Hotel Hilton Berlin, Jerman.
Gerutuan menjadi satu-satunya yang terdengar di sana, Vian mengangkat tangan dan meraup kasar wajah, masih dengan sesekali mengumpat tentang betapa sial dirinya, bertemu dengan wanita muda layaknya bocah yang justru membuat dunianya jungkir balik karena kelakuan absurd.
Wanita itu.... Aliysia, si bocah yang dua minggu mendiaminya, ternyata mampu membuatnya seperti abege bau kencur yang galau hanya karena tidak ingin mengakui perasaan.
"Sial!"
Kembali Vian mengumpat dan kali ini karena bingung, antara membalas pesannya atau membiarkan begitu saja seakan-akan ia tidak pernah menerima pesan dari si bocah?
Berpikir keras sudah seperti menentukan nasib hidup, karena memang nyatanya iya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak membalas, ingin melihat juga apa yang akan dilakukan si bocah besok.
Bukan karena apa, ia hanya menurut dengan mengabaikan Aliysia sesuai pesan yang diterima saat ini.
Bukankah ia sudah mengabaikan Aliysia? Kenapa tidak dilanjut dan dapat hukuman setelahnya. Iya 'kan?
"Palingan juga dia ngambek seharian, minta traktir steak salmon. Huh! Tipikal Aliysia," dengkus Vian mencoba tetap seperti apa adanya, kemudian meletakan kembali gawai di atas nakas.
Ia jalan menuju koper, membereskan pakaian ke dalam lemari agar memudahkannya mengambil ketika perlu.
Setelah ini masih ada pekerjaan, mengirim pesan kepada Endra dan mempersiapkan berkas untuk Mr. Pen yang akan dibahas di ke esokan harinya.
Benar, sebaiknya aku fokus seperti apa yang sudah kuputuskan, lanjutnya dalam hati.
***
Apartemen Soho, Kota M.
Ketika Vian menyibukkan diri dengan pekerjaan dan memutuskan mengabaikan Aliysia. Di apartemen sendiri tampak si bocah yang diabaikan sedang sibuk dengan sebuah koper di hadapan.
Waktu penerbangan sesuai tiket yang dipesan oleh Vian masih sekitar dua jam lagi. Saat ini Aliysia sedang memeriksa kembali barang-barang yang dibawa, memastikan jika tidak ada yang tertinggal dan masuk di koper.
Sesekali gawai yang diletakan di samping diperiksa, berharap akan ada pesan dari si paman meskipun hanya sekedar ucapan 'hai' atau lebih dari itu, misalkan saja pesan pemberitahuan telah landing dengan selamat di Berlin.
Namun sayang, sampai saat ia ingin berangkat Vian sama sekali tidak mengirim pesan, benar-benar menyebalkan dan ingin rasanya ia membanting sesuatu.
"Dasar jelek, jahat sekali jadi orang."
Aliysia hanya bisa menggerutu dengan suara yang terdengar lebih jelas, tidak susah menutupi-nutupi karena orang yang menjadi bahan gerutuan tidak di sini.
Ia sampai berpikir pasti saat ini sangat sibuk, sampai-sampai hanya dibaca pun tidak ada centang biru.
"Menyebalkan." Kembali Aliysia mengumpat kesal, meski setelahnya memutuskan untuk menyimpan kesal yang akan dilampiaskan ketika bertemu nanti.
Benar, sebentar lagi ia akan bertemu dengan Vian dan bisa menuntaskan rasa kesal yang dirasa.
"Hum.... Sebaiknya aku berangkat sekarang. Aku tidak ingin terjebak macet dan berakhir dengan aku yang tertinggal pesawat," putus Aliysia.
Sebelumnya ia sudah memesan taksi untuk mengantar ke bandara, jadi tidak perlu menunggu lagi ketika ia turun nanti.
Ping!
Taksi yang Aliysia pesan ternyata sudah stand by di depan pintu lobby. Beruntung ia tidak perlu menunggu lama dan dengan begitu ia pun segera menghampir sang sopir, yang kini berdiri di sisi mobil dan bertanya kepadanya
"Dengan Nona Aliysia?"
"Iya," jawab Aliysia singkat, meski kepalanya mengangguk ketika mendengar bantuan memasukkan koper ke bagasi, sedangkan ia segera masuk dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang.
Blam!
Aliysia pikir jika bukan dirinya yang mendului, Vian tidak akan mengirimi pesan meski sekadar basa-basi. Jadi, saat ini ia memutuskan untuk kembali mengirimi pesan dengan isi kekesalan yang ia rasa dan ancaman ikut ditulis.
Dasar jahat, batinnya kesal.
Ia menggerutu sambil menekan satu per satu huruf di keyboard layar gawai, kemudian mengirim dengan segera kepada si paman dan menanti balasan.
Taksi pun akhirnya jalan meninggalkan pelataran lobby apartemen, segera Aliysia membawa wajah menghadap ke arah jendela, melihat dengan renungan ketika ia mengingat pembicaraan beberapa waktu lalu dengan sahabatnya, Sasha.
Di situ Aliysia menceritakan semua yang terjadi, tepatnya perasaan hingga kejadian di beberapa waktu terakhir kepada Sasha tanpa ada yang ditutupi.
Lalu saat itu, Sasha tidak mengomentari macam-macam, hanya saja sahabatnya berkata hal yang di sayangkan di antara ia dan Vian yaitu kenapa harus ada persayaratan 'tidak jatuh cinta' satu sama lain. Jika nyatanya, ia sendirilah yang sepertinya sudah jatuh cinta dengannya, dengan Vian.
Entahlah, apakah benar penjelasan Vian saat itu, jika selama dua minggu ini karena ia cemburu atau bukan kepada si paman karena seorang mantan.
Sasha juga mengatakan hal yang sama, meski lebih ekstrem dengan tebakan jika ini karena ia mencintai Vian maka itu timbul rasa cemburu. Jika tidak jatuh cinta lalu apa lagi, tidak mungkin ada cemburu di hati ini, jelas sahabatnya.
Ia seperti diberi pencerahan semakin cerah, membuatnya sadar jika sepertinya Vian menyadari dan maka itu buru-buru ke Jerman.
Apa mungkin Vian tahu dan akan mengusirnya tanpa perlu menyelesaikan kontrak?
Ugh! Ini tidak mungkin, bantahnya dalam hati.
Ia menggeleng sambil melihat jalanan di luar terlihat ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Belum lagi pejalan kaki yang ikut terlihat, juga pedagang kaki lima yang berjajar di tepi jalan sana.
Bosan dengan pemandangan di luar sana, Aliysia iseng kembali melihat gawai yang disimpan di tas selempang bersama passport dan visa yang diurus oleh Vian.
Intinya, ia hanya terima beres dan saat ini pergi jalan-jalan ke Jerman.
Huft.... Benar-benar deh, apa hanya untuk membalas saja tidak punya waktu. Vian, kamu sungguh sangat amat menyebalkan, pelit informasi, huh!
Guna menghilangkan bosan yang melanda karena pesan yang tak kunjung dibalas, Aliysia memilih untuk melihat sosial media sampai tidak terasa perjalanan yang dilalui kini berakhir.
Ckitt!
Taksi akhirnya sampai di bandara, Aliysia keluar dari sana dan berdiri menunggu pak sopir yang sedang mengambil koper di bagasi. Beliau meletakkan barang bawaan di samping tempatnya berdiri, kemudian ia memberi uang sedikit lebih.
"Kembaliannya ambil saja, Pak," ucap Aliysia, ketika sang sopir hendak mengembalikan sisa pembayaran.
"Terima kasih, Nona."
"Kembali kasih," balasnya dengan kepala mengangguk kecil.
Pintu masuk bandara berada beberapa langkah di depan sana, dengan segera Aliysia memasukinya dan berjalan dengan menyeret koper menuju konter untuk menimbang bagasi yang dibawanya.
Selesai dengan koper, tiket juga pemeriksaan passport tanpa menunggu atau antre karena penerbangan kelas satu.
Ia akhirnya bisa duduk nyaman di lounge bersama dengan calon penumpang lain. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum para penumpang memasuki pasawat, Aliysia kembali memeriksa gawai dan ketika dilihat sama saja seperti tadi.
Tidak ada pesan balasan dari Vian, membuatnya kesal dan juga sedih disaat bersamaan.
"Baiklah, aku akan kembali mengirimnya sebuah pesan. Setidaknya dia membaca dan tahu, jika aku sudah sampai bandara dan akan take off ke Jerman," putus Aliysia, kemudian kembali mengetik pesan untuk Vian dan mengirimnya segera.
Pemberitahuan jika kini penumpang sudah bisa memasuki pesawat terdengar, dengan begitu ia pun memasukkan gawai kembali ke dalam tas setelah sebelumnya mengubah mode pesawat.
Selama lima belas jam perjalanan, Aliysia tidak perlu khawatir dengan istrahat. Karena Vian memberikannya ruangan VIP dengan fasilitas yang lengkap.
Bersambung