjalanan terpisah waktu itu.
"Vian di mana, ya?" gumam Aliysia sedikit gelisah, ketika melihat jam besar terpampang memperlihatkan waktu sepuluh menit melebihi dari jadwal landing pesawat.
Kembali ia melihat kanan-kiri juga depan sana mencari Vian yang ternyata juga sedang melakukan hal yang sama dengannya. Ya, mencari dengan kepala menoleh ke segala arah, membuat senyumnya terbit dengan sangat lebar dan berjalan menghampiri seraya memanggil namanya lantang.
"Vian!" seru Aliysia, kemudian kembali mengulangi. "Vian, di sini!"
Suara Aliysia yang dari sananya sudah hampir sama dengan toa tentu saja terdengar tanpa susah, sehingga yang dipanggil pun menoleh dengan dirinya yang mengayunkan tangan memanggil.
"Vian!" Aliysia mengulangi panggilan. Namun aneh sekali, kenapa Vian hanya terdiam di tempat dengan wajah memerah melihatnya.
Karena Vian yang hanya diam saja tanpa berniat menghampiri, Aliysia pun kembali melangkah secepat yang ia bisa dan berdiri tepat di hadapannya.
Tap!
"Vian!"
"Ah!"
Berjenggit kaget ketika Aliysia kembali memanggilnya. Kali ini lebih jelas, karena Vian juga merasakan tepukan dilengan dan tatapan khawatir terlihat jelas.
"Kok diam saja, Vian? Apa ada yang salah," tanya Aliysia dengan kening berkerut.
"T-tidak. Sebaiknya kita cepat ke hotel, aku masih ada pekerjaan setelah ini," sahut Vian dengan menolehkan wajah ke arah lain, seraya mengusap leher dan berbalik memunggungi Aliysia yang mengerutkan bibir tidak suka.
Menyebalkan sekali, batin Aliysia, menatap punggung Vian dengan tangan mengepal.
Ia kesal, kenapa si paman seakan enggan melihat ke arahnya? Apakah ada yang salah dengan penampilannya saat ini?
Namun, tahu jika ia tidak bisa begitu saja marah di saat baru saja sampai berhadapan, Aliysia mencoba biasa dan kembali bertanya. "Vian, kamu masih ada pekerjaan?"
"Hn, jadi sebaiknya kita cepat jalan," sahut Vian masih memunggungi dan berjalan meninggalkan Aliysia yang kini hanya bisa menundukkan wajah.
Aku kira, dia akan senang ketika bertemu kembali denganku. Tahu begitu aku tidak akan mengiyakan ajakannya, jika hanya untuk mendapatkan sikap dingin seperti ini darinya, batinnya sedih.
"Menyebalkan," gumam Aliysia lirih, tapi sayang itu cukup terdengar oleh Vian yang memiliki pendengaran sensitive.
"Kamu mengatakan sesuatu?"
"Eh!"
Aliysia jelas tersentak kaget, mundur beberapa langkah ketika terdengar suara jelas di hadapannya. Tepatnya, Vian yang tenyata kembali menghampiri si istri kontrak yang tidak beranjak dari tempat berdiri.
Eh! Bukannya tadi dia sudah jalan? Kenapa saat ini ada di depanku? batin Aliysia dengan mata berkedip cepat, kaget dan juga senang disaat bersamaan.
Ya, ia senang, karena bisa melihat wajah Vian dari jarak sedekat ini.
"Kok eh? Cepat jalan," ajak Vian, seraya menarik lengan Aliysia yang terkesiap ketika suaminya melakukan kontak fisik tanpa diduga, dimana sebelah lengan yang lain menyeret koper, setelah mengambil alih dari genggaman tangan si bocah.
Vian….
Bersambung